one

4.7K 339 15
                                    


13 tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

13 tahun yang lalu...

Sudah menjadi rutinitas Leo untuk pergi ke ruang musik setiap jam istirahat pertama menggema disepenjuru sekolah. Ia akan datang kesana untuk memainkan gitar untuk beberapa menit atau sekadar menengok bila ada sesuatu yang menarik di dalam sana. Oh, tak jarang dia belajar untuk ujian mata pelajaran selanjutnya di dalam sana tanpa diganggu siapapun. Bagi Leo, ruang musik adalah basecamp nya, salah satu comfort place nya di sekolah itu. 

Ia begitu senang dikelilingi berbagai alat musik. Sebenarnya ia juga bingung kenapa ia bisa begitu betah berada di dalam ruangan itu memandangi drum yang ada di sudut ruangan, memerhatikan tiga gitar yang menggantung di dinding, dua bass yang bersandar di sisi kanan ruangan, dua keyboard yang berjejer disamping drum, dan beberapa standing mic disudut ruangan lainnya. Ini hanya alat alat musik umum yang menjadi candu bagi remaja seumurannya. 

Di ruangan sebelah yang lebih luas lagi, Leo bisa menemukan berbagai jenis alat musik klasik yang suaranya bisa begitu indah menggema di panggung orkestra. Alat alat musik yang begitu besar dengan kayu cemara terpoles indah nan mengkilat, yang mampu menyihir emosi setiap penikmat juga pemainnya dengan alunan melodi klasik. Sebenarnya Leo juga suka untuk berada disana, tapi sayangnya ruangan tersebut sering ramai diisi oleh ekskul orkestra yang terus berlatih demi memenangkan pertandingan musik klasik Indonesia. 

Sama seperti hari hari sebelumnya, sekarang Leo juga duduk di salah satu kursi bulat berkaki satu di ruangan musik dengan gitar akustik di pangkuannya. Sesekali jarinya berhenti memetik senar untuk menulis not not nada gitar dibuku tipis yang memang ia khususkan untuk lagu lagu acak buatannya. 

Hingga ponsel kecil putih berlogo samsung di dekatnya berdering karena panggilan dari Dean, salah satu sahabatnya membuatnya terlonjak kaget. "sial, harusnya tadi gue kasih mode vibrate aja" umpat Leo menekan tombol hijau di ponsel kecil tersebut. 

"ken——"

"ini bakso elo udah datang, lo datang kesini apa gue abisin duluan?" ancam Dean. 

Leo memutar matanya mendengar acaman tersebut, karena tak ingin memperpanjang percakapan dan memberikan waktu untuk Dean menghabiskan baksonya, Pemuda itu langsung berucap "iya iya ini gue kesana, jangan diabisin!" 

"oka——" sambungan telepon Leo putuskan lebih dahulu. 

Dengan cepat, Leo menutup notebook tipisnya lalu meletakkan gitar akustik tersebut ke tempatnya semula. Ia juga mengembalikan kursi bundar tersebut kapok kena omel Pak Tanto, guru musik berperut buncit yang punya suara paling bagus di sekolah mereka itu. Bisa bisa Leo tidak diberi izin masuk lagi ke ruang musik ini karena bikin ngamuk Pak Tanto. Owh, that's a nightmare for him. 

Saat Pemuda berseragam putih biru itu hendak melewati koridor di depan ruang kepala sekolah, langkah nya terhenti kala netra Leo mendapati segerombolan muda mudi keluar dari ruangan Pak Wanto. Dari cara mereka berpakaian, bertingkah laku, dan bertukar kata dengan Pak Wanto, sekumpulan muda mudi itu terlihat sudah cukup dewasa. Mungkin sekitaran awal 20-an tahun? 

The Fear of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang