18 | Membuka Yang Sebenarnya

1.3K 139 4
                                    

Tidak ada yang menghalangi keinginan Dudi dan Erin keluar dari rumah itu. Mereka tampak cukup marah setelah melalui perdebatan dengan keluarga sendiri. Raja menyampaikan apa yang dilihatnya saat itu kepada semua anggota timnya. Ziva dan Tari pun keluar dari dapur, begitu pula Hani dan Mika yang kini menuruni anak tangga menuju lantai bawah.

"Ziv! Langsung?" tanya Mika.

"Ya, aku akan langsung. Persiapkan semuanya, Mik. Aku dan Raja pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Ziva.

"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang.

Reno dan Riko tampak menatap ke arah Tanjung sekarang. Sementara Rianti kini sedang menghibur Rania bersama dengan Dira.

"Ada apa itu, Bang Tanjung? Kenapa asisten rumah tangga Abang tampaknya pergi dengan terburu-buru sekali?" tanya Reno.

"Dia bukan asisten rumah tangga di rumahku, Dek. Dia adalah anggota tim yang dipanggil oleh Bang Jo, untuk membantu mencari tahu siapa yang sudah memberikan teluh kepadaku dan juga membantu menyembuhkan aku dari kesakitan akibat terkena teluh," jawab Tanjung, apa adanya.

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Abang kena teluh? Siapa yang tega meneluh Abang? Memangnya Abang punya salah apa, sehingga orang itu mengirim teluh untuk Abang?" tanya Riko, tampak begitu kaget.

"Kenapa kamu tanya lagi, Dek? Kamu tidak lihat bahwa barusan wanita yang pura-pura menjadi asisten rumah tangga Bang Tanjung buru-buru pergi keluar setelah Bang Dudi dan Kak Erin pergi dari sini? Sudah jelas sekali siapa pengirim teluh untuk Bang Tanjung meski tidak ada yang menjelaskan," sahut Dira, sambil menahan geram pada Dudi maupun Erin.

"Astaghfirullah. Benar begitu, Bang Tanjung? Benar bahwa Bang Dudi dan Kak Erin yang mengirim teluh untuk menyakiti Abang?" Reno tampak shock.

Tanjung dan Rianti menatap ke arah Tari, Mika, dan Hani yang saat ini ada di ruang tengah. Tari mendekat ke arah meja makan saat sadar bahwa Tanjung dan Rianti butuh diwakili bicara dengan seluruh anggota keluarganya.

"Maaf sebelumnya, aku mungkin akan mewakili Pak Tanjung dan Bu Rianti bicara dengan Bapak-bapak dan Ibu-Ibu. Hal ini bertujuan agar semuanya ada di posisi netral dan tidak menyudutkan siapa pun," ujar Tari.

"Jadi benar, Dek, kalau Abang ipar tertua kami dan Istrinya mengirim teluh kepada Bang Tanjung?" Rania memutuskan langsung bertanya.

Tari pun menatapnya, kemudian mengangguk pelan. Rania menutup matanya lalu menangis sambil memeluk Rianti yang ada di sisinya. Dira tampak semakin geram dan tidak bisa menyembunyikan kegeramannya tersebut terhadap Dudi dan Erin.

"Lalu, kenapa pula tadi tidak langsung saja ditanyakan sama orangnya, Dek? Kenapa justru kalian biarkan dia orang itu pergi?" tanya Dira.

"Keselamatan Pak Tanjung menjadi taruhannya, Bu Dira. Jika kami semua langsung menuding Pak Dudi dan Bu Erin, maka kami tidak akan punya kesempatan untuk mematahkan teluh bambu yang dikirim untuk menyakiti Pak Tanjung," jawab Tari.

"Teluh bambu?" Riko tampak tak mengerti.

"Iya. Teluh bambu adalah salah satu jenis teluh berbahaya, Pak Riko. Teluh bambu itulah yang dikirimkan oleh Pak Dudi dan Bu Erin untuk membuat Pak Tanjung kesakitan di sepanjang sisa umurnya," jelas Tari.

"Oh ... tidak punya hati memang Bang Dudi dan Kak Erin itu!" seru Dira, terlihat frustrasi. "Susah-susah kita tenangkan Mamak dan Bapak agar tidak terlalu memikirkan perbuatan mereka dua minggu lalu, sekarang mereka malah berulah ingin menyakiti Bang Tanjung dan Kak Rianti. Pikiran mereka sudah tidak waras kurasa!"

"Mana ada orang bisa waras jika sangat butuh uang, Kak Dira? Aku sudah mencari tahu tentang apa yang menjadi penyebab Bang Dudi dan Kak Erin meminta dibagi warisan pada Mamak dan Bapak. Mereka baru saja kena tipu. Beberapa lokasi tanah yang mereka miliki sudah disita oleh Bank. Mereka tidak bisa membayar cicilan dari pinjaman yang mereka ambil. Tapi mereka sudah terlanjur tertipu dan penipunya sudah kabur membawa semua uang yang diberi oleh Bang Dudi. Makanya mereka berdua memaksa Mamak dan Bapak untuk membagi warisan. Mereka tampaknya tidak ingin disebut orang gagal setelah ditipu," jelas Riko.

"Terus urusannya sama Bang Tanjung apa? 'Kan bukan Bang Tanjung yang menipu mereka," Rania kini merasa sangat bingung.

"Sudah kubilang tadi, mereka ada kemungkinan merasa marah karena Mamak dan Bapak menjadikan Bang Tanjung dan Kak Rianti sebagai contoh untuk kita. Mereka tidak bisa terima dengan hal itu, lalu ... lihatlah sendiri. Mereka sudah gila karena berani bermain teluh untuk menyakiti Bang Tanjung," Dira mengulang apa yang membuatnya curiga pada Dudi dan Erin.

Tanjung hanya bisa beristighfar lirih berulang-ulang, ketika mendengar semua pembicaraan itu. Riko dan Reno tampak frustrasi dengan tingkah laku Dudi yang sejak dulu selalu saja ingin menguasai semua hal sendirian. Di tambah Dudi memiliki istri yang serakahnya minta ampun seperti Erin. Mereka benar-benar menjadi dua benalu yang sulit untuk diatasi.

"Kalau Bang Tanjung berhasil mereka sakiti, tidak lama lagi berarti kita berdua juga akan mereka sakiti seperti yang terjadi pada Bang Tanjung," ujar Reno.

"Iya, itu sudah jelas. Mereka ingin warisan, bukan? Jelas mereka tidak ingin warisannya dibagi rata. Mereka ingin menguasainya sendiri, sehingga nekat menyakiti satu-persatu dari kita," tanggap Riko.

"Itulah gunanya aku meminta pertolongan pada yang ahli," sahut Jonathan yang baru saja masuk ke rumah itu bersama Rasyid dan Batagor. "Aku jelas tidak akan biarkan satu orang pun mengusik kehidupan Adik dan Adik iparku. Maka dari itulah mereka ada di sini bersama kita. Ayo, ikut denganku dan kita lihat seburuk apa tindakan Kakak dan Kakak ipar kalian sendiri."

Reno dan Riko kini membantu Tanjung berdiri dari kursi meja makan agar bisa pergi ke ruang tengah bersama mereka mengikuti langkah Jonathan.

"Ayo, sebaiknya kita juga ikut ke ruang tengah dan melihat pengejaran Dek Ziva dan Dek Raja terhadap Bang Dudi dan Kak Erin," ajak Rianti.

"Kak ... kenapa Kakak diam-diam saja sejak tadi? Kenapa Kakak tidak melakukan apa-apa untuk membuat Kak Erin dan Bang Dudi mengakui perbuatannya?" sesal Dira.

"Kak Dira ... tadi Dek Tari sudah bilang, kalau keselamatan Bang Tanjung dipertaruhkan. Maka dari itulah bahkan Kak Rianti pun hanya bisa diam," ujar Rania sambil menyeka airmatanya.

"Andai saja teluh bambu itu tidak butuh untuk dipatahkan, maka sudah jelas aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja, Dek. Sayangnya teluh bambu itu butuh dipatahkan, agar Bang Tanjung bisa kembali sehat seperti sediakala. Saat ini Bang Tanjung bisa berhenti merintih kesakitan karena telah minum air yang sudah didoakan oleh tamu-tamuku. Mereka membantu Bang Tanjung dan aku agar bisa melewati keadaan ini dengan tabah," jelas Rianti, yang kini sudah tidak bisa lagi menahan airmatanya sendiri.

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang