Roseline menatap rumah bercat putih di depannya, beberapa kali ia mengambil napas, kemudian dibuang secara kasar. Roseline membasahi bibirnya, sementara ibu jari mengusap tangannya sendiri.
"Oke, Roseline, jangan gugup!"
Setelah merasa mantap, Roseline maju selangkah dan memencet bel rumah. Setelah beberapa saat menunggu, tampak seorang pemuda dengan kaos oblong berwarna hitam keluar dengan wajah khas bangun tidur.
"Ngapain?"
Roseline tersenyum kikuk saat suara dingin itu bertanya padanya, "Gapapa, gua pengen ngobrol bentar, ada waktu?"
Jendra menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa nggak lewat chat?"
"Ndra..."
Jendra menghela napas panjang, kemudian membuka pintunya lebih lebar, "Iya oke, ayo."
Roseline masuk ke dalam rumah bernuansa tropis modern itu dengan mengikuti Jendra sebagai tuan rumah, kemudian duduk di sofa berhadapan dengan Jendra.
"Jadi, apa?" Tanya Jendra masih dengan nada yang kurang ramah.
"Lu... marah, ya, sama gua?" Tanya Roseline ragu-ragu.
Jendra tersenyum kecut, menyandarkan punggungnya pada sofa dengan tangan ia lipat di dada, "Marah buat apa? Lagian gua nggak ada hak 'kan, Lin?"
"Ndra, bukan gitu..."
"Gini deh, gua juga mau tanya sama lu."
"A-apa?"
"Menurut lu, gua bingung nggak kalau lu plin-plan kayak gini? Lu kemarin-kemarin deketnya sama gua, tapi waktu Veenan balik..? Oh, luka lu udah sembuh, ya? Makanya bisa balik lagi ke Veenan, urusan luka lagi atau enggak itu belakangan. Terus juga menurut lu, gua ini pelampiasan apa gimana? Gampang banget nyingkirin gua."
Roseline menatap sepasang mata legam di depannya yang menatapnya cukup sinis, "Ndra, gua nggak nyingkirin lu, guaㅡ"
"Nggak nyingkirin gimana? Gua tau kalau lu punya hak buat milih, tapi seenggaknya kalau lu udah ngucap janji ya sebisa mungkin ditepati! Ah sial, semua janji emang bullshit."
"Jendra, sekali lagi gua tegasin kalau gua nggak nyingkirin lu! Gua masih dan tetap ingat soal janji yang gua buat sore itu, gua ngizinin lu masuk dan iya, gua masih ingat! Lu nggak bisa seenaknya mikir gua lupain itu semua karena Veenan balik lagi, lu pikir gua apaan?"
"Yang seharusnya ngomong gitu itu gua, Lin! Lu pikir gua apaan? Lu pikir gua buta?! Alesan lu potong pendek bukan karena gerah atau pun gaya baru, tapi Veenan! Lu bersikap seolah-olah benci ke Veenan, tapi mata lu sebaliknya, gua tau lu berharap Veenan bakal berjuang lebih keras. Konyol lu!"
Roseline mengepalkan tangannya yang ia letakkan di atas paha, "Jendra Angkasa, watch your mouth!"
Jendra tersenyum remeh mendengar emosi terselip dalam suara Roseline, "Percuma gua ngomong ini itu ke lu, sedangkan lu cuma bisa paham kalau lu ada di pilihan kedua kayak gua sekarang!"
"Sorry, gua butuh tidur."
Jendra meninggalkan Roseline di ruang tamu sendirian, sementara dirinya naik ke atas kamar untuk melanjutkan tidur siangnya. Jendra menutup pintu kamarnya cukup keras, kemudian mengacak rambutnya kasar.
"ARGH, BANGSAT!!!" Maki Jendra dengan suara keras.
Jendra mengambil bantalnya untuk ia lempar ke dinding, sengaja ia gunakan untuk melampiaskan emosi, "Anjing, lawak banget ni perasaan!!"
Jendra menjatuhkan dirinya ke atas ranjang dengan kasar, beberapa kali tangannya memukul bibirnya sendiri, "Sial, omongan lu nyakitin anak orang!"
Jendra meraih segelas air putih di atas nakas dan meminumnya dengan terburu. Setelah meletakkan kembali gelasnya, Jendra berulangkali mengatur napas untuk meredam emosinya. Saat mulai merasa tenang, Jendra berjalan menuju jendela kamarnya dan mengintip ke arah gerbang yang menampakkan Roseline baru saja keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
FanfictionTidak, tidak ada hal yang benar-benar kamu miliki di dunia ini. Semuanya akan pergi saat tiba masanya, lantas mengapa kamu terlena dalam euforia yang memabukkan seperti cinta? Warning ⚠️ : This book contains a lot of harshwords, if you're a harshwo...