Seketika semua membisu dalam kalbuku. Wajahmu kembali hadir dalam ingatanku dan mulai mengukir senyum menyedihkan di kedua sudut bibirku.
Happy reading love🌻
Dari ambang pintu, mataku menatap pedih seluruh bagian dari bangunan sederhana yang selalu menjagaku dari teriknya matahari dan dinginnya air hujan. Tatapanku tertuju pada sebuah foto keluarga kecil -ayah, ibu dan seorang anak kecil yang masih polos- yang terpajang di ruang tamu. Pelan tapi pasti, kakiku kembali melangkah mendekati pajangan itu. Tanganku terulur menelusuri lembut foto dibalik pelindung kaca itu.
Keluarga kecil itu tampak bahagia. Senyum tulus yang diberikan, kembali mencekik hatiku. Tanganku yang lain kontan terkepal saat hari-hari dimana aku kehilangan kebahagiaanku terputar dalam benakku. Napasku memburu.
Prookl
Kepalan tanganku meninju tembok kosong di sebelah foto keluarga. "Aaarrrggghhhh!" frustasiku. Belum puas, tanganku kembali terayun memukul vas bunga hingga pecah berkeping-keping di atas lantai.
Amarah yang belum juga reda dengan berbagai pelampiasan yang kulakukan pada setiap benda itu, dirikulah yang menjadi tempat pelampiasan terakhir. Tubuhku terduduk lesu sambil bersenderan pada dinding. Dengan kasar aku memukul-mukul kepalaku dan menjambak kasar setiap helai rambut. "Argggghhh!" teriakku di sela-sela isakan.
Tuhan, seberdosa itukah diriku? Mengapa semua yang ada padaku kau renggut? Hidup macam apa ini, Tuhan? Mengapa sulit sekali untuk bahagia?
Kini aku seperti orang gila yang hilang arah dan hilang harapan. Tidak. Aku tidak hilang arah, ataupun harapan. Aku masih memilikinya. Arah hidupku adalah harapan terakhir dalam hidupku kini.
"Balas dendam!" monologku.
Aku menyeka kasar airmataku dan memperingatkan diriku agar tidak lemah, meski sangat. "Huft! Stop, Sa! Lo gak boleh cengeng kek gini. Lo harus kuat. Sekarang semua ada di tangan lo. Bangkit untuk berjuang atau menangis dan dicap kalah." Selang beberapa detik, kepalaku naik-turun seolah paham pada ucapanku.
Fokusku beralih pada bunyi ketok dibalik pintu. Kakiku melangkah mendekati sumber suara. Tanpa ragu aku memutar kenop pintu, dan ...
Tak ada siapa-siapa. Memilih berpikir positif, kuanggap aku salah dengar. Saat berbalik hendak menutup pintu, sesuatu mencuri perhatianku. Sebuah amplop yang diletakkan dengan sengaja di depan pintu itu membuatku sedikit takut. Aku melihat sekeliling, memastikan semua aman lalu mengambilnya. Dengan cepat aku menutup pintu dan langsung membuka amplop itu, penasaran.
Game over!
ENDING!
"Anjing!" umpatku. Tanganku meremat kuat surat itu lalu membuangnya ke sembarang arah. Napasku kembali memburu. Aku teringat kembali pada ibu.
Tidak. Ini bukan saatnya untuk menangis. Ini saatnya untuk berperang. Kalo lo pikir semua udah selesai dan gue udah kalah, lo salah, bajingan! Semua baru aja dimulai. Baru dimulai!
"Mesa bakal akhirin semua ini dengan kemenangan, Ma. Mesa janji!" celetukku.
©®
Sesampainya di Susteran, aku langsung berlari menuju kamar Bunda Suster. Saat diizinkan masuk, aku melihat wanita tengah baya itu menyimpan buku yang dibacanya di atas nakas. Ia menyambutku dengan wajah yang bingung menafsirkan makna dari mimik wajahku. Ia tahu aku baru saja berduka, tapi sepertinya ia juga dapat melihat perasaan-perasaan lainnya yang juga mengusikku.
"Bunda! Ke Frateran, yuk!" ucapku to the point.
"Frateran? Buat apa?"
"Mesa pengen ketemu Frater Al, bunda."
Wanita itu mengernyitkan dahi seolah bertanya 'buat apa?'. Paham akan siratan raut wajahnya, aku berujar, "Keknya Frater Al tahu soal kasus pembunuhan mama, Bunda."
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Waktu itu tabung infus Mama disuntikkin racun, Frater Al loh Bun, yang datang ganti tabung infus baru. Padahal Mesa aja gak tahu. Dan masih banyak banget kejadian aneh yang ..." Aku beralih menatap Bunda Suster, dalam. "Frater Al itu sebenarnya siapa, Bunda?"
"Maksud kamu?"
Aku menghela napas. Ragu melanjutkan. "Kenapa Frater Al selalu nolongin Mesa di saat-saat yang enggak terduga, ya?"
Otakku menjalar memecahkan pertanyaan yang diciptakan olehnya sendiri. Sedetik berikutnya aku kembali menatap bunda suster. "Frater Al dimana, Bunda?"
Menunduk, wanita itu menjawab, "Keluar kota."
"Iya," balasku lalu pergi meninggalkan bunda suster.
©®
Tak ada harapan lagi pada Frater Alivio. Dia sedang bertugas di luar kota. Aku harus menyusun dan menyelesaikan sendiri masalahku.
Sebelum kembali ke rumah, aku mampir ke gereja. Dari jarak sedang aku menatap sebentar bangunan megah di depanku itu sebelum memasukinya. Setelah hampir lima menitan berdiam menatap bangunan suci itu, aku memantapkan hati untuk masuk. Kakiku melangkah menuju urutan kursi kedua. Menenangkan hati sebentar, aku pun bersujud dan mulai mengaungkan doa.
Tuhan, aku tahu ini melanggar titahmu. Aku tahu balas dendam adalah hal yang menentang hukum cinta kasihmu, apapun alasannya. Tapi ini adalah dendam seorang anak yang kehilangan ibunya. Hidupku akan terus dirundung rasa bersalah jika membiarkan mereka hidup bahagia setelah mengambil kebahagiaanku. Jika aku kembali dan dendamku tak terbalaskan, jangan salahkan aku jika nantinya aku meragukan imanku.
©®
Mangattssss!!!
Aroma endingnya udah kecium ya, ckckc
Btw, makasih buat yang udah mentengin, lop kalian lah💞💞
Oia, sekali lagi, jangan lupa apa???
Jangan lupa vomment yaaaaaa.,.....
#goodnight
Kamis, 3 Agustus 2023🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
M E S A F I R A ✔️
Teen Fiction~Mesafira Scholastika~ Ketika hidup mulai menampakkan kekejamannya, maka kau harus bersiap untuk terluka dan terkejut! Kalimat itu relevan dengan kisah seorang gadis bernama Mesafira Scholastika. Namanya yang cantik tak secantik hidupnya. Berantakan...