10th 'Opa? Oma? Popi! Moma!

3.6K 312 1
                                    

Ney menatap sekeliling. Luas, bersih, nyaman, dan tentu saja megah. Tapi menurut Ney masih kurang satu, tidak ada rumah coklat seperti yang diharapkannya.

Zamsya itu tampan. Wajahnya sangat rupawan. Banyak gadis dari yang muda hingga tua sudah menggodanya kalau di tempat umum. Tetapi, semua itu tak pernah berarti di hadapan Ney. Di mata anak itu, papanya adalah sosok tengil yang doyan mengganggunya. Gemar membuat wajah bodoh yang mengesalkan. Sering juga membuat Ney suntuk jika pria itu sedang tidak bekerja.

Seperti dua puluh menit lalu ketika Ney meminta izin agar diperbolehkan mengunjungi lantai kediaman mommy Mirwa. Zam tidak langsung mengiyakan, karena pria itu memanfaatkan keadaan untuk melakukan apa yang dia inginkan selama satu minggu ke depan.

Ney? Dengan iming-iming rumah coklat yang terdengar meyakinkan, anak itu rela membiarkan papanya berbuat sesuka hati nanti. Namun tetap, Zam menyuruh agar Hiru ikut dengannya karena wanita itu satu-satunya orang yang diberi kepercayaan untuk membuatkan Ney makanan. Sekaligus pawang senior untuk bocah nakal seperti Ney.

"Bang Den, mana coklatnya?"

Itu adalah pertanyaan kesekian yang terdengar di ruangan tersebut. Mirwa, Deyn, dan Sanma saat ini sibuk menonton si kecil dari sofa. Jangan lupakan Nia yang juga memaksa ikut karena tidak rela berpisah dari cucu bungsunya. Sebenarnya Alben juga ingin kalau ia tidak ingat ada banyak tugas sekolah yang belum dikerjakan akibat insiden dua minggu lalu. Alhasil, ia diseret Dexter saat akan keluar lift mengikuti langkah Ney dan yang lain.

Semua orang dewasa di ruang keluarga itu gemas, termasuk para pelayan yang sempat terkejut karena Hinafuka punya mainan baru. Sementara Ney masih melakukan tour dadakan mencari rumah coklat yang dijanjikan Sanma. Sekalian ia juga beradaptasi seperti seekor kucing yang punya rumah baru.

Ney ingin membuka kulkas, tapi tangan kecilnya tak sanggup menarik magnet pintu kulkas yang berat. Mana ia sendirian lagi di dapur. Semua orang masih menunggunya di ruang keluarga tadi.

"Mici, tolong Ney bole?" ucap anak itu meminta bantuan kepada salah seorang pelayan yang baru masuk hendak memasak. Entah kemana perginya Hiru disaat yang genting seperti ini.

"E-eh? Kamu siapa?" Pelayan itu bingung karena memang ia baru berganti shift dengan rekannya. Setahunya, anak pelayan memang boleh dibawa asal tidak mengganggu pekerjaan. Dan anak pelayan itu dibatasi hanya bisa berjalan-jalan di halaman mess tempat mereka menginap saja.

"Ha? Aku Ney!"

Lagi, pelayan itu heran. Ia ingin marah, tapi anak ini terlalu menggemaskan dengan tatapan polosnya dan pipi yang menggembung kesal.

"Hey nak, kau tidak boleh ada di sini. Kembalilah pada ibumu sana, sebelum tuan dan nyonya melihatmu. Sedang ada kunjungan dari nyonya besar juga, kau bisa terkena masalah nanti." Pelayan itu memegang tangan Ney. Ia berniat membawa Ney menuju mess karena ia pikir Ney hanya tersesat.

Tersesat sampai lantai empat.

Saat baru keluar dari dapur, tatapan tajam justru didapat oleh si pelayan. Tak bisa dipungkiri, badannya gemetar hebat sekarang. "M-maaf nyonya. Anak ini sepertinya tersesat, saya akan cari ibunya setelah mengantar ke mess."

"Siapa yang memberimu izin menyentuhnya? Dia adikku!" Deyn mengambil Ney untuk digendong dan membawa anak itu menuju sofa.

"Pergi lakukan pekerjaanmu. Jangan lakukan kesalahan yang sama."

Pelayan itu terkejut. Selain karena pengakuan Deyn, Mirwa juga membiarkan nya melanjutkan pekerjaan disaat ia ternyata ceroboh. Di hari-hari biasa, ketika sedikit saja kesalahan dilakukan, maka tamatlah riwayat orang itu. Karena takut dengan tatapan Nia yang masih sinis, sang pelayan langsung kembali masuk ke dapur. Lebih baik ia tidak bertanya lebih lanjut karena hari ini adalah hari keberuntungannya. Sudah dapat melihat boneka hidup, nyawanya juga diampuni. Kapan lagi 'kan?

Deep Inside [Hinafuka Fam]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang