Zamsya menangis. Sejauh ingatannya kini, peristiwa naas itu kembali terputar. Hari dimana ketika mansion besar Hinafuka dikacaukan oleh sekelompok orang. Ia ingat, saat itu seseorang menghampiri kamarnya yang sudah penuh dengan asap, menyayat lengannya dan mengeluarkan benda hitam kecil. Setelah itu memori terputus, membuatnya terpaksa harus hidup dengan latar belakang baru. Hanya nama yang tidak direnggut oleh mereka, seakan-akan mengejek Furuta yang saat itu baru saja menumbangkan perusahaan raksasa yang bermain kotor milik mereka.
Ya, Hinafuka pernah gagal melindungi salah satu anaknya. Keberadaan Zamsya tidak bisa dilacak karena GPS yang tertanam dalam tubuhnya, diketahui oleh musuh.
Nia terus mengelus kepala putranya. Ia berniat liburan ke Jepang karena jengah dengan suasana mansion dan para anak cucunya yang gila kerja. Tanpa sengaja ia justru menemukan Zamsya yang selama ini mereka cari. Nia bersyukur, putranya itu terlihat sehat dan tumbuh dengan tampang rupawan.
"Sudah sayang, ayo kita pulang. Ayo ketemu sama Papa dan Kakak-kakak kamu di rumah, nak."
Zamsya yang dulunya familiar dengan panggilan Zam menatap ibunya sedih. Perasaan bersalah hinggap kala mengingat ia sempat meragukan wanita itu. Zam memeluk sang ibu, mengucap maaf beribu kali dalam pelukan hangatnya.
"Maaf ma, maafin Zam. Ayo pulang."
(~ ̄³ ̄)~
Ney menatap penuh binar roti coklat yang sudah tersusun rapi di atas piring. Kaki kecilnya melompat dengan riang sembari bertepuk tangan heboh. Walau meja di depannya setinggi dada, Ney tidak merasa kesulitan untuk menggapai makanan lembut itu. Apalagi sekarang televisi di belakangnya sedang menayangkan kartun kelinci bwabwa kesukaannya. Ney sudah lupa dengan benjolan di jidat yang sekarang sisa warna merahnya saja.
"Bubu arigatou-na! Cayang bubuu." Anak itu memeluk Hiru dengan gembira. Pelayan yang bekerja dan kebetulan menyaksikan tingkah lucu Ney, benar-benar dibuat mati kutu. Ingin rasanya mereka menculik anak itu, atau setidaknya merasakan berada di posisi Hiru. Namun apalah daya? Bayang-bayang wajah seram Zam ketika menatap mereka sering kali terlintas dan menghentikan mimpi bodoh mereka.
Senyum Ney benar-benar membuat mereka pangling. Bahkan geraman harimau pun melunak saat dihadapkan wajah polos nan jahil itu.
Asik menyantap roti bulat rasa coklat itu, tiba-tiba Ran muncul dari anak tangga dengan senyum merekah yang mencurigakan di mata Ney. Anak itu cepat-cepat menumpuk empat buah roti berukuran sedang ke tangannya. Jangan lupakan roti yang sudah ia makan seperempat tadi digigit agar bocah itu bisa melindungi semua rotinya.
"Ngghh! Hmmpp! Hmpph!" Bunyi yang terdengar itu berasal dari mulut Ney yang tersumpal roti. Ia bahkan sudah memunggungi semua orang dan meringkuk di dekat meja televisi. Wajahnya menoleh dengan pipi yang bulat sempurna.
Ran tidak tertarik dengan roti yang dipertahankan adiknya itu mati-matian, ia justru lebih bernafsu untuk memakan pipi gembul si bocah.
"Hahah, sudahlah Ney, Ran-nii tidak akan merebutnya lagi." Ran tidak bisa menahan tawanya. Ia memungut Ney yang masih setia melindungi roti-roti itu dan menggigit pipi berisi milik Ney. Oh! Ingatkan Ran untuk tidak kelepasan.
Hiru tertawa kecil sebelum akhirnya berlalu menuju dapur untuk membuatkan Ran secangkir teh herbal. Ia akan memberi cowok itu bekal sebelum babak belur di tangan sang ayah nanti.
Ney menjatuhkan semua roti dari tubuhnya saat merasa gigitan Ran sudah mulai menyakitkan. Anak itu memberontak dan memukuli wajah kakaknya yang terpejam menikmati pipinya. Hingga kemudian Ran tersadar dan menatap khawatir Ney yang wajahnya sudah merah padam. Gigitannya tadi juga berbekas di pipi lembut anak itu. Tuhan, doakan agar sang ayah sedang dalam suasana hati yang baik sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside [Hinafuka Fam]
HumorGanas? Dingin? Sadis? Tak kenal ampun? Ya Hinafuka. Sebut saja keluarga ini Mafia, karena kekayaan mereka yang tak ternilai sudah cukup untuk membuktikan kekuasaan mereka. Wajah tanpa ekspresi dengan rupa yang harus diakui dunia, mereka bukanlah ora...