18. Dia?

4 5 16
                                    

Ketika kamu memulai dengan doa, maka jangan berhenti sampai kamu mengakhirinya dengan doa.
~Mesafira Scholastika~

Sekedar inpo, mampir juga ya ke cerita sebelah-cerita baru- judulnya 'Aku dan Mentalku'

Happy reading love🌻

Aku sedikit terkejut saat melihat ibu menangis pilu dalam pelukan Agas. Aku yang tak tahu kronologinya, berdiri mematung mencerna semua ini.

Aku membuang napas kasar. Saat menyadari beradaku, Agas menatapku datar. Aku tahu dia marah. Namun bukankah semua ini di luar mampuku? Aku bukan Tuhan ataupun peramal masa depan yang bisa tahu apa yang akan terjadi. Dan kuharap dia mengerti.

Aku mendekat kemudian mensejajarkan posisiku dengan mereka. "Mah," lirihku. Wanita paruh baya itu menoleh. Ia lalu beralih peluk padaku. Aku yang tak kuat mendengar isakan tangisnya, ikut runtuh dalam pelukan sayang itu. Aku merasa tak becus sebagai anak. Karena terlalu fokus dengan duniaku, aku melupakan cinta yang sudah membesarkanku. "Maafin Mesa, ya," ucapku.

Wanita itu menggeleng. "Bukan salah kamu, sayang." Tubuhku membeku mendengar kata 'sayang' itu. Sudah sangat lama kata itu tak pernah diucapkan lagi untukku. Aku semakin mempererat pelukan. Jujur, tapi aku rindu pelukan itu. Pelukan yang sudah hilang beberapa tahun belakangan. Dan hari ini aku mendapatnya kembali.

"Mesa, kamu gak apa-apa kan?" ucap wanita itu cemas sambil menjalarkan tangannya mengecek keadaanku. Apa aku tak sedang bermimpi? Apa ini nyata? Apakah ibuku sudah kembali lagi padaku? Oh tidak, surgaku kembali. "Mesa, kamu baik-baik saja, kan?" Tanyanya lagi. Aku tersenyum bahagia lalu mengangguki pertanyaannya. Aku menghamburkan diriku dalam dekapannya.

Tuhan, tolong hentiin waktunya. Aku masih ingin bermanja dalam pelukan mama.

"Mesa, kamu tenang aja. Mama gak akan biarin dia nyakitin kamu lagi." Aku mengangguk.

Setelah menenangkan ibu, aku membantunya ke kamar agar ia dapat melelapkan diri. Wajah ibu terlihat sangat pucat. Ingin sekali aku bertanya padanya, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Aku akan bertanya, tapi setelah ibu bangun. Kasihan jika menyuruhnya bercerita, maka stamina tubuhnya akan semakin melemah. Aku sudah cukup egois sebelumnya. Dan sekarang aku harus belajar menurunkan ego itu.

Ketika berhasil melelapkan ibu, aku keluar menemui Agas. Firasatku benar, pria itu masih ada di ruang tamu. Wajah pria itu terlihat pucat. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang serius. "Lagi mikirin apa?"

"Lain kali jangan pacaran mulu. Ingat, lo masih punya Tante Mona yang butuh lo. Jangan karena orang baru yang lo sendiri aja gak tahu asal-usulnya bikin lo jadi bodoh kek gini!" tutur pria itu. Pembahasannya terdengar serius.

"Maaf."

"Sekalipun lo nangis sambil bilang maaf, itu gak ngaruh, Sa. Buktiin!"

Aku mengangguk. "Kalo gue boleh tahu, mama gue kenapa? Kenapa mama takut banget kek tadi?"

Lima detik berlalu, namun Agas belum memberi respon. Ia tetap menatap kosong ke depan. "Apa ada hal yang lo tahu dan gue nggak?"

Pria itu meneguk salivanya. Ia lalu beralih menatapku dalam. "Semua yang gue tahu, lo tahu, Sa." Pria itu menjeda kalimatnya. "Tapi lo tutup mata buat tahu semua itu. Hidup akan gak adil kalo lo terus pakek hati. Kadang lo perlu logika untuk hidup, Sa. Itulah kenapa Tuhan nyiptain otak juga, bukan cuman hati." Usai menyelesaikan kalimatnya, pria itu pergi meninggalkanku dengan seribu pertanyaan yang bersarang dalam otakku. Kalimat yang dilontarkan Agas tadi sungguh menghipnotisku.

M E S A F I R A  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang