16 | Rasa Bangkai

1.3K 139 6
                                    

Raja tersenyum diam-diam saat mendapati apa yang Ziva maksud soal 'melucuti topengnya sendiri', ketika sedang mengawasi keenam tamu yang datang. Sosok si pengirim teluh bambu itu benar-benar melucuti topengnya sendiri dengan berpura-pura bahwa mereka baik-baik saja, padahal wajah mereka yang pucat tidak bisa membohongi siapa pun saat itu. Rianti, Tanjung serta kedua Adik dan kedua ipar mereka jelas sadar bahwa Dudi maupun Erin sedang berusaha agar terlihat sehat.

"Hm ... ternyata memang tidak pahit sama sekali. Kami tadi belum benar-benar meminum kopi ataupun tehnya, jadi sekilas rasanya seperti pahit," ujar Dudi, berusaha mengembalikan suasana agar tenang seperti tadi.

Riko melirik ke arah Rania, sementara Reno melirik ke arah Dira. Tanjung dan Rianti kini tampak akan berpura-pura mempercayai saja mengenai yang dikatakan oleh Dudi.

"Kalau begitu aku akan ke dapur dulu, ya. Aku mau meminta Tari dan Ziva menyiapkan makanan, agar kita semua bisa makan bersama," ujar Rianti, berusaha mengalihkan perhatian.

"Iya ... sebaiknya kamu segera meminta makanan disiapkan, Dek," dukung Tanjung.

Rianti pun segera beranjak ke dapur untuk menemui Tari dan Ziva. Makanan tampak sudah benar-benar siap ketika ia tiba, sehingga hal itu cukup membuat Rianti sedikit merasa kaget.

"Eh? Ma--makanannya sudah siap semua, Dek?" tanya Rianti.

"Iya, Bu. Alhamdulillah makananya sudah siap semua. Hanya tinggal disajikan saja ke meja makan, agar semua orang bisa makan bersama," jawab Tari.

Rianti mengangguk-angguk selama beberapa saat, setelah mendengar jawaban Tari. Rianti segera mendekat pada Ziva untuk menanyakan soal apa yang terjadi pada Erin dan Dudi.

"Dek Ziva."

"Iya, Bu Rianti?"

"Itu ... barusan Kakak iparku dan Istrinya mendadak merasakan pahit saat mencicipi kopi dan teh yang disajikan. Tapi saat Adik-adik iparku serta Istri-istri mereka mencicipi kopi dan teh itu, rasanya sama saja dengan yang mereka minum. Manis dan enak. Apakah tadi kopi dan teh yang ...."

"Iya, Bu Rianti," jawab Ziva dengan cepat, sebelum Rianti sempat menyelesaikan pertanyaannya. "Semua kopi dan teh yang disajikan di meja ruang tengah itu diseduh menggunakan air yang sudah kami doakan bersama tadi pagi. Air itu aku didihkan, lalu kupakai menyeduh kopi dan teh. Bahkan, masakan yang kami masak pun menggunakan air yang sama. Tidak akan ada efeknya bagi orang-orang yang jauh dari perbuatan maksiat. Tapi akan sangat berefek jika orang itu adalah pelaku maksiat. Jadi ... hanya mereka berdua yang merasa kopi dan teh itu pahit, Bu Rianti?"

"Iya, hanya mereka berdua."

"Bagus. Berarti Bu Rianti dan Pak Tanjung saat ini tidak perlu merisaukan yang lainnya. Dua orang itulah yang mengirim teluh bambu untuk Pak Tanjung dan sangat ingin melihat Pak Tanjung mengalami penderitaan yang panjang," jelas Ziva.

"Astaghfirullah hal 'adzhim," lirih Rianti sambil mengusap-usap dadanya. "Tapi kenapa? Mereka juga termasuk orang yang berada dan memiliki jabatan penting di pemerintahan. Kenapa mereka harus sampai tega melakukan hal itu terhadap Suamiku?"

"Ada banyak kemungkinan, Bu Rianti. Kita tidak pernah bisa menduga-duga soal alasan seseorang berbuat jahat terhadap orang lain. Insya Allah nanti akan kami cari tahu, agar Bu Rianti dan Pak Tanjung tidak merasa penasaran soal alasannya," janji Tari.

Makanan pun segera disajikan ke atas meja makan oleh Ziva dan Tari. Rianti kini kembali berjalan menuju ruang tengah untuk memberi tahu semua orang.

"Mari silakan, langsung saja ke meja makan karena makanannya sudah siap," ujar Rianti, tetap seramah biasanya.

Tanjung pun bangkit dari sofa dan mencoba berjalan dengan santai seperti biasanya. Dudi dan Erin memperhatikan hal tersebut diam-diam, sambil menahan rasa geram di dalam dada. Mereka jelas merasa kesal karena Tanjung kini sudah kembali sehat meski masih perlahan-lahan.

"Sebentar Abang mau shalat dzuhur di masjid sama-sama Dek Rasyid, Dek Raja, dan Dek Mika. Boleh tolong siapkan sarung Abang yang warna cokelat muda, Dek?" pinta Tanjung.

"Boleh, Bang. Nanti aku siapkan setelah kita semua selesai makan," jawab Rianti.

"Iya ... nanti saja disiapkannya, Dek. Biarlah Rianti makan dulu bersama dengan kita. Kenapa kamu buru-buru sekali mau shalat, padahal saat ini bahkan belum jam sepuluh pagi," ujar Erin, terdengar ingin menghalang-halangi Tanjung untuk beribadah.

"Iya, Kak. Biar nanti saja Istriku menyiapkan sarung yang baru. Karena tadi aku masih memakai sarung bekas kemarin saat shalat dhuha," tanggap Tanjung.

Wajah Erin maupun Dudi terlihat sedikit berubah, ketika Tanjung mengatakan soal shalat dhuha yang dijalaninya pagi tadi. Mereka tampak kesal karena Tanjung sudah bisa kembali beribadah seperti biasa, yang mana artinya Tanjung akan mulai sedikit lebih susah untuk kembali dikirimi teluh.

Tari memberi tanda pada Tanjung untuk meminum air putih yang disajikan. Tanjung langsung meminumnya hingga tandas setelah membaca bismillah sangat lirih. Semua orang mulai mencicipi makanan yang tersaji di meja makan tersebut. Wajah kedua Adik dan kedua Adik ipar Tanjung jelas sangat terlihat senang dengan rasa makanan yang mereka cicipi. Namun lain halnya dengan wajah Dudi dan Erin yang--lagi-lagi--langsung memuntahkan makanan yang mereka suap ke lantai.

HUEEKKK!!!

"Astaghfirullah! Kak Erin ... Bang Dudi ... ada apa lagi? Apakah makanannya terasa tidak enak di mulut kalian, sama seperti kopi dan teh tadi yang kalian bilang pahit?" tanya Riko, benar-benar tidak bisa terima saat melihat seseorang merendahkan hasil kerja keras orang lain yang telah memasak.

"Itu makanan sepertinya sudah basi, Riko! Rasanya seperti daging dan kentang yang busuk!" jawab Dudi.

"Astaghfirullah, Bang Dudi. Apanya yang basi dan busuk? Kami memakan makanan yang sama dengan yang Bang Dudi dan Kak Erin makan. Kita sama-sama menyendok makanan di tempat yang sama barusan. Mana mungkin rasanya berbeda? Masakan yang tersaji ini enak sekali, Bang," ujar Raina, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja Dudi ungkapkan.

Dira langsung bangkit dan meraih piring milik Erin serta piring milik Dudi, lalu menukarnya dengan piring miliknya dan milik Reno.

"Makanlah yang sudah kami cicipi dan kami rasa memang enak. Kami akan makan makanan yang sudah kalian cicipi. Kalau ternyata, kami tetap merasakan bahwa makanan yang tersaji ini enak dan kalian tetap merasa makanan itu tidak enak, maka itu tandanya indera perasa kalian benar-benar sedang sakit," tegas Dira.

"Lalu kita akan berpotensi tertular penyakit dari mereka," tambah Reno seraya menatap ke arah Istrinya.

"Kalau Allah menghendaki, maka kita akan sakit. Kalau Allah tidak menghendaki, maka kita akan sehat-sehat saja. Lagi pula ini bukan zaman purba, Suamiku Sayang. Ada Dokter yang bisa mengobati kita, jika kita memang akan sakit," balas Dira, sedikit gemas terhadap suaminya sendiri.

Dudi dan Erin kini kembali mencoba makanan yang sudah dicicipi oleh Dira dan Reno. Sayangnya, mereka sama sekali tidak merasakan sesuatu yang enak, justru merasakan sesuatu yang semakin parah hingga membuat mereka muntah hebat di lantai rumah itu.

HUEEKKK!!!

"Makanan ini rasanya seperti bangkai!" teriak Erin, setelah memuntahkan seluruh isi perutnya.

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang