25 | Pendapat Yang Berbeda

1.4K 137 6
                                    

Rianti sudah tidak bisa berkata-kata saat mendengar Dudi mengutarakan niat yang sebenarnya terhadap Tanjung. Bahkan, yang tidak terduga adalah kebenaran tentang Reno dan Riko yang akan menjadi target teluh bambu selanjutnya, jika Tanjung sudah benar-benar berhasil dibuat sengsara. Rianti hanya bisa menangis, pasalnya saat itu kedua orangtua Tanjung baru saja tiba tanpa mengabari terlebih dahulu dan mereka mendengar semua pengakuan Dudi dengan sangat jelas.

"Anak tidak tahu diuntung! Anak durhaka! Beraninya dia bermain teluh untuk menyingkirkan Adik-adiknya sendiri! Keterlaluan!" maki Ratna--Ibu kandung Tanjung.

"Mak, sudah Mak. Bang Dudi mungkin hanya khilaf, Mak. Jangan sebut Bang Dudi anak durhaka, Mak. Surganya Bang Dudi ada di kaki Mamak," mohon Rianti, seraya mendekap salah satu kaki Ratna.

"Kamu terlalu sabar, Rianti. Kamu terlalu sering berpikiran baik terhadap orang lain. Lihat Suami kamu sekarang, Nak. Lihat keadaannya. Ya Allah ... kenapa kamu harus selalu bersikap netral dan tidak mau sesekali mencurigai seseorang. Bahkan kalau bukan karena Kakakmu yang memaksa, mungkin anak-anak muda ini tidak akan ada di sini untuk membantumu dan Suamimu agar bisa terlepas dari teluh yang Dudi dan Erin kirimkan. Sadar, Rianti. Kehidupanmu baru saja hampir dihancurkan oleh orang lain," Ratna berusaha membuat Rianti sadar.

"Tapi Bang Dudi Kakak iparku, Mak. Dia adalah Abangnya Suamiku. Mana bisa aku mau benci dia, Mak? Suamiku sendiri pun tak pernah membencinya meski Bang Dudi sering mengutarakan hal yang bisa membuatnya tersudut. Lalu apa yang membuatku harus membencinya, Mak, jika Suamiku saja tidak membencinya? Bahkan Bang Tanjung mungkin saat ini tidak sedikit pun merasa marah pada Bang Dudi, Mak. Bang Tanjung pasti lebih memikirkan apa yang menjadi kesalahannya, sehingga Bang Dudi mengirimkan teluh kepadanya."

"Betul itu, Mak. Bang Tanjung memang lebih memikirkan apa kesalahannya pada Bang Dudi. Dia mengatakannya sendiri di depan kami berdua saat dirinya sedang diruqyah. Mamak boleh tanya juga pada mereka, karena mereka yang meruqyah juga ikut mendengar tentang apa yang Bang Tanjung katakan," ujar Reno, yang sudah tidak bisa menahan tangisnya sendiri.

Rasa sakit hati jelas ada di benak Reno--begitu pula di benak Riko--setelah mendengar pengakuan Dudi. Namun melihat cara Tanjung menghadapi semua yang sedang terjadi dengan melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri, membuat Reno maupun Riko tidak mampu untuk mengingat rasa sakit hati mereka.

"Sudah, sebaiknya sekarang kita lihat saja keadaan Tanjung di kamarnya. Urusan Dudi dan Erin, biar Polisi yang urus mereka pada akhirnya nanti," saran Maruli--Ayah kandung Tanjung--kepada Ratna.

"Iya," Ratna pun menyeka airmatanya sambil membantu Rianti bangkit dari lantai. "Mari kita lihat Tanjung di atas. Aku juga ingin memeriksa keadaannya."

Reno dan Riko mengantar Ratna dan Maruli menuju ke atas. Dira dan Rania kini kembali berusaha menenangkan perasaan Rianti yang benar-benar kacau.

"Demi Allah ... tidak ada satu detik pun aku pernah berpikir buruk tentang keluarga kita, Dek. Bahkan saat Dek Ziva mengatakan padaku, bahwa pengirim teluh bambu itu berasal dari keluarga terdekat kami, aku langsung menolak pemikiran itu dan mengelak berkali-kali. Ya Allah ... kenapa rasanya sesak sekali setelah semuanya terbongkar, Dek? Kenapa rasanya sangat sulit untuk kuhadapi?" tanya Rianti, di tengah tangisannya yang menyayat hati.

"Sabar, Kak. Sabar. Kami ada di sini untuk Kakak. Kakak harus sabar menghadapi semuanya. Jujur saja, aku dan Rania belum tentu bisa kuat seperti Kakak jika Suami kami berdua yang diteluh lebih dulu oleh Bang Dudi dan Kak Erin. Kami bisa-bisa menggila dan ingin langsung mencabik-cabik mereka berdua. Tapi Kakak memang lain. Kakak dan Bang Tanjung punya sifat sabar yang tidak dipunya oleh orang lain. Karena terlalu sabar itulah, mungkin sekarang Kakak jadi sedikit merasa sesak setelah tahu kebenarannya," ujar Dira.

"Itu benar, Kak. Kami tidak akan setangguh Kakak jika yang diserang oleh Bang Dudi lebih dulu adalah Bang Riko atau Bang Reno. Kami tidak akan bisa menghadapi mereka dengan tenang seperti yang Kakak lakukan tadi," tambah Rania.

"Seharusnya saat ini aku marah, Dek. Seharusnya aku marah besar pada Bang Dudi dan Kak Erin serta menanyakan apa salah Bang Tanjung pada mereka. Tapi entah kenapa aku justru tidak bisa melakukan itu, Dek. Entah kenapa aku tidak bisa marah pada mereka berdua. Dan karena itulah dadaku rasanya sesak saat ini," ungkap Rianti.

Di lantai atas, Ratna memeluk Tanjung seraya menangis tiada henti. Hatinya sakit saat tahu bahwa anak tertua serta menantu tertuanya dengan tega telah mengirim teluh kepada Tanjung yang tidak melakukan kesalahan apa-apa.

"Istrimu Tanjung, Istrimu. Dia terlalu sabar dan terlalu baik pada siapa saja. Bahkan dia tidak mengabari Mamak dan Bapakmu padahal kamu sedang berjuang melawan sakit. Hanya karena dia tidak mau kami stress. Hanya karena dia tidak mau pikiran kami terbebani. Astaghfirullah, Nak ... Demi Allah Mamak tidak pernah terbayang akan mendengar pengakuan keji dari mulut Abangmu. Dia bukan hanya ingin menyakitimu, Nak, tapi dia juga hendak menyakiti Reno dan Riko. Hanya karena perkara warisan dia menjadi segila itu, Nak. Mamak sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi tentang dia sekarang. Mamak sudah kehabisan kata-kata, Nak," ungkap Ratna.

"Seharusnya mungkin Mamak berikan saja warisan yang Bang Dudi inginkan. Mamak bahkan tidak memberi tahu aku ataupun Istriku mengenai persoalan dua minggu lalu. Andai bukan Dek Dira yang bicara karena sudah terlalu kesal dengan sikap Kak Erni dan Bang Dudi tadi, maka aku dan Rianti tidak akan tahu apa-apa soal permasalahan dua minggu lalu itu," ujar Tanjung, masih terdengar sangat lemah.

"Mana mungkin Mamak mau memberikan warisan pada dia begitu saja, sementara Adik-adikmu masih membutuhkan bantuan dari Mamak dan Bapakmu. Apa yang akan Mamak dan Bapakmu berikan pada Reno dan Riko, kalau kami memberikan semua warisan itu kepada Abangmu sementara warisan itu belum dibagi sama sekali?" tanya Ratna.

"Kenapa Mamak harus khawatirkan masalah Reno dan Riko lagi? Bukankah aku dan Istriku sudah berjanji pada Mamak, saat kami membujuk Mamak untuk memberi mereka izin menikah dengan wanita yang mereka pilih? Mamak sudah tidak perlu lagi memusingkan urusan Reno dan Riko setelah mereka menikah, karena aku dan Rianti sudah memikirkan semuanya untuk mereka. Kami sudah bangunkan mereka rumah, kami sudah tabungkan pelan-pelan biaya pendidikan untuk anak-anak mereka. Kenapa Mamak harus memikirkan Reno dan Riko lagi? Andai Mamak beri saja apa yang Bang Dudi inginkan, maka semuanya tidak akan jadi seperti ini. Keluarga kita akan tetap baik-baik saja dan tidak perlu ada masalah," jawab Tanjung.

"Tapi itu sama saja dengan kami tidak mendidik Dudi seperti kami mendidik kamu, Reno, dan Riko," sahut Maruli. "Kalian kami didik sama rata, jadi kenapa pada akhirnya harus ada yang kami beda-bedakan? Memanjakan Dudi jelas tidak pernah terlintas di dalam pikiran Bapak dan Mamakmu, Nak."

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang