Raja sudah berada di luar kamar paling awal pagi itu. Saat semua orang akhirnya berkumpul, Tari pun langsung mempertanyakan keberadaan Raja saat itu.
"Kamu sudah bangun, Ja? Jam berapa kamu bangun?" tanya Tari.
"Aku enggak tidur, Tar," jawab Raja.
Ziva pun langsung membatalkan niatnya untuk memakan roti--yang ia beli di Starbucks semalam dan belum sempat dimakan--dan lebih memilih menatap ke arah Raja.
"Loh ... kenapa kamu enggak tidur, Ja?" tanya Rasyid, yang juga tampak kaget dengan fakta itu.
"Semalam aku sudah niat mau tidur. Tapi waktu aku mau tutup gorden di kamarku, aku lihat sosok kuntilanak di luar sana. Kuntilanak itu menatap ke arahku, lalu tiba-tiba dia mendekat dan masuk ke dalam rumah ini melalui dinding bagian depan. Aku mengejarnya sampai keluar kamar. Tapi saat kuntilanak itu tiba di dalam rumah ini, mendadak sosoknya hilang tepat sebelum sampai ke tangga. Jadi ... untuk mencegah dia muncul lagi, aku putuskan untuk berdiam di sini dan tidak tidur. Aku takut ada apa-apa pada salah satu dari kalian," jelas Raja.
"Kok kamu enggak bangunin aku, Ja?" tanya Ziva. "Semalam aku masih ngobrol sama kamu lewat chat. Aku masih belum benar-benar tidur sekitar lima belas menit setelah kita selesai ngobrol. Harusnya kamu bangunin aku, biar aku tahu ada apa di luar. Kamu juga seharusnya enggak memutuskan begitu saja untuk mengejar kuntilanak itu sendirian, setelah dia masuk ke rumah ini. Kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"
"Mana mungkin aku mau bangunin kamu lagi? Kamu capek, Ziv. Energimu sudah banyak terbuang hanya perkara menghadapi Gani dan Rere sebelum kita akhirnya dikabari oleh Tari. Mana tega aku bangunin kamu lagi, setelah kamu bilang kalau kamu mulai mengantuk?" balas Raja.
"Kita partner, Ja, dan kamu yang selalu menegaskan itu sama aku sejak awal kita kerja bersama. Terus apa artinya hal yang kamu tegaskan, kalau disaat yang paling penting kamu justru enggak berusaha memberi tahu aku? Enggak ada urusannya kerjaan kita dengan tenagaku yang sudah terkuras gara-gara menghadapi Gani dan Rere. Itu urusan lain. Kita harus tetap profesional dalam pekerjaan kita dan enggak perlu membahas soal apa yang terjadi sama aku di luar lingkaran pekerjaan ini," tegas Ziva.
"Hei ... sudah cukup! Kenapa kalian berdua jadi bertengkar, sih? Focus, please," lerai Hani. "Hari ini kita harus menghadapi sesuatu yang belum diketahui akar masalah yang sebenarnya. Kalau kalian terpecah belah hanya karena saling adu argumen seperti ini, maka kita belum tentu akan bisa menyelesaikan perkaranya secepat biasa. Tolonglah ... jangan ada pertengkaran."
Ziva dan Raja pun saling diam setelah mendengarkan Hani. Mereka segera keluar dari rumah itu bersama-sama setelah ketegangan mereda. Ziva batal memakan rotinya dan memilih segera mencurahkan perhatian pada kasus aneh yang tengah mereka hadapi. Raja berusaha mendekat padanya untuk meluruskan masalah.
"Hei, aku ... aku minta maaf karena tidak bilang padamu soal kuntilanak yang aku lihat semalam. Kamu benar, kita partner dan seharusnya aku enggak memikirkan hal yang terjadi di luar pekerjaan ini saat kita sedang bekerja. Aku ... aku menyesali yang sudah aku putuskan sebelah pihak," ujar Raja.
Ziva jelas bisa melihat raut wajah penuh penyesalan yang tercetak jelas di wajah Raja. Ia segera meraih tangan pria itu dan menggenggamnya seperti bagaimana pria itu menggenggam tangannya di penerbangan yang lalu.
"Sudah, lupakanlah. Maafkan aku juga, karena tadi aku ikut terbawa emosi akibat merasa sangat khawatir akan keselamatan kamu. Aku janji, Insya Allah aku enggak akan pernah marah seperti tadi lagi terhadap kamu. Mari kita saling introspeksi diri, agar ke depannya kita tidak perlu saling salah sangka ataupun ... beradu argumen," balas Ziva.
Raja pun mengangguk pelan seraya mulai tersenyum lagi perlahan-lahan.
"Ayo, sebaiknya kita susul yang lainnya sebelum mereka duluan bertemu dengan korban," ajak Raja.
"Ya. Ayo."
Mereka berdua pun segera menyusul yang lainnya. Mereka menaiki anak tangga yang terdapat di depan rumah utama untuk bisa sampai pada pintu depan. Tari tampak sedang berdebat dengan seorang wanita. Jonathan dan Rianti--istri korban--ada di antara mereka berdua.
"Tidak bisa begitu, Bu. Ini masalahnya belum benar-benar jelas. Kita masih belum tahu sebenarnya Pak Tanjung itu sakit apa. Kalau tiba-tiba media mendadak memberitakan soal sakitnya Pak Tanjung lalu ada statement bahwa Pak Tanjung diteluh oleh lawan politiknya seperti yang Ibu inginkan, menurut Ibu itu tidak akan memperparah sakitnya Pak Tanjung jika seandainya benar bahwa lawan politiknya yang memberi teluh? Kalau Pak Tanjung akhirnya meninggal bagaimana? Ibu mau bertanggung jawab atas meninggalnya Pak Tanjung yang diakibatkan oleh ambisi Ibu yang begitu ingin menampilkan pencitraan di depan media?" Tari bertanya dengan tegas.
"Aku ini Sekretarisnya Pak Tanjung! Jadi terserah aku mau melakukan apa demi kepentingan politiknya Pak Tanjung!" bentak wanita itu kepada Tari.
Wanita itu bernama Rosi, yang namanya bisa dibaca dengan jelas melalui tag name yang ada pada bajunya. Ziva mengamatinya selama beberapa saat, setelah mendengarkan perdebatan itu.
"Hanya Sekretaris, 'kan?" tanya Ziva, santai, singkat, dan menohok.
Rosi menatap tajam ke arah Ziva saat mendengar pertanyaan barusan.
"Apa maksudmu, hah?" bentaknya lagi, dan kali ini Ziva adalah sasarannya.
"Aku tanya ... kamu hanya Sekretarisnya Pak Tanjung, 'kan? Kamu bukan Istrinya, 'kan? Kamu bukan Nyonya di rumah ini, 'kan? Kamu hanya orang yang berada di sini karena digaji oleh Pak Tanjung dan Istrinya, 'kan? Iya, 'kan?"
Ziva balas menyudutkan Rosi dengan nada yang sangat halus. Jangankan Rosi, bahkan Rianti dan Jonathan pun mendadak diam ketika mendengar serentetan pertanyaan yang Ziva ajukan.
"Kalau jawabannya adalah 'iya', maka sebaiknya kamu segera mundur. Istri Pak Tanjung tidak akan memberikan kamu akses untuk masuk ke dalam rumah ini mulai dari sekarang atas permintaan kami. Karena saat ini, kamu telah berada di bawah radar pengawasan kami sebagai salah satu orang yang berpotensi mengirimkan teluh untuk Pak Tanjung," lanjut Ziva, seraya menatap ke arah Rosi dan mendekat untuk menipiskan jarak.
Rosi diam saja di tempatnya, namun tetap menatap tajam ke arah Ziva.
"Kalungmu bagus. Apa isinya? Pelet untuk menaklukkan Pak Tanjung?" tanya Ziva, seraya merenggut dengan kasar kalung kain hitam dari leher Rosi.
Rosi tersentak saat kalung yang dipakainya sudah tidak lagi tergantung di lehernya dan ada di dalam genggaman Ziva.
"Hei! Apa-apaan kamu?" Rosi merasa marah dan takut pada saat bersamaan.
"A'udzubillahi minasy-syaithaanirrajiim. Bismillahirrahmanirrahim. Bismillahilladzi la yadurru ma'a ismihi shay'un fil ardi wa la fis sama'i wa huwassami'ul 'alim."
Ziva meniupkan bacaan doanya lalu membakar kalung itu di lantai teras rumah itu. Rosi terlihat gemetaran saat menatap hal yang dilakukan oleh Ziva.
"Bagaimana, Ja? Sudah pergi jin perayu peliharaan perempuan itu?" tanya Ziva.
"Ya, jinnya sudah pergi. Dia lari terbirit-birit setelah kamu meniupkan doa pada kantung berisi pelet itu," jawab Raja, seraya tersenyum mengejek ke arah Rosi.
"Astaghfirullah hal 'adzhim," lirih Rianti.
Rianti mendadak lemas dan hampir pingsan di dalam dekapan Jonathan. Tampaknya dia tidak menyangka kalau Rosi akan berusaha menjerat suaminya dengan pelet.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BAMBU
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 2 Setelah melewati kasus pertama bersama Ziva sebagai partner kerjanya, Raja pun memutuskan untuk menetap dan tidak akan lagi mencari pekerjaan lain. Ia merasa nyaman bekerja bersama Ziva, terutama setelah Raja b...