8 | Tamu Yang Datang

1.4K 133 0
                                    

Mila telah selesai menyiapkan semuanya di meja makan pagi itu. Faris tampak sedang membaca berita pada beberapa platform berita online. Hari itu adalah hari liburnya, sehingga dirinya bisa bersantai di rumah bersama Mila.

"Bu Retno tampak frustrasi sekali semalam, ketika akhirnya keadaan menjadi memanas," ujar Mila.

"Bu Retno tidak pernah berhadapan dengan orang-orang seperti Keluarga Jatmiko dan Keluarga Bareksa. Beda halnya dengan kita yang sudah sangat sering bertemu dengan dua keluarga itu, karena kita berada di dalam satu komunitas yang sama," tanggap Faris.

"Ya, Ayah benar mengenai hal itu. Satu-satunya keluarga yang tidak ikut dalam komunitas adalah Keluarga Wiratama. Maka dari itu tidaklah heran kalau Bu Retno sama sekali tidak siap menghadapi keadaan seperti yang semalam terjadi. Tapi Ibu tetap merasa lega, karena Ziva tak perlu ada di sana saat kekacauan itu pecah. Ibu senang karena dia dan Raja mendapat panggilan pekerjaan dari Tari," ungkap Mila, seraya menyajikan makanan ke atas piring untuk suaminya.

Faris menerima makanan itu dan mulai menyantapnya dengan tenang. Namun pikiran Faris kini tertuju kepada Ziva dan juga apa yang terjadi semalam di rumah Keluarga Hardiman.

"Ibu ingat tidak, bagaimana ekspresi Ziva saat kita ajak ke pertemuan semalam?" tanya Faris.

"M-hm ... Ibu tentu ingat bagaimana ekspresi Putri kita tersayang itu. Dia murung sepanjang waktu sampai kita tiba di rumah Keluarga Hardiman," jawab Mila.

"Ya, itu benar. Tapi saat dia melihat Bu Retno, wajah murungnya langsung lenyap. Lalu ditambah dengan kemunculan Raja setelah dia menyapa Bu Retno, wajahnya semakin terlihat sangat cerah. Ayah belum pernah melihat ekspresi Ziva yang begitu cerah saat menghadapi seseorang di depan umum. Bahkan saat dia memiliki hubungan dengan Gani dan diperlakukan sangat baik oleh Bu Arlita serta Pak Tomi, Ziva selalu saja datar dan terkadang sangat murung. Sementara saat dia bersama Bu Retno dan Raja, dia seakan berada di dunia yang berbeda. Dia begitu lepas dan tidak merasa harus menahan diri atau bersikap canggung," ujar Faris.

"Ayah benar. Ibu juga merasakan itu semalam. Kalau bersama Bu Retno, mungkin kita bisa anggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar, karena Ziva sudah lama mengenal Bu Retno tanpa kita tahu. Tapi ekspresinya saat bersama Raja adalah yang paling sulit Ibu lupakan. Dia ... benar-benar menjadi dirinya sendiri ketika ada di samping Raja. Dia tidak terlihat canggung, dia tidak terlihat merasa tertekan. Ibu senang melihat hal itu dan bagi Ibu, itu adalah sebuah perkembangan yang besar untuk Ziva."

Faris pun meletakkan sendok serta garpunya ke atas piring dan terlihat merenung selama beberapa saat.

"Apakah menurut Ibu, Ziva menyukai Raja?"

Mila langsung angkat bahu seraya tersenyum.

"Kalau urusan itu, Ibu tidak berani menduga-duga ataupun berusaha mencari tahu. Ibu tidak mau lagi menjodoh-jodohkan Ziva, sekalipun itu terhadap Raja yang telah membuatnya menjadi sangat ceria. Ibu hanya akan melihat bagaimana semuanya berjalan dengan alami di dalam hidup Putri kita satu-satunya. Jika pada akhirnya Ziva memang menyukai Raja dan Raja pun demikian, maka jelas tidak ada jalan lain bagi kita berdua selain memberikan restu pada mereka. Intinya, Ziva tidak boleh menjalani sesuatu yang berdasarkan sebuah paksaan dari kita. Ibu masih menyesali perjodohan yang kita lakukan untuk Ziva kepada Gani. Semua tidak berakhir dengan baik pada akhirnya dan Ziva harus menanggung stress akibat dari kelakuan Gani yang sesungguhnya."

Faris juga setuju dengan pendapat istrinya. Mila jelas benar, bahwa Ziva tidak perlu dipaksa untuk menjalani sesuatu yang tidak dia inginkan. Ziva sudah bahagia dengan jalan hidupnya yang dia pilih sejak baru lulus SMA. Ziva tidak pernah macam-macam dan hanya fokus pada pekerjaannya. Jadi jelas tidak ada alasan untuk memaksa Ziva menjalani sesuatu yang asing baginya.

"Tapi mendoakan agar Putri kita mendapatkan jodoh yang terbaik jelas tidak masalah. Siapa tahu Allah memang sudah menanti kita untuk mulai mendoakan agar Ziva mendapat jodoh terbaiknya," tambah Mila.

"Kalau itu jangan ditanya, Bu. Setiap saat Ayah selalu mendoakan agar Ziva mendapat jodoh yang terbaik. Lagi pula, mana ada sih, seorang Ayah di dunia ini yang tidak mau Putrinya mendapatkan jodoh terbaik," tanggap Faris, seraya mencubit pipi kiri istrinya dengan gemas.

Hal itu membuat Mila langsung tertawa dengan wajah memerah. Mereka berdua menuntaskan kegiatan sarapan pagi itu lalu segera menikmati hari libur dengan berbagai kegiatan lainnya.

"Eh ... ngomong-ngomong, Keluarga Bareksa benar-benar serius tidak akan membuat Vano bertanggung jawab atas kehamilan Rere? Terus, nasib Rere bagaimana dong selanjutnya?" Mila tampak kepikiran.

"Entahlah. Ayah rasa itu bukan urusan kita lagi. Bukan karena tidak kasihan terhadapnya, tapi semua itu jelas berawal dari kesalahan Rere sendiri. Dan bahkan kalau pada akhirnya dia akan dipenjara setelah menerima tuntutan dari Keluarga Jatmiko, kita hanya bisa pasrah saja. Semuanya serba sulit sekarang, Bu. Rere terbukti hendak menipu dan hendak menjebak Gani dengan kehamilannya. Itu jelas adalah hal yang sulit untuk dibantah, karena dia dan Gani benar-benar hampir bertunangan jika saja kehamilannya tidak dibongkar oleh Bu Retno. Tidak ada yang bisa dibela dari sisi Rere," ungkap Faris.

"Dan menurut Ayah, Anita tidak akan menyalahkan kita jika tidak ada usaha pembelaan sama sekali?" tanya Mila.

"Ayah paling cuma bisa mengatakan satu hal kalau dia berusaha menyalahkan kita. 'Anakmu sendiri yang bermain api. Dia yang merebut Gani dari Ziva setelah menggodanya untuk berselingkuh. Haruskah kami juga menuntut anakmu atas kegagalan perjodohan antara Ziva dan Gani?'. Itu saja yang akan Ayah sampaikan pada Anita. Dia mungkin adalah Adikku. Tapi jika dia bertingkah, maka aku tidak akan segan-segan untuk membuatnya menyesal. Dia harus sadar bahwa dirinya telah salah mendidik anak. Tidak ada yang namanya menghindari hukuman, jika memang sudah ketahuan bersalah," jawab Faris, sambil menyodorkan satu pot bunga yang bunganya sedang mekar ke tangan Mila. "Bunganya cantik. Seperti kamu."

Wajah Mila kembali memerah saat mendengar pujian yang Faris layangkan untuknya. Namun saat dirinya akan membalas pujian itu, salah satu satpam masuk ke rumah untuk mengabarkan sesuatu pada mereka berdua.

"Maaf Tuan ... Nyonya ... di gerbang ada mobil milik Keluarga Hardiman yang baru saja datang. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Tuan dan Nyonya," ujar satpam bernama Ahmad tersebut.

"Bukakan gerbangnya, Pak Ahmad. Lalu setelah mereka masuk, tolong panggilkan Pak Rusman dan Pak Hadi untuk datang ke sini. Mereka akan berjaga di dekat kami, saat Keluarga Hardiman bicara dengan kami berdua," pinta Faris, seraya tersenyum ramah seperti biasanya.

"Baik, Tuan. Akan segera saya laksanakan," jawab Ahmad

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang