2 | Bukan Sekedar Menduga

1.6K 146 3
                                    

Pukul satu dini hari, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Kualanamu. Kali ini Raja menjadi yang pertama mengeluarkan tas dari dalam tempat penyimpanan, sebelum mereka keluar dari pesawat.

"Kamu sengaja meminta Tari untuk menempatkan aku di dekat jendela, ya?" tanya Ziva.

Raja pun langsung mengulum senyum sambil berusaha pura-pura tidak dengar.

"Kamu tahu kalau aku akan selalu mengambil tas dari tempat penyimpanan lebih dulu daripada kamu, makanya kamu meminta Tari memberiku tempat di dekat jendela. Benar, 'kan?"

"Hm, iya ... iya ... kamu benar Adinda Ziva. Aku sengaja meminta Tari untuk memberimu tempat di dekat jendela, biar kamu bisa santai dan tidak perlu repot mengeluarkan tas dari dalam tempat penyimpanan. Sekarang giliran kamu yang jawab pertanyaan aku. Dari mana kamu bisa tahu kalau aku sengaja meminta Tari untuk menempatkan kamu di dekat jendela? Aku yakin bukan Tari sendiri yang mengatakan hal itu padamu. Apakah kamu tadi hanya tebak-tebak manggis?" tanya Raja, sambil membawa Ziva untuk masuk barisan penumpang yang akan turun dari pesawat.

Mereka berdua mengikuti arus penumpang yang ada di depan perlahan-lahan. Tari, Rasyid, Mika, dan Hani tampaknya sudah turun lebih dulu daripada mereka.

"Aku bisa menebak hal itu karena selama ini Tari sama sekali tidak pernah menempatkan aku di dekat jendela ketika naik pesawat. Tari selalu menempatkan aku di kursi pinggir, agar memudahkan aku untuk masuk ke barisan penumpang ketika akan turun dari pesawat. Pernah ada insiden yang terjadi ketika aku duduk dekat jendela, akibat banyaknya penumpang yang berdesak-desakan ingin turun duluan. Aku akhirnya tertahan di dekat jendela sangat lama, sehingga aku menjadi penumpang terakhir yang turun dari pesawat. Rasyid gelisah setengah mati saat aku tidak kunjung dia temukan. Maka dari itu akhirnya aku tidak pernah lagi ditempatkan di dekat jendela oleh Tari," jawab Ziva dengan jujur.

"Astaghfirullah. Pantas dia agak sedikit mendebat aku lewat pesan, saat aku meminta agar kamu duduk di dekat jendela. Setelah aku menjanjikan padanya bahwa kamu akan kujaga baik-baik selama berada di pesawat, dia baru luluh dan mengabulkan permintaanku. Tapi waktu itu tidak terjadi apa-apa 'kan sama kamu?" Raja ingin tahu, karena merasa penasaran serta khawatir pada saat bersamaan.

"Alhamdulillah waktu itu aku enggak apa-apa. Hanya saja ... sempat bikin panik yang lainnya karena aku turun paling terakhir padahal tempat duduk aku tidak berada di barisan belakang."

Raja dan Ziva pun akhirnya tiba di tempat kedatangan. Rasyid, Tari, Hani, dan Mika tampak terlihat lega karena tidak terjadi lagi insiden Ziva yang harus tertahan serta turun paling akhir dari pesawat, meski Ziva duduk di dekat jendela.

"Apa kubilang, Ziva pasti aman kok kalau sama-sama Raja," bisik Mika.

"Kita 'kan cuma mengantisipasi saja, Mik. Jangan sampai terulang lagi hal yang pernah terjadi," jelas Rasyid, ikut berbisik.

"Intinya sekarang Ziva sudah aman karena dia sudah ada yang jaga," Hani ikut setuju dengan pendapat Mika.

Saat Ziva dan Raja tiba di hadapan mereka, mereka pun langsung menyambut seperti biasa. Mika mengambil foto seperti biasanya dan kembali memajangnya pada status WhatsApp--sebagai laporan kepada keluarganya agar tidak merasa resah. Jonathan--Kapolda Sumatra Utara--tampak sudah menunggu mereka di parkiran Bandara Internasional Kualanamu. Mereka berjabat tangan secara bergantian, berkenalan selama beberapa saat, lalu setelah itu menaiki minibus yang dibawa oleh sopir pribadi Jonathan.

"Sopirku sekarang akan mengantar kalian langsung ke rumah saudara iparku. Kalian akan bermalam di rumahnya, karena dia punya satu rumah yang kosong dan rumah itu memiliki beberapa kamar. Kalian jadi bisa bekerja langsung di dekat korban," ujar Jonathan.

"Apakah sampai saat ini saudara ipar Bapak masih kesakitan tanpa henti?" tanya Ziva.

"Iya, masih. Sakitnya cukup aneh. Rasa sakit itu berpindah-pindah dan sama sekali tidak mereda serta tidak berjeda. Saat ini Dokter yang memeriksanya sudah bertambah menjadi tujuh orang. Tapi tetap saja, mereka tidak menemukan apa penyakit yang diderita oleh saudara iparku itu," jawab Jonathan.

"Tanpa jeda sama sekali? Lalu, apakah saudara ipar Bapak saat ini bisa melaksanakan shalat di tengah-tengah rasa sakit yang dialaminya?" Rasyid ingin tahu.

"Itu dia masalah lainnya. Dia tidak bisa melaksanakan shalat dan terus saja berteriak-teriak kesakitan. Dia bilang, kedua kakinya sama sekali tidak bisa dipakai untuk berdiri sejak mengalami sakit."

Akhirnya mereka menemukan masalah besar lain yang diakibatkan oleh sakit yang diderita oleh korban.

"Satu minggu yang lalu, tepatnya sebelum sakit, apakah ada hal-hal yang tampak aneh bagi saudara ipar Bapak?" Raja ikut bertanya.

"Kalau menurut saudara iparku, tidak ada hal yang aneh satu minggu lalu itu. Hanya kalau Adikku bilang, satu minggu lalu mendadak ada keranda jenazah tersimpan tepat di depan pagar rumah mereka. Saat Adikku bilang pada Suaminya dan akan dicek, keranda jenazah itu mendadak menghilang," jelas Jonathan.

"Sudah tanya ke pengurus masjid setempat, apakah itu keranda jenazah dari masjid atau bukan?" tanya Mika.

"Sudah. Tapi Adikku bilang, keranda jenazah yang ada di masjid bukanlah keranda jenazah yang dia lihat di depan pagar rumahnya. Keranda jenazah di masjid terbuat dari stainless, sementara yang dilihat oleh Adikku adalah ...."

"Keranda jenazah yang terbuat dari bambu," tebak Ziva.

Semua mata kini menatap ke arah Ziva yang duduk di kursi paling belakang bersama Raja. Raja tidak ikut menoleh ke arah Ziva dan bahkan tidak tampak membutuhkan penjelasan dari wanita itu.

"Dari mana kamu tahu? Aku belum mengatakan hal itu sejak tadi," Jonathan tampak kebingungan.

"Percayalah, Pak Jo, partnerku ini jelas sudah tahu apa yang akan dia hadapi hanya setelah mendengar keterangan dari Bapak," ujar Raja.

"Tapi tetap saja, aku akan kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain terhadap saudara ipar Bapak dan juga Adik Bapak," tambah Ziva, tampak benar-benar tenang.

"Baiklah, sebaiknya kalian bertemu saja langsung esok hari. Oh ya, nama Adikku adalah Rianti dan nama saudara iparku adalah Tanjung. Aku memberi tahu hal ini karena mungkin saja besok kalian tidak sempat berkenalan," jelas Jonathan.

Setelah semua orang tidak lagi menatap ke arah Ziva, Raja pun menoleh untuk mengamati wanita itu dengan lebih teliti.

"Jangan lama-lama kamu menatapku, Kakanda Raja. Nanti kamu akan jadi susah tidur. Aku enggak bisa tanggung jawab kalau kamu jadi susah tidur," bisik Ziva, sambil menahan tawa.

"Kamu salah," balas Raja, ikut berbisik. "Justru kalau aku enggak menatapmu lama-lama, barulah aku jadi susah tidur."

"Hm ... ucapan yang sama, yang sering aku dengar dari Ayahku. Lalu ujungnya setelah bicara begitu Ayah akan bilang, 'Kamu 'kan obat nyamuknya Ayah, jadi mana bisa Ayah tidur tanpa berlama-lama melihatmu lebih dulu'," ungkap Ziva.

Raja pun langsung tertawa tanpa suara setelah mendengar apa yang Ziva katakan. Ziva sendiri terlihat seperti sedang merencanakan pembalasan untuk Raja, setelah pria itu berani menertawakannya meski tanpa suara.

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang