14 | Ternyata

1.3K 143 0
                                    

Pintu gerbang rumah Tanjung dibuka oleh Raja saat ada sebuah mobil yang datang sekitar pukul sembilan, pagi itu. Orang-orang di dalam mobil tersebut menatap ke arah Raja setelah keluar dari mobil yang baru saja parkir di dekat mobil milik Tanjung. Mereka jelas merasa sangat asing dengan Raja, sehingga menatapnya sangat lama seakan membutuhkan penjelasan. Rianti keluar dari rumah bersama Tari--yang sedang berperan sebagai kepala asisten rumah tangga--untuk menyambut orang-orang yang datang tersebut. Raja sudah mengamati mereka satu-persatu di halaman rumah. Ia juga sudah melaporkan hasil pengamatannya tersebut kepada Ziva yang saat ini ada di dalam rumah.

Orang-orang yang datang itu benar-benar berjabat tangan dengan Rianti, seperti yang sudah diduga oleh Ziva, Tari, dan Hani. Rianti menghadapi mereka dengan tenang dan ramah seperti biasanya. Orang-orang yang datang itu adalah pihak keluarga dari Tanjung sendiri, sehingga membuat Rianti semakin tidak sabar ingin tahu mengenai pelaku pengirim teluh bambu yang sebenarnya.

"Syukurlah kalau kamu dan Tanjung selalu sehat. Eh, ngomong-ngomong siapa tadi yang membukakan kami gerbang itu, Dek? Dan juga ... siapa itu yang menunggui kamu di ambang pintu?"

"Yang membukakan gerbang itu sopir keluarga kami, Kak Erin. Sementara yang ada di belakangku ini adalah kepala asisten rumah tangga di rumah kami," jawab Bu Rianti, sesuai dengan yang sudah direncanakan tadi.

"Oh ... jadi sekarang kalian sudah memakai jasa sopir dan asisten rumah tangga rupanya? Kenapa? Sudah tidak bisa mengurus rumah sendiri? Katanya dulu Kak Rianti adalah perempuan mandiri, kok sekarang sepertinya mulai menjadi manja?"

"Hush! Kamu itu bicara apa, Ra? Kalau Rianti mau pakai jasa sopir dan asisten rumah tangga memangnya kenapa? Dia juga sesekali butuh istirahat dan memperhatikan Tanjung lebih dari biasanya," tegur wanita yang tadi dipanggil Erin oleh Bu Rianti.

"Betul itu, Kak Dira. Lagi pula, yang menggaji 'kan Kak Rianti dan dia tidak membebankan Kakak untuk urusan itu. Kenapa pula Kakak harus mempertanyakan soal mandiri atau tidak? Memangnya Kak Rianti tidak boleh beristirahat sesekali?" tegur wanita lainnya yang ada di samping wanita bernama Erin.

Dira--wanita yang menyindir Rianti--langsung terdiam sambil memutar kedua bola matanya, seakan merasa kesal saat Rianti dibela oleh orang-orang di sekitarnya. Suami Dira--yang sejak tadi hanya memperhatikan keadaan sekitar--kini merangkul istrinya agar tidak lagi banyak bicara.

"Maafkan Istriku Kak Erin ... Dek Rania ... dia hanya sekedar buang-buang kata saja. Dia tidak bermaksud menyindir Kak Rianti sama sekali."

"Suruh Istrimu tutup mulutnya, Ren! Suruh dia sekolah lagi kalau perlu, biar dia tahu apa itu adab!" titah Erin, tampak benar-benar kesal pada Dira.

"Iya, benar itu Bang Reno. Supaya Kak Dira sadar dan bisa bersikap sopan saat bertamu ke rumah orang lain," tambah Rania, jauh lebih lembut daripada Erin.

Mendapat sindiran seperti tadi, Rianti pun kemudian hanya tersenyum dengan tenang.

"Sebaiknya mari kita masuk ke dalam. Bang Tanjung sedang bicara santai dengan Sekretarisnya di ruang tengah, jadi kalian tentu bisa langsung bertemu dengan Bang Tanjung di sana," ajak Rianti.

"Iya, sebaiknya memang begitu Dek. Daripada aku kesal tidak berujung gara-gara kelakuan Dira yang seperti orang tidak berpendidikan," tanggap Erin dengan cepat.

Dira tampak kesal dengan pembelaan yang Erin dan Rania tunjukkan kepada Rianti. Namun sebisa mungkin Reno berusaha membuatnya tenang agar tidak perlu marah-marah berlebihan di depan keluarga. Suami Erin dan suami Rania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat ekspresi Dira saat itu.

"Heran ... kenapa Bang Reno memilih menikahi perempuan seperti Kak Dira, ya, Bang? Punya kelebihan juga tidak. Bisanya hanya sinis pada orang lain. Tidak habis pikir aku," ungkap Riko--suami Rania.

"Entahlah. Dari kita empat bersaudara, memang cuma Reno yang pikirannya tidak bisa dimengerti. Bahkan Mamak dan Bapak pun sering mengatakan begitu tentang Reno, saat sedang menghadapi Dira dan sikapnya yang aneh," tanggap Dudi--suami Erin.

Tari bisa mendengar semua itu dengan jelas, meski mereka berupaya bicara sepelan mungkin. Tari pun segera melaporkan hal itu pada Ziva melalui ponselnya. Mereka yang berkunjung pagi itu tampak senang saat melihat Tanjung yang sehat wal 'afiat. Bahkan orang yang mengirimkan teluh bambu pada Tanjung pun tampaknya ikut bersandiwara dengan berpura-pura senang karena Tanjung terlihat sehat-sehat saja.

"Si pengirim teluh sedang bersandiwara saat ini," ujar Ziva, saat Rianti dan Tari tiba di dapur.

"Itu dia permasalahnnya, Dek Ziva. Yang mana pelakunya di antara mereka berenam?" tanya Rianti.

"Ibu akan melihat sendiri dari gelagatnya," jawab Ziva. "Ketika aku menyajikan teh, kopi, dan juga cemilan-cemilan ke depan sana, Bu Rianti hanya perlu melihat saja siapa yang akan menyodorkan minuman kepada Pak Tanjung. Hani tadi sudah memberi tahu Pak Tanjung untuk menerima namun tidak boleh meminum minuman yang disodorkan oleh orang itu. Jadi sekarang, Bu Rianti kembali saja ke depan dan bersikap tenang seperti tadi."

"Baiklah kalau begitu. Jujur saja, saat ini jantungku sangat berdebar-debar dan kedua tanganku rasanya benar-benar sedingin es. Aku gugup, tapi aku harus tetap bersandiwara agar tahu siapa orang yang telah mengirim teluh bambu untuk membuat Suamiku menderita," ungkap Rianti.

"Bu Rianti tenang saja. Terus berdzikir meski sangat lirih dan jangan pernah takut. Jika Ibu tidak takut, maka semua hal yang menakutkan akan mundur dengan sendirinya," dukung Tari.

Rianti pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa dirinya saat itu akan mempercayakan semua kepada Tari dan Ziva. Ia segera berjalan keluar dari dapur, lalu kembali tersenyum saat akan tiba di ruang tengah. Tanjung meminta Rianti untuk duduk di sampingnya, lalu kemudian merangkulnya seperti biasa.

"Sudah aku beritahu pada Tari untuk meminta Ziva mengantarkan minuman dan cemilan. Mungkin sebentar lagi akan segera dia sajikan, Bang," ujar Rianti.

"Alhamdulillah. Aku cukup senang karena kamu sekarang menjadi terbantu mengenai pekerjaan rumah. Jadi kamu bisa bergabung dengan kami saat sedang berkumpul seperti ini," tanggap Tanjung dengan wajah yang begitu cerah.

Semua orang tertawa saat mendengar hal itu. Beberapa menganggap bahwa apa yang Tanjung katakan adalah benar, sementara beberapa yang lainnya hanya berpura-pura ikut tertawa. Ziva muncul tak lama kemudian sambil membawa baki berisi minuman dan cemilan yang akan disajikan. Tatapannya langsung tertuju pada kuntilanak yang terus berada di belakang si pengirim teluh bambu. Namun ia segera bersikap seakan tak melihat apa-apa, lalu segera menyajikan semuanya ke atas meja di ruang tengah tersebut.

Raja mengawasi dari bagian depan rumah itu secara diam-diam. Baru saja Ziva selesai menyajikan minuman dan cemilan, orang yang sungguh amat sangat tidak terduga langsung berdiri dan menyodorkan minuman untuk Tanjung. Tanjung dan Rianti jelas merasa kaget pada saat itu, namun sebisa mungkin mereka mencoba untuk tetap bersikap wajar.

"Hm ... ternyata benar kalau dia adalah orangnya," batin Raja.

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang