38. Gagal? (!)

7 2 0
                                    

Jalani dan nikmatilah hari-harimu bersama orang-orang yang kau sayangi. Banyak orang ingin merantau dan pergi jauh meninggalkan rumah. Sayangnya mereka tidak tahu, tak sedikit anak rantau yang menangis ingin pulang.

Happy reading love🌻

"Huh!" Mantapku saat membuang napas kegelisahan. Entah kenapa, perasaan gelisah ini muncul dalam hatiku. Jujur, aku ragu pada misi kali ini. Memberikan respon pada kekhawatiranku itu, jantungku berpacu perlahan lebih cepat.

"Selamat datang temanku!" Kalimat sambutan itu menggema diseisi ruangan. Sedetik berikutnya, iringan tepukan tangan menyapa. "Kukira kau hanya bermain. Aku salah. Selamat datang di neraka dunia!" Mengakhiri kalimat itu, seseorang dengan suara berat itu tertawa mengejek.

Hening.

Suara itu hilang. Merasa sesuatu yang buruk mungkin saja akan terjadi, Om Leonard mengedarkan pandangan ke segala penjuru. "Tetap hati-hati!" pintanya.

Aku mengangguk. Mengikuti pergerakannya, mataku memandang setiap titik. Seketika jantungku berhenti berdetak saat netraku menangkap seseorang dengan kostum serba hitam dan topeng yang sudah sangat familiar, berdiri di lantai dua. Ia terlihat memandangku dan Om Leonard.

Saat ia menuruni anak tangga, seseorang dengan kostum yang sama datang mengekorinya. Mataku memicing, bagaimana ini? Dua lawan satu? Drama ini dibuat oleh Om Leo, namun kenapa ia terlihat seperti ingin menyerahkan diri pada musuh? Aku menatap pria tengah baya di sampingku yang terlihat santai dengan tatapan tajam yang ditujukan pada dua insan yang tengah berjalan kearah kami.

Aku geram, ingin sekali bertanya pada pria itu, 'Om, ini gimana sih? Plan-nya bakal hancur berantakan kalau gini.' Seolah peka akan tatapanku, ia menatapku teduh dan memberi instruksi dengan bahasa tubuh seolah berkata, mulai!

Mengerti akan maksudnya, aku mengangguk pelan seraya memantapkan mentalku. Dua orang bertopeng itu berhenti tepat di anak tangga terakhir.

Pandanganku dan Om Leonard beralih pada suara baku hantam di luar sana. "Alexa!" Serempak menyebut nama itu, aku dan Om Leonard saling membuang pandang.

"Sial!" umpatku saat merasa akan masuk ke dalam lubang yang kami gali sendiri. Berusaha membuka pintu yang sepertinya sudah dikunci otomatis, Om Leonard berusaha mendobrak pintu putih yang menjulang tinggi itu sebisanya.

"Bhuahahahahaaa!" gelak tawa itu menggema diseisi ruangan. "Ternyata kamu masih sebodoh itu, Leo!" ejek salah seorang dari dua bertopeng itu dengan tawa diakhir kalimat.

Masa bodoh dengan kalimat ejekan itu, Om Leonard kembali melakukan aksi mendobrak pintu namun nihil, tidak ada tanda keberhasilan. Kesal dengan dua orang di ujung sana, Om Leonard berlari menuju dua orang itu dan sepertinya ingin melayangkan bogeman mentah. Sayang seribu sayang, sebelum menjalankan aksinya, asap yang entah dari mana asalnya memenuhi ruangan. Aku yang sudah mempunyai riwayat asma, kesusahan dalam mengatur pernapasan.

Tidak kuat dengan ruangan yang tak ada oksigennya, aku runtuh dalam hitungan detik. Mungkin hal yang sama terjadi juga pada Om Leonard.

•••

Aku mengedipkan mata berkali-kali, berusaha mengumpulkan kembali fokusku. Merasa ada yang aneh, aku melihat sekujur tubuhku. Oh, shit! Benar dugaanku. Lubang yang tadinya digali untuk musuh, malah kami yang kena. Aku diikat duduk pada sebuah kursi. Tubuhku menegang karena ikatan yang terlalu kuat.

M E S A F I R A  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang