Jangan takut berbuat dan berkata baik ditengah komunitas yang mengajakmu berbuat dan berkata jahat. Karena pada akhirnya kebaikan dan kebenaranlah yang selalu menjadi pemenangnya.
Happy reading love🌻
Flashback on✓
"Jadi Om Leo udah punya rencana?" Pria itu mengangguk.
Selang beberapa detik pria itu berujar, "Mungkin kamu tidak akan setuju. Tapi tidak ada jalan lain selain ini." Pria itu berjalan menuju jendela, menatap alam lepas di sana.
Dahiku mengernyit, bingung dengan penuturannya. "Kita harus berpura menyerahkan diri, Mesa!" Mataku memicing, semakin bingung. "Mereka tidak mungkin membebaskan Ayahmu dengan mudah. Berbohong adalah salah satu keahliannya. Untuk bisa tahu dimana Ayahmu berada, kita harus berpura-pura bodoh dan menyerahkan diri."
"Mereka? Om leo, kenal?"
Pria itu terdiam sebentar. "Nanti juga kau akan tahu siapa mereka." Aku mengangguk paham. Berusaha menahab setiap pertanyaan dalam hatiku agar pria itu menyelesaikan kalimatnya. "Besok kita harus menemui mereka di gedung tua, tempat dimana kau selalu diteror. Alexa kita biarkan dalam mobil dan kita tinggal dengan dua ajudanku. Mereka pasti akan mengunci kita dan membebaskan Alexa di luar. Saat tiba dititik itu, kita harus pura-pura terlihat khawatir. Jika mereka menggunakan cara lama dengan mengunci kita, kita berpura-pura saja mendobrak. Selanjutnya mereka pasti akan menebar asap buatan untuk mengunci pernapasan kita. Ikuti saja alurnya sampai mereka membawa kita ke tempat Ayahmu. Tapi tenang, kita tidak sendiri. Kita bersama polisi nantinya. Hanya saja, untuk membuat mereka percaya kalo kita tidak bersama polisi, buatlah drama di depan Alexa seolah kita tidak menggunakan polisi. Saya juga akan memakai kamera tersembunyi di balik kancing baju, supaya polisi bisa tahu posisi kita."
Aku mengangguk paham. "Baik, Om!" ujarku antusias.
Sebelum menjalankan aksi dramatis besok, aku harus menjalankan drama pertama, yaitu membuat Alexa berpikir seolah polisi tidak ikut campur dalam aksi balas dendam kali ini.
•••
Aku berjalan ke arah gadis itu dengan wajah datar. Tak mau kalah, ia menatapku tak kalah datar. "Jadi, Alexa, apa kabar?" Gadis itu membuang arah pandangnya. "Ow, rupanya ada yang ngambek nih," cibirku.
"Ini makanannya." Aku menoleh ke belakang mendapati Om Leonard. Pria itu menyodorkan sebungkus nasi.
Aku menerimanya, membuka, lalu menyuapi gadis itu. "Makan banyak sebelum jadi tumbal imbalan besok," ledekku. Tak mensyukuri niat baikku, gadis itu mematung dan tak kunjung membuka mulutnya. Sudah kutebak, nuraniku.
Bersikap masa bodoh, aku berjalan menuju tempat Om Leonard yang tak jauh dari tempat Alexa diikat. "Jadi gimana Om, besok kita pakai polisi atau tidak?" tanyaku dramatis.
"Tidak! Tidak perlu. Kita akan menangkap mereka dengan cara kita sendiri."
Flashback off💞
Ayah, Agas, Alivio, mereka masih berhutang banyak penjelasan padaku. Terlebih Ayah. Aku bingung, kenapa ia tidak terang-terangan membantuku. Kenapa harus bersembunyi. Bahkan sampai Ibu meninggal pun ia tak kunjung menampakkan diri.
Sebenarnya aku ingin meluapkan semua pertanyaan yang ada di kepalaku padanya, tapi ia terlihat sangat capek, aku jadi tidak enak.
"Sa," sapa seseorang yang tiba-tiba datang dan langsung mendudukkan dirinya di sampingku.
Aku menoleh sebentar lalu kembali fokus ke depan. "Gue minta maaf," lanjutnya saat tak mendapat kalimat balasan dariku. "Gue lakuin ini karena gue gak ada pilihan lain, Sa. Om Arya ngancem bakal bunuh Mama yang dirawat di rumah sakit milik dia kalo gue gak bunuh Tante Mona," jelasnya.
Aku membuang napas dalam, berusaha tetap tenang meski dadaku terasa sesak. "Kalau maksud ucapan lo minta pengertian dari gue, maaf Gas, tapi gue gak bisa. Dan soal maafin atau enggaknya, coba lo tanya sama hati lo." Aku terdiam sebentar berusaha menahan tangisku. "Maaf Gas, tapi apapun alasannya, sorry, gue gak bisa terima. Dan untuk ketenangan kita berdua, plis jagan deketin gue lagi, Gas."
Pria itu mengangguk. "Iya," balasnya. "Sebelum gue benar-benar pergi, gue jujur soal perasaan gue, boleh?"
"Iya." Tatapanku kosong ke depan.
"Gue suka sama lo, Sa. Saat gue mau nyatain perasaan itu, eh, lo udah keburu pindah ke sini. Dan gue nyesel banget karena gak sempat bilang ai lov yu ke lo."
"Sebenarnya sebelum kita ketemu, gue udah sering mantau lo. Gue senang akhirnya bisa ketemu lagi sama lo. Tapi gue juga sedih, karena itu artinya gue dengan terpaksa harus ikutan neror dam nyakitin lo."
Pria itu terdengar membuang napas berat. "Percaya atau enggak, gue gelisah setiap kali terlibat dalam rencana Om Arya. Tapi kalo gue gak lakuin, Ibu gue tumbalnya. Meski kadang bantuin lo, Tante Mona dan Om Chiko, pada akhirnya gue juga yang jadi pelaku pembunuhan Tante Mona."
"Gue terima keputusan lo, Sa. Maaf udah khianatin lo. Gue pamit," ucapnya.
Aku tetap pada posisiku. Enggan membalas ucapannya apalagi menoleh. Apapun alasannya sulit bagiku untuk memaafkan dirinya. Airmataku luruh bersamaan dengan kepergiannya. Jujur, aku tak mengharapkan pengkhianatan semacam ini darinya. Ini menyakitiku. Sangat menyakitiku.
Pria itu berhenti sejenak lalu berkata, "Oia, Alivio suka sama lo, sa. Dia bukan frater." Pria itu terlihat menaik-turunkan kepalanya. "Selebihnya lo bisa tanya Om Chiko," lanjutnya lalu melanjutkan kembali langkahnya.
•••
Aku menarik dalam oksigen lalu menghembuskannya. Setelah sekian lama menghirup udara benci, amarah, dan dendam, akhirnya aku bisa menghirup udara kedamaian pagi ini.
Saat sinar matahari menyapa diriku, aku bergegas keluar saat indera penciumanku mencium bau lezat dari arah dapur. "Ayah, lagi nggapain nih?" seruku.
Ayah menoleh. "Lagi buatin kamu sarapan."
Aku berjingkrak kegirangan. "Wih, seru .... Pen coba," ucapku dengan wajah ceria. Ayah mempersilahkanku duduk di kursi yang ada di sisi meja makan.Usai mengambil sarapanku, ia duduk di sampingku. "Ayah gak makan?" tanyaku ketika pria itu belum menyendokkan sesuatu pun di piringnya.
Ia tetap menatapku dalam lalu mengangguk. "Ayah pengen lihat kamu makan. Kangen banget soalnya."
"Jangan gitulah. Ayah juga harus makan. Tar kalau sakit gimana?" bantahku lalu mengisi piringnya dengan makanan yang tersaji di sana.
"Agas udah balik, ya?"
Aku melirik sebentar ke arah Ayah. Pria itu kembali menyendokkan sarapan usai bertanya. "Iya," jawabku seadanya.
"Mesa boleh tanya sesuatu gak, Yah?"
Ayah menghentikan kegiatannya lalu menatapku seolah menunggu kalimat selanjutnya. Aku menunduk. Ragu untuk melanjutkan. Dengan sekali helaian napas dalam, aku berujar, "Motif dibalik semua ini sebenarnya apa, Yah?"
1
2
3
"Habisin dulu sarapannya baru Ayah cerita." Aku memayunkan bibirku kesal. Pria itu tertawa kecil melihat kekesalanku.
TBC....
KAMU SEDANG MEMBACA
M E S A F I R A ✔️
Novela Juvenil~Mesafira Scholastika~ Ketika hidup mulai menampakkan kekejamannya, maka kau harus bersiap untuk terluka dan terkejut! Kalimat itu relevan dengan kisah seorang gadis bernama Mesafira Scholastika. Namanya yang cantik tak secantik hidupnya. Berantakan...