33. Kok aneh?

2 4 0
                                    

Cobalah membuka telingamu dan tutup mulutmu. Kau akan mendengar setiap suara kegelisahan yang terbungkus dalam sebuah keceriaan.
~Mesafira Scholastika~

Happy reading love🌻

"Terimakasih sudah membantu."

"Sebaiknya anda jujur saja mengenai keberadaan anda. Dia membutuhkan anda."

"Iya. Aku setuju. Kita gak mungkin bisa bantu seterusnya. Kondisiku tidak memungkinkan, kalian tahu itu. Tak semua situasi bisa kita kendaliin, kan?"

Subjek yang menjadi sasaran pembicaraan mengangguk paham. Ia kemudian mengendus lalu berkata, "Iya ... saya akan mencari solusinya." Ia menatap bergantian dua orang di sampingnya. "Terimakasih sudah membantu," lanjutnya. Pernyataan itu bagai angin lalu oleh salah seorang dari mereka yang pergi tanpa memaknai kalimat itu dan dengan wajah ketus.

©®

Netraku menatap kosong pada langit-langit ruangan. Aku mendengus. Hidup terlalu banyak menyuguhi tanda tanya dalam hidupku. Lelah? Pasti. Tapi apa boleh buat, semua mengalir bagai air di alam bebas. Kejadian hari itu masih terus menghantui pikiranku.

Bentar, tadi kenapa pas dipergok lepas infus, kok Alivio gak gelagapan sih? Dahiku mengernyit. Apa itu trik-nya dia, ya? Terus, perasaan gue tadi belum minta tabung infus baru buat ibu, kok suster tahu?

Aku mendudukkan diriku. "Apa Alivio yang nyuruh? Tapi kenapa dia gak minta suster aja buat lepas? Kenapa dia? Dia kan bukan tenaga medis." monologku. Aku berpikir sebentar. "Kok aneh ya?" lanjutku.

Dari jarak sedang, aku menatap ibu. Hatiku bergejolak untuk menanyakan kejadian tadi padanya. Ribuan pertanyaan yang bersarang di kepala, berlomba untuk diungkapkan. Tapi kasihan ibu. Tidurnya terlihat sangat pulas. Terlalu egois jika aku membangunkannya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi mulutku gatal untuk bertanya padanya sekarang.

Menatapnya lama, aku kemudian menggeleng. "Besok aja kali, ya?" ucapku, iba melihat kepulasan ibu.

Kuatnya kontak batin anak dan ibu, memberikan sebuah magnet kepekaan pada ibu yang kini memanggilku dengan suara tenggorokan yang baru saja ingin menaruh kepala pada bantal sofa.

"Mmmm."

Tubuhku terbangun dengan cepat. Aku berjalan cepat menuju tempat ibu. Tanganku terulur menarik anak rambutnya ke belakang sembari bertanya, "Kenapa, Ma? Mama butuh sesuatu?"

Ibu menggeleng sebagai jawaban. "Terus mau apa, Ma? Badan Mama pegel? Mesa pijitin, mau?" Lagi, ibu menjawabku dengan menggeleng.

Aku berpikir sebentar, mencari tahu apa yang diinginkan ibu. "Em, Mama gak bisa tidur, ya?"

Ibu mengangguk. "Ya udah, Mesa nemanin deh."

Aku mengambil kursi yang tersedia di sana lalu mendudukkan diriku. Aku menceritakan pengalaman-pengalaman laluku yang sekiranya lucu dan tak berfaedah itu pada ibu dengan dibumbui sedikit kecap manis agar menutupi kisah yang tak menggenakan.

Melihat setetes airmata yang tiba-tiba saja terjun membasahi pipi ibu, tanganku dengan sigap menyekanya. "Kok nangis sih, Ma. Perasaan tadi Mesa ngelucu deh. Enggak lucu ya? Jayus ya?" Aku mencebikkan bibir. "Mesa emang gak punya passion buat ngelawak sih. Keknya Mesa kudu khursus deh," ucapku sambil menggaruk tengkukku yang tak gatal dengan selingan tawa.

M E S A F I R A  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang