"Astaga! Awas disitu ada belutnya, sayang!"
Kalau bisa mati suri, Nia sudah tidak bernafas untuk sesaat sekarang. Sejak ia mengiyakan ajakan si kecil untuk bermain keluar, sejak itu pula jantungnya terasa sedang bersenam ria.
Tolong saja, Nia itu sudah tua. Jujur badannya agak malas untuk berlarian namun, Ney tidak pernah berada di satu tempat lebih dari lima menit. Anak itu sudah menjelajah dari halaman depan hingga belakang. Sementara itu Furaka dengan penuh dosanya malah menonton sang cucu sembari menaiki Jeep mininya.
"Moma! Mana belut?" Niat hati Nia ingin membuat si bocah takut, tetapi anak itu malah penasaran dengan sosok belut yang disebutnya. Ia lupa kalau Ney adalah pawang semua binatang.
"Ney mau belut?" Nia mendelik tajam ke arah suaminya yang malah menghampiri Ney. Kata-kata Furaka terdengar sangat mencurigakan, Nia hanya takut suaminya melakukan aksi diluar nalar yang membahayakan cucunya seperti hari-hari lalu.
Apalagi Ney malah mengangguk antusias, Nia ingin pamit undur diri saja.
"Ney, jangan. Kalau Ney nakal, besok gak boleh keluar lagi!" Nia berusaha tegas. Setidaknya sekali, Ney harus merasakan amarahnya karena sudah sering membuat dirinya sendiri dalam bahaya. Benar 'kan?
"Ayo kita ambil belutnya!" Dan, bukannya mendukungnya, Furaka malah menggandeng tangan kecil Ney. Sedangkan si kecil pergi dengan menatap polos neneknya.
"JANGAN BIARKAN CUCUKU MEMEGANG BELUT LISTRIK!"
Baiklah, Nia akan mengalah sekarang. Tapi tunggu saja ketika malam tiba, ia akan mengurung si kecil dan memonopolinya sendiri di kamar. Tentu tanpa sosok Furaka.
"Popi, moma malah." Ney berhenti dan menatap Furaka dengan tatapan sedih. Ia teringat dengan seruan Nia yang mengancamnya tadi. Takut saja kalau ancaman itu nyata.
Furaka menggendong si kecil kemudian mencium pipinya berkali-kali hingga tawa Ney kembali. Ia tetap melangkah menuju kolam yang jaraknya hanya tinggal beberapa meter ke depan.
"Tidak, dia tidak akan marah padamu. Ayo kita tangkap belut saja."
Mata Ney berbinar menatap kolam yang dari atas terlihat banyak sekali ikan berwarna warni. Kolam ini milik Alben. Setelah dulu ia merengek agar diperbolehkan memelihara ikan, akhirnya Nia dan Dexter mengizinkannya. Sedangkan Furaka aji mumpung dengan menaruh koleksi belutnya di dalam kolam yang sama.
"Belut!" Ney berteriak memanggil belut saat dirinya tak mendapati hewan air itu di kolam. Furaka terkekeh pelan, kemudian mengambil serokan yang disodorkan salah satu pelayan.
"Popi ambil dulu," ujarnya.
Ney memperhatikan dalam diam. Ia takjub ketika tak lama serokan Furaka sudah penuh dengan banyak sekali belut yang panjang dan juga pendek.
Pria tua itu menaruh belut-belut ke dalam sebuah kolam renang anak-anak yang terbuat dari bahan pelampung dan sudah diisi air. Sungguh, Ney sudah siap menceburkan dirinya sendiri sekarang.
"Popi!" serunya riang. Lagi-lagi Furaka hanya mampu tertawa. Ia benar-benar bersyukur seorang anak ceria penuh warna seperti Ney hadir dalam hidupnya. Dulu, ia merutuki nasibnya sendiri yang terasa sangat membosankan, tetapi sekarang ia rasanya ingin hidup abadi bersama cucunya saja.
"Neybara!" Tiba-tiba Furaka berteriak panik saat mendapati seekor belut listrik ikut masuk ke kolam kecil itu. Padahal ia yakin sudah menyeleksi belut-belut yang akan dimasukkan ke sana. Beruntung, Ney belum sempat masuk ke kolam, tetapi tangan anak itu hampir menyentuh air.
Kalau Nia sampai tau, bisa habis dia dicincang.
Setelah memastikan tak ada lagi belut yang berbahaya, Furaka membantu cucunya memasuki kolam. Ney menunduk hendak menangkap salah satu belut yang berlalu lalang ria di kakinya. Sesekali hewan itu juga bersentuhan dengan kaki Ney, membuat si kecil tertawa karena geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside [Hinafuka Fam]
HumorGanas? Dingin? Sadis? Tak kenal ampun? Ya Hinafuka. Sebut saja keluarga ini Mafia, karena kekayaan mereka yang tak ternilai sudah cukup untuk membuktikan kekuasaan mereka. Wajah tanpa ekspresi dengan rupa yang harus diakui dunia, mereka bukanlah ora...