Setelah beberapa kali menggeliat tak nyaman, Nia membawa Ney ke kamarnya. Dia juga sudah meminta izin pada Zam untuk membawa cucunya itu tidur bersamanya malam ini. Tentu perilaku Nia tak luput dari tatapan aneh keluarganya. Tapi Nia tidak peduli, toh mereka juga tidak akan peduli 'kan?
Namun, sedari tadi seseorang juga mengganggunya. Alben! Anak itu bahkan rela berjalan jauh-jauh dengan tongkat bantu menyusul sang oma karena ingin melihat wajah Ney. Menyadari hal itu, Nia akhirnya mengalah. Ia juga tak tega mengusir cucunya ini.
"Sini, oma taruh di ranjang saja adiknya."
Alben menurut. Ia mengikuti langkah omanya menuju ranjang. Dan sesaat setelah wajah Ney terlihat sempurna, disitulah Alben hampir menjerit jika tak segera Nia tutup mulutnya.
Apa-apaan? Kenapa tak ada yang bilang bahwa seorang adik itu sangat menggemaskan? Tau begini, Alben akan paksa ayah dan ibu untuk buatkan satu, nanti biarlah Alben yang mengurusnya sendiri!
Alben menatap penuh binar ke arah Ney yang masih menghisap susunya, dibantu Nia yang memegangi botol itu. Sedangkan Nia tertawa gemas, ia baru tau Alben juga bisa menggemaskan saat menampilkan ekspresi lain di wajah datar itu.
"Kenapa Al? Adeknya lucu, ya?" ujar Nia. Alben tanpa sadar mengangguk dengan mulut yang masih terbuka. "Oma? Aku mau istirahat dulu latihannya boleh?"
Awalnya Alben tidak peduli sebenarnya kalau harus kembali latihan, tetapi setelah melihat wajah Ney, keinginannya untuk leha-leha tiba-tiba menguar. Alben mau menempeli adik barunya saja!
"Iya iya, nanti oma yang bilangkan ke opa. Pasti berhasil kok."
"Ehmh, siapa namanya oma?" tanya Alben yang sekarang sudah ambil posisi di samping Ney. Tangannya mengelus pipi putih berisi si kecil, dan yang satu lagi menepuk-nepuk kepala anak itu pelan.
"Namanya Neybara. Neybara Hinafuka. Panggilnya Ney."
Alben mengangguk mengerti. Sejujurnya anak itu menunggu sang adik untuk segera membuka mata. Berinteraksi lebih dan juga mengajaknya bermain. Walau Alben sendiri tidak tau akan main apa karena sedari kecil sangat jarang bermain. Main sih, tapi main pedang sama panah-panahan yang bisa dibilang sudah mampu melukainya yang masih kanak-kanak.
"Adek Ney.. bangunn?" ucap Alben lembut. Nia benar-benar seperti melihat sisi lain cucunya ini. Ia tidak bisa menahan senyum saat Alben duduk dan memperhatikan lamat wajah anak itu. Yah, setidaknya Alben tidak kelepasan menganiaya Ney seperti dirinya.
Tak lama terdengar suara pintu dibuka. Itu Furaka, ia memperhatikan Alben yang ada di kamarnya dengan tatapan bingung. "Sudah malam, tidur sana!" perintahnya.
"Al tidur sini, ya?" Alben menatap opanya penuh harap. Hey, ia ingin waktu lebih lama. Bisa insomnia dia karena memikirkan Ney yang terlalu menggemaskan.
"Tidak. Kembali ke kamarmu atau aku tidak akan beri jatah libur."
Mendengar kata libur, Alben menjadi senang. Jika liburnya diperpanjang, itu berarti akan ada lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama adiknya nanti.
Dengan semangat Alben turun dari ranjang setelah sebelumnya mencium berkali kali pipi milik Ney. Ia baru menyadari wangi anak itu seperti lavender yang nyaman dihirup. Alben bergegas mengambil tongkat bantunya yang sempat terjatuh, kemudian langsung meninggalkan kamar opa omanya untuk segera kembali ke kamarnya sendiri di lantai paling atas.
Furaka sempat tersentak dengan reaksi yang ditunjukkan Alben setelah ia berkata akan menambah jatah libur. Lebih kaget lagi ketika melihat 'karung beras' yang dari tadi dibawa sang istri tengah tertidur pulas di ranjang besarnya.
Tanpa sadar Furaka berjalan mendekati Ney. Mata lelaki tua itu jatuh pada pipi bulat dan mata Ney yang masih tertutup damai. Mulutnya masih tersumpal dot, dan suara kecapan yang anak itu hasilkan terlalu berisik untuk Furaka sebenarnya. Tapi hey, siapa yang peduli dengan suara? Ia akan melihat anak itu lebih dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside [Hinafuka Fam]
UmorismoGanas? Dingin? Sadis? Tak kenal ampun? Ya Hinafuka. Sebut saja keluarga ini Mafia, karena kekayaan mereka yang tak ternilai sudah cukup untuk membuktikan kekuasaan mereka. Wajah tanpa ekspresi dengan rupa yang harus diakui dunia, mereka bukanlah ora...