Chapter 10.

407 35 5
                                    

Will benci takdir. Selalu saja memberikan kejadian-kejadian yang tak diinginkannya.

Seperti saat ini, ia kembali terjebak di rumah sakit setelah mengalami perdarahan tanpa henti. Hari "besok" yang dinantikannya untuk bertemu Kinara dan Daniel di rumah, tak pernah datang karena lagi-lagi ia harus mengalami masalah.

Sore itu, sepulang dari check up rutin, Will tengah bermain bersama Theo ketika bunda mereka sedang berbelanja. Anak lincah itu sangat senang berlarian di ruang tengah, Will sampai kewalahan menjaga agar Theo tidak terjatuh.

Naas, alih-alih Theo, malah Will yang terjatuh. Kaki Will tiba-tiba melemah dengan sendirinya menyebabkan tubuh Will limbung dan terjatuh di lantai ruang tengah yang penuh dengan mainan Theo. Pelipis Will terantuk salah satu robot Theo yang cukup runcing. Alhasil, berdarah.

Will menyeret tubuhnya—yang entah mengapa jadi terasa berat—untuk berpindah ke dekat meja. Ia berusaha mengusap lukanya dengan kapas steril, memberi alkohol agar tidak terjadi infeksi. Namun, pertolongan pertama itu tampak sia-sia. Perdarahan tetap terjadi. Sekitar setengah jam berlalu dan darah masih terus mengalir.

Will pusing bukan main, parasnya pucat pias. Ia mencoba menjaga kesadaran meskipun ia sendiri takut kehabisan darah. Tubuhnya kian terasa tak bisa digerakkan. Ia biarkan saja terbaring di lantai ruang tengah yang tak beralas.

"Will, Will. Darah. Will sakit?"

Theo menepuk pipi Will yang tubuhnya sudah terkapar. Darah tidak hanya mengalir dari pelipis, tapi juga dari hidungnya.

Will mimisan.

Theo menangis. Will masih bisa mendengar tangisan Theo pada mulanya, sampai kemudian suara itu lenyap dan Will perlahan kehilangan kesadaran.

Bunda Will masuk rumah dengan panik mendengar Theo menangis histeris. Begitu tiba di ruang tengah, makin paniklah melihat Will tidak sadarkan diri dengan darah di mana-mana. Will pun dilarikan ke rumah sakit. Lagi.

*

"Will, masih pusing?" tanya Bunda Will begitu dilihatnya Will membuka mata.

"Will mau pulang, Bunda. Nggak suka di sini," jawab Will.

"Will di sini dulu ya beberapa hari. Harus diobservasi dulu."

"Bulan depan juga aku bakal balik ke sini lagi kan buat kemo? Berminggu-minggu bakal kepenjara lagi di sini. Plis, Bunda. Aku mau pulang dulu."

Bunda Will menjawab dengan gelengan.

"Istirahat ya, Sayang. Bunda mau beli makanan dulu buat Theo. Theo sama kakak dulu ya," ujar Bunda Will sembari menaikkan selimut Will hingga sebatas leher.

Will menoleh ke arah adik gembulnya yang dari tadi bersembunyi di belakang tubuh sang bunda. Barulah ketika Bunda hendak keluar, Theo mau mendekat kepada Will.

"Will ... " panggil Theo pelan.

"Ya, Theo," jawab Will pelan juga.

"Will sakit?"

"Will nggak papa."

"Will berdarah. Gara-gara Theo, ya? Will maafin Theo ya. Gara-gara Theo, Will jadi sakit."

Will memandangi adik satu-satunya itu. Mata dan hidungnya merah, pasti habis menangis dalam waktu lama. Will menarik pipi Theo pelan, mencoba menghiburnya.

"Will nggak sakit gara-gara Theo. Will kurang hati-hati aja. Makanya Theo kalo main yang hati-hati, ya. Kalo lari pelan-pelan. Biar nggak jatuh terus berdarah."

"Theo nggak suka darah. Theo nggak mau berdarah."

"Nah, makanya nurut sama Bunda. Sama Ayah. Kalo dibilangin jangan ngeyel, oke?"

Somewhere Over The Rainbow (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang