Suara teriakan Tanjung benar-benar terdengar sangat keras dari lantai atas. Rianti sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak menyusul ke atas, demi bisa menyelesaikan semuanya hari itu juga. Dira dan Rania berupaya keras untuk terus membujuk Rianti agar bisa menguatkan diri.
"Kita lihat dan dengarkan saja yang sedang terjadi di hutan, Kak Rianti. Hal itu mungkin akan bisa mengalihkan rasa kalut di hati Kakak akibat mendengar teriakan Bang Tanjung," saran Rania, seraya mengusap-usap punggung Rianti dengan lembut.
Nafas Tanjung tampak terputus-putus, saat upaya ruqyah itu masih berjalan. Riko dan Reno masih berupaya untuk menahan tubuhnya, agar tidak memberi perlawanan meskipun terasa sangat menyakitkan.
"A--aku ... aku su--sudah tidak ku--kuat, Dek," ungkap Tanjung, terbata-bata.
"Sabar, Bang. Ini sudah setengah jalan. Apa yang Dek Rasyid dan Dek Mika upayakan untuk Abang tidak bisa dihentikan begitu saja," tanggap Riko.
"Benar itu, Bang. Kalau tidak benar-benar tuntas, lalu apa gunanya mereka membantu Abang saat ini? Pikirkan Kak Rianti, Bang. Pikirkan juga anak-anak Abang yang saat ini sedang kuliah di luar kota. Mereka butuh Abang. Mereka tidak ingin kehilangan Abang dengan cara yang tragis. Mereka akan bersedih seumur hidup jika Abang menyerah sekarang. Lagi pula kami ada di sini untuk membantu Abang. Abang tidak sendirian. Bagilah dengan kami keluh kesah Abang, karena kami juga tidak mau kehilangan Abang," ungkap Reno, sambil mencoba menahan airmatanya.
Riko juga berupaya untuk tidak menangis. Baginya, Tanjung harus terus dikuatkan agar bisa melewati semua proses ruqyah yang sedang berjalan saat itu. Jadi jika Tanjung melihatnya menangis bersama Reno, sudah jelas Tanjung akan menjadi tidak kuat dan akan selalu ingin menyerah.
"Abang mungkin banyak salah pada Bang Dudi, Dek. Mungkin Abang buat salah padanya tanpa Abang sadari, makanya Bang Dudi marah pada Abang sampai seperti ini," Tanjung mulai memilih menyalahkan dirinya sendiri.
"Tidak, Bang. Demi Allah Abang tidak ada buat salah apa pun pada Bang Dudi. Bang Dudi memang sedang menempuh jalan yang sesat, Bang. Dan apa yang Bang Dudi tempuh saat ini bukanlah salah Abang," sanggah Riko dengan cepat.
Rasyid dan Mika mendengar hal itu sambil menyiapkan air minum baru yang sedang mereka doakan. Tanjung tampak benar-benar putus asa akibat rasa sakit ketika menjalani ruqyah dari bagian luar tubuh. Tanjung bahkan sempat mengatakan bahwa tubuhnya terasa seperti sedang diiris-iris oleh pisau berulang-ulang kali. Hal itulah yang tampaknya membuat Tanjung mulai memikirkan apa kesalahannya terhadap Dudi ataupun Erin.
"Bang, kami berdua adalah saksi. Bahwa Abang tidak pernah berbuat jahat pada siapa pun. Bahwa Abang tidak pernah dzalim terhadap orang lain. Bahwa Abang adalah yang paling adil dan selalu menjadi orang yang netral setiap kali ada masalah datang ke dalam hidup kami. Abang bahkan tidak pernah menyudutkan kami dan lebih memilih merangkul kami agar tidak bertengkar. Demi Allah, jangan salahkan diri Banag sendiri. Kami merasa sedih karena Abang tampak menyesali diri Abang sendiri sekarang," ujar Reno.
Rasyid kemudian mendekat bersama Mika, lalu menyodorkan air minum yang sudah selesai didoakan kepada Tanjung.
"Ini adalah upaya terakhir, Pak Tanjung. Silakan airnya diminum sampai habis dan jangan lupa baca bismillah terlebih dahulu," ujar Rasyid.
"Benar-benar yang terakhir, Dek?" tanya Tanjung.
"Iya, Pak Tanjung. Ini adalah yang terakhir setelah tadi kami berdua melakukan ruqyah dari luar tubuh Pak Tanjung. Sekarang saatnya kami meruqyah bagian dalam tubuh Bapak agar semua yang dikirimkan oleh dukun itu benar-benar bisa keluar dan tidak lagi bersarang di dalam tubuh Bapak," jawab Mika, meyakinkan Tanjung untuk segera meminum airnya.
Tanjung pun meminum air tersebut setelah membaca bismillah. Ia menandaskannya hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Setelah air tersebut habis, Rasyid kembali menerima gelas yang sudah kosong dari tangan Tanjung, kemudian segera beralih ke bagian belakang tubuh pria itu.
"Bismillahirrahmanirrahim, A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."
HOEEEKKK!!!
Tanjung pun mulai memuntahkan sesuatu yang tampaknya memang harus keluar dari dalam tubuhnya. Mika menadah dari bagian depan, sementara Riko dan Reno masih menahan tubuh Tanjung sekuat tenaga.
"Keluarkan, Pak Tanjung. Keluarkan dan jangan ditahan," perintah Mika.
HOEEEKKK!!!
"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."
Wajah Pak Tanjung sudah memerah luar biasa saat mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya tersebut. Mika mulai membantu menarik benda yang keluar dari kerongkongan dan mulut Pak Tanjung saat benda itu sudah terlihat olehnya.
"Laa ilaaha illallah!" seru Mika, seraya menarik perlahan benda yang keluar dari mulut Pak Tanjung. "Laa ilaaha illallah!"
"Laa ilaaha illallah! Ayo Bang, terus keluarkan," dukung Reno.
HOEEEKKK!!!
"A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."
Mika sudah menarik setengahnya benda yang Pak Tanjung muntahkan. Riko dan Reno jelas merinding saat menyadari kalau benda yang keluar dari tubuh Kakak mereka itu berbentuk bambu yang memiliki duri-duri tajam. Mereka tidak bisa membayangkan betapa sakitnya yang Tanjung rasakan saat itu. Mereka hanya bisa berharap bahwa semuanya akan segera berakhir.
"Sedikit lagi, Pak Tanjung. Terus, Pak. Jangan menyerah," Mika kembali memberikan arahan.
"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."
HOEEEKKK!!!
"ALLAHU AKBAR!!!" terdengar teriakan Rianti, Dira, dan Rania dari lantai bawah.
Bambu berduri itu akhirnya benar-benar keluar sepenuhnya dari dalam tubuh Tanjung, bersamaan dengan suara teriakan Rianti dan Rania barusan. Rasyid dan Mika mengakhiri ruqyah tersebut, lalu membiarkan Tanjung langsung berbaring di tempat tidur.
"Sekarang Pak Tanjung berdzikir terus, ya, sampai waktu shalat dzuhur tiba," pinta Rasyid.
Tanjung pun hanya bisa mengangguk lemah. Sementara itu Riko dan Reno keluar dari kamar tersebut dan mencoba melihat ke lantai bawah.
"Ada apa di bawah? Apakah ada yang terjadi?" tanya Reno.
"Tidak ada yang terjadi di sini, Bang. Hanya saja kami barusan agak senang saat akhirnya teluh bambu yang akan dikirim kepada Bang Tanjung di hancurkan oleh Dek Ziva, dan wadah ritual yang digunakan si dukun itu dihancurkan oleh Dek Raja," jelas Dira, sambil menunjuk ke arah layar laptop.
Reno dan Riko pun tampak bernafas lega saat tahu bahwa teriakan lantang tadi adalah teriakan karena sudah ada kemajuan untuk Tanjung. Rasyid dan Mika masih berada di dalam kamar Tanjung, mereka kini sedang membereskan semuanya agar tidak ada yang berantakan saat waktu shalat dzuhur tiba.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BAMBU
Horor[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 2 Setelah melewati kasus pertama bersama Ziva sebagai partner kerjanya, Raja pun memutuskan untuk menetap dan tidak akan lagi mencari pekerjaan lain. Ia merasa nyaman bekerja bersama Ziva, terutama setelah Raja b...