17 | Perdebatan Besar

1.4K 150 12
                                    

"Astaghfirullah! Apanya yang rasa bangkai, Kak Erin? Ini aku sudah makan sampai dua mangkuk gulai dagingnya. Kakak dan Bang Dudi mungkin memang sakit, jadi indera perasa Kakak sedang tidak bisa merasakan makanan yang enak," ujar Riko.

"Kami tidak sakit, Riko! Kami benar-benar merasakan bahwa makanan itu rasanya seperti bangkai!" bentak Dudi.

"Bang, jangan bentak-bentak Riko seperti itu," Reno, benar-benar tidak bisa menerima saat Dudi membentak Riko. "Sekarang Bang Dudi jawab ... bagaimana bisa kami semua makan dengan lahap, sementara Kak Erin dan Bang Dudi terus memuntahkan makanan itu? Apa itu bukan namanya Abang dan Kak Erin sedang sakit?"

"Kami tidak sakit, Reno!" Erin ikut membentak seperti yang Dudi lakukan.

Reno hendak kembali membalas bentakan Erin, namun Dira segera menahan suaminya dengan cepat. Tanjung dan Rianti hanya diam--seperti yang diminta oleh Ziva--ketika perdebatan di meja makan itu terjadi. Mika dan Hani mengawasi dari lantai atas, sekaligus terus melapor pada Rasyid yang saat ini sedang bersama dengan Jonathan dan Batagor di kebun samping rumah.

"Wah ... berarti saat ini hanya ada dua kemungkinan. Kalau sampai makanan enak begini kalian bilang rasanya seperti bangkai, berarti sakit yang kalian alami benar-benar sudah sangat parah," sinis Dira. "Tapi kalau kalian tetap keras hati dan menyangkal bahwa kalian sakit ... mungkin kalian hanya ingin menghina makanan yang disajikan di rumah ini, agar Bang Tanjung dan Kak Rianti merasa malu."

Dira benar-benar menjadi dirinya yang biasa, ketika sedang bertingkah sinis terhadap orang lain. Wanita itu benar-benar tidak segan untuk menyindir ataupun mengutarakan hal yang dianggapnya ganjil.

"Kali ini aku tidak mau melarang Kak Dira untuk bicara sesinis itu. Aku jelas setuju dengan apa katanya kali ini tentang dua kemungkinan yang ada di dalam pikiran Bang Dudi dan Kak Erin," ujar Rania, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Erin menatap geram ke arah Dira dan Rania, setelah sadar bahwa dirinya dan suaminya sedang disudutkan di hadapan Tanjung dan Rianti.

"Untuk apa aku melakukan hal seperti itu? Untuk apa aku berusaha mempermalukan Tanjung dan Rianti?" sengit Erin.

"Mungkin untuk melampiaskan kekesalan Kakak dan Bang Dudi, atas ucapan Mamak dua minggu lalu soal kesuksesan Bang Tanjung dan Kak Rianti yang terbangun tanpa campur tangan orangtua," jawab Dira, lugas.

Tanjung dan Rianti pun tampak kaget saat mendengar mengenai hal itu dari Dira. Pasalnya, mereka sama sekali tidak tahu mengenai apa yang terjadi di rumah orangtua mereka dua minggu lalu.

"Mamak dan Bapak jelas menyudutkan kalian berdua dua minggu yang lalu, karena perkara kalian butuh modal tambahan sehingga memaksa mereka untuk segera membagi warisan. Yang aku tidak habis pikir, kenapa kalian meminta dibagi warisan padahal Mamak dan Bapak belum meninggal. Jangankan aku ... Riko, si bungsu dan Adik iparku Rania pun terheran-heran dengan permintaan kalian yang penuh paksaan dua minggu lalu. Untung saja pada saat itu Bang Tanjung sibuk sekali mengurus pencalonan dirinya untuk menjadi Walikota, serta Kak Rianti tidak bisa hadir di rumah Mamak dan Bapak karena tidak ada yang mengantar. Kalau Bang Tanjung dan Kak Rianti ada, maka mungkin mereka sudah kena serangan jantung saat mendengar bagaimana kerasnya kalian bicara pada Mamak dan Bapak," lanjut Dira.

"Setelah aku pikir-pikir lagi, tampaknya kelakuan kalian hari ini memang ada sangkut pautnya dengan kejadian dua minggu lalu. Kalian benar-benar menjadi tidak rasional, hanya karena ingin segera diberi warisan oleh Mamak dan Bapak," tambah Rania. "Ya Allah, sadarlah Bang Dudi ... sadarlah Kak Erin ... Bang Reno dan Kak Dira yang hidupnya pas-pasan pun sama sekali tidak pernah kepikiran untuk meminta dibagi warisan. Kami semua lebih senang kalau tahu Mamak dan Bapak hidup tenang dimasa tuanya. Kami semua tidak ingin membebani hidup mereka, maka dari itu kami semua berusaha mati-matian menjalani hidup kami sesuai dengan yang kami mampu. Sekarang kalian berdua bersikap begini di rumah Bang Tanjung dan Kak Rianti. Apa yang kalian lakukan saat ini benar-benar menggambarkan bahwa kalian merasa tidak bisa menerima karena Mamak dan Bapak menjadikan mereka sebagai contoh untuk kita, agar bisa kita tiru."

"Diam kamu, Rania! Jangan ikut campur!" bentak Erin.

"Kenapa pula Kak Erin bentak-bentak Rania? Apa yang Rania ucapkan itu benar adanya. Kalian berdua tidak bisa menyangkal, karena kami semua menyaksikan apa yang kalian perbuat di rumah Mamak dan Bapak dua minggu lalu. Kalau mau membentak, bentak saja aku. Jangan membentak yang paling muda," tantang Dira.

"Sudah, cukup Dek. Cukup," pinta Tanjung, tenang seperti biasanya.

Dira dan Rania pun langsung diam setelah Tanjung meminta mereka dengan baik.

"Mari kita juga jangan kelewat batas saat bicara pada Kak Erin dan Bang Dudi. Mamak dan Bapak mungkin sedang emosi-emosinya saat menjadikan aku dan Istriku sebagai contoh untuk ditiru oleh kalian. Itu jelas bukan tindakan yang tepat untuk mengatasi keadaan yang sedang runyam. Begitu pula dengan saat ini. Perdebatan dan menyudutkan Bang Dudi serta Kak Erin juga bukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan oleh kita sebagai Adik-adik mereka. Mari kita percaya saja, bahwa mungkin makanan yang disajikan di rumah Abang kali ini memang tidak enak dan tidak cocok dilidah Bang Dudi dan Kak Erin," saran Tanjung, mencoba membuat keadaan agar kembali membaik seperti tadi.

"Apa maksudmu bicara begitu, Tanjung? Kamu mau menegaskan pada kami bahwa kamu juga sebenarnya tidak percaya kalau makanan yang disajikan dirumahmu ini rasanya seperti bangkai?" Dudi kembali mengungkapkan amarahnya dan kali ini langsung kepada Tanjung.

Tanjung baru saja akan menjawab, ketika Dira kembali membuka mulutnya.

"Maksud Bang Tanjung barusan itu adalah, dia ingin kami semua tidak menyudutkan Bang Dudi dan Kak Erin karena kalian adalah yang paling tua di dalam keluarga kita. Bang Tanjung baru saja mengajari kami, mendidik kami, dan memberi kami nasehat agar tidak kurang ajar pada yang lebih tua. Kenapa pula Bang Dudi malah berpikiran negatif terhadap Bang Tanjung? Apa salah Bang Tanjung pada Bang Dudi? Sejak tadi yang bicara panjang lebar itu adalah aku dan Rania. Kenapa jadi Bang Tanjung yang malah Bang Dudi sudutkan?"

Erin pun langsung bangkit dari kursinya dengan wajah yang penuh dengan amarah.

"Sudah, Bang! Kalau mereka memang tidak percaya pada kita tentang rasa makanan itu, mari kita pergi saja dari sini!" ajak Erin, sebelum dirinya dan Dudi kembali dituduh yang tidak-tidak lebih jauh.

Dudi pun segera bangkit dari kursinya, lalu pergi bersama Erin menuju pintu keluar untuk meninggalkan rumah itu.

* * *

TELUH BAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang