Dudi benar-benar sudah tidak bisa melakukan perlawanan apa pun terhadap Raja dan Ziva. Ia benar-benar terpojok dan pisaunya sudah tidak berguna untuk dipakai melawan. Dua orang anggota kepolisian mengawasi Ki Sahat yang saat itu masih pingsan dn tidak lupa mengarahkan pistol mereka ke arah dukun tersebut. Sementara Jonathan dan satu orang anggotanya yang lain segera mendekat ke arah tempat terpojoknya Dudi saat itu.
"Menyerah saja, Pak Dudi. Istrimu sudah kami amankan lebih dulu," saran Jonathan, tegas.
"Dan kalau aku menyerah, Tanjung dan kedua Adikku yang lain akan hidup senang! Sementara aku akan berakhir di penjara bersama Istriku!" balas Dudi, kasar.
Ziva pun tersenyum miring saat mendengar kata-kata Dudi saat itu.
"Mau anda, apa? Anda ingin Adik-adik anda juga merasakan hidup yang kacau seperti hidup anda saat ini?" tanya Ziva. "Mana mungkin bisa begitu, Pak Dudi? Allah sendiri sudah menjanjikan, bahwa orang-orang yang taat kepada-Nya akan selalu diberikan hal-hal baik di dalam kehidupannya. Jadi ... bagaimana bisa anda berharap kalau mereka juga akan menjadi sengsara seperti yang akan terjadi pada anda sekarang? Apa yang anda tanam, itulah yang akan anda tuai. Mereka tidak akan pernah merasakan sengsara, karena mereka tidak pernah membuat orang lain sengsara. Catat itu baik-baik."
"Ah! Persetan dengan kebaikan! Memangnya kebaikan mereka akan menjadikan mereka orang kaya? Buktinya Reno dan Riko masih saja sengsara kehidupannya! Hanya Tanjung yang sukses, tapi mereka tidak! Kamu catat saja kata-kataku, suatu saat kalaupun bukan aku yang akan membuat Tanjung menderita, maka Reno atau Riko yang akan membuatnya menderita! Mereka akan berusaha juga seperti aku, agar Tanjung tidak terus-menerus dijadikan contoh keberhasilan oleh orangtua kami!"
"Kamu sudah tahu, kalau Tanjung sudah membangunkan rumah untuk kedua Adik kalian?" tanya Jonathan, yang jelas tahu segalanya karena Rianti selalu bercerita padanya. "Apakah kamu juga tahu, kalau Tanjung sudah membuat tabungan untuk biaya pendidikan anak-anaknya Reno dan Riko?"
Dudi terdiam saat mendengar hal itu dan tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jonathan.
"Menurutmu kenapa hidup Tanjung lebih mulus dari hidupmu? Allah itu tidak buta. Allah itu tahu mana hamba-hamba-Nya yang berhati tulus. Reno dan Riko tidak perlu membuat Tanjung sengsara. Tanjung sudah mengambil alih tanggung jawab atas mereka berdua beserta keluarganya masing-masing, dari tangan orangtua kalian. Maka dari itulah kehidupan Tanjung jauh lebih lancar dalam segala hal. Entah itu kehidupan rumah tangganya, pekerjaannya, dan bahkan lancar mengenai hubungan dengan kedua Adiknya. Jadi kalau kamu tidak percaya bahwa Allah akan membalas setiap kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, maka mulai sekarang kamu harus melihat baik-baik bagaimana cara Tanjung menjalani hidupnya."
Dudi menggeleng-gelengkan kepalanya. Laki-laki itu jelas tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dibeberkan oleh Jonathan mengenai Tanjung. Dudi terlihat mulai lengah. Laki-laki itu mulai tidak fokus dengan tujuannya hingga bisa terpojok akibat serangan dari Raja dan Ziva. Raja melihat itu sebagai kesempatan untuk mengakhiri urusan dengan Dudi. Raja pun langsung menendang tangan Dudi sehingga pisau yang digenggam oleh laki-laki itu terjatuh ke tanah. Jonathan dengan sigap segera membekuk Dudi yang sudah kehilangan senjata dan memasang borgol pada kedua tangannya.
"Arrgghh! Lepaskan! Lepaskan aku! Aku tidak mau masuk penjara! Aku tidak mau masuk penjara!!!"
"Jangan melawan! Terima saja kenyataan kalau kamu sekarang akan mendekam di penjara seperti penjahat-penjahat lainnya yang ada di dunia ini! Sekarang, cepat jalan!" titah Jonathan.
Dudi masih berupaya memberontak agar tidak jadi dibawa oleh Jonathan. Namun sayang, tubuh Jonathan yang jauh lebih besar dan kekar membuat Dudi menjadi tidak sebanding dengannya, baik itu ukuran tubuh maupun kekuatan. Dudi kini diseret keluar dari hutan itu oleh dua orang anggota tim yang Jonathan bawa. Jonathan bersama dengan satu anggotanya yang lain masih melihat ke arah Ki Sahat tanpa berani mendekat.
"Jangan didekati, Pak Jo. Dia masih berbahaya meski sedang pingsan. Awasi saja dulu, nanti kalau dia sadar barulah kami urus dan serahkan pada Bapak," ujar Ziva.
"Oke. Kalau begitu kami berdua akan mengawasi dia dari jarak sepuluh langkah," putus Jonathan.
Raja dan Ziva pun menyimpan pedang jenawi milik masing-masing ke dalam sarungnya kembali. Ziva segera membuka ponselnya yang sejak tadi terus saja bergetar ketika sedang bekerja. Raja menatapnya dan Ziva tahu kalau dirinya sedang diawasi oleh Raja.
"Apakah tidak sebaiknya kita bangunkan saja dukun itu, agar pekerjaan kita cepat selesai?" tanya Raja.
"Jangan, Ja. Dia justru sangat berbahaya saat sedang tidak sadarkan diri seperti itu. Ada sumber yang menjadi kekuatannya, yang saat ini sedang melindungi dirinya ketika sedang tidak sadarkan diri. Kalau kamu memaksa mendekat padanya, kamu akan terkena serangan ilmu hitam yang ada pada dirinya saat ini," jelas Ziva, agar Raja tidak mencoba-coba hal yang ia larang.
Ziva kini tampak serius saat membaca pesan yang masuk ke ponselnya saat itu. Raja pun memutuskan hal yang sama dan mulai membuka pesan yang masuk dari Ibunya. Kedua insan tersebut tidak bisa menyembunyikan rasa kaget saat tengah membaca pesan di ponsel masing-masing. Namun meski demikian, keduanya tetap tidak saling mengatakan apa-apa mengenai persoalan yang baru mereka ketahui tersebut.
"Kamu baik-baik saja, Ziv?" tanya Raja.
"Enggak, Ja. Aku enggak baik-baik saja saat ini," jawab Ziva, jujur.
"Hm. Aku juga enggak baik-baik saja saat ini, Ziv. Selesai kerja, apakah kamu mau mendengarkan kalau seandainya aku ingin cerita?"
"Ya, aku pasti akan dengarkan ceritamu kalau kamu mau cerita. Aku juga mau berbagi sama kamu, kalau kamu tidak keberatan. Tapi kalau ...."
"Mana mungkin aku keberatan, Ziv?" potong Raja dengan cepat. "Kalau kamu mau cerita, aku juga pasti akan dengarkan kamu. Kamu enggak perlu takut aku enggak mau dengar. Mana mungkin aku bisa bersikap egois sama kamu, padahal kamu pengertiannya setengah mati setiap kali aku ada sesuatu yang perlu kucurahkan."
Ziva pun tersenyum saat melihat ekspresi sebal di wajah Raja.
"Kenapa kamu malah ketawa? Ada yang lucu?" tanya Raja.
"Mm ... ada. Ekspresi kamu. Ekspresimu kalau lagi merasa sebal itu terlihat lucu," jawab Ziva, yang kemudian segera berjalan menuju ke tempat Ki Sahat berada.
Wajah Raja jelas memerah untuk sesaat, setelah mendengar jawaban dari Ziva. Namun ia segera melupakannya karena teringat bahwa mereka masih bekerja saat itu. Ki Sahat mulai sadarkan diri. Ilmu hitam yang tadi melingkupi tubuhnya saat pingsan kini mulai menghilang.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BAMBU
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 2 Setelah melewati kasus pertama bersama Ziva sebagai partner kerjanya, Raja pun memutuskan untuk menetap dan tidak akan lagi mencari pekerjaan lain. Ia merasa nyaman bekerja bersama Ziva, terutama setelah Raja b...