Chapter 17.

303 30 2
                                    

Rasanya hidup Will memang penuh dengan "kejutan", baik dalam konotasi positif maupun negatif. Namun, sepertinya lebih banyak yang negatif.

Malam itu, Bunda Will baru saja menidurkan Theo di sofa yang sedari sore merengek ingin tidur di rumah sakit bersama Will. Bunda memulai pembicaraan dengan suara pelan.

"Will, Ayah masuk rumah sakit."

Deg!

Will merasa udara menghilang sesaat dari sekitar setelah mendengar kalimat bundanya.

"Ayah sakit, Bun?"

Bunda Will mengangguk.

"Kelihatannya Ayah sedang banyak pikiran. Asam lambungnya naik, tekanan darahnya tinggi, ditambah usus buntunya bermasalah. Jadi harus dioperasi, tapi menunggu tensi normal dulu."

Will sebisa mungkin mencoba bersikap tenang, meskipun pikirannya kalut dan perasaannya tak karuan. Bagaimana keadaan ayahnya? Will ingin sekali bertemu dengan ayahnya.

"Jadi ...," Bunda Will melanjutkan obrolan, "kemungkinan Bunda harus menemani Ayah di Mataram sampai beberapa waktu ke depan. Ayah butuh Bunda."

Jeda sesaat. Will sudah bisa mengira kurang lebih apa yang akan disampaikan bundanya.

"Tapi ... Will dan Theo juga butuh Bunda. Nggak mungkin Theo bolos sekolah dan Bunda juga harus temani Will perawatan ... jujur, Bunda bingung."

Bunda Will berkata dengan suara bergetar. Bahkan dalam temaram cahaya lampu tidur yang tidak seberapa terang, Will bisa melihat kilatan bening meluncur dari sudut mata bundanya.

Will memeluk sang bunda.

"Bunda, Will nggak papa di sini. Will bisa jaga Theo juga. Kalo perlu, Will bisa keluar dari RS dan siapin keperluan Theo. Antar-jemput Theo ke sekolah, kalo masak Will nggak terlalu bisa. Tapi bisa beli aja kan makanannya. Will bisa jaga diri dan jaga Theo. Bunda nggak perlu khawatir, ya. Bunda temani Ayah aja sampai Ayah sembuh. Ayah lebih butuh Bunda." Will mengusap punggung bundanya yang justru tersedu mendengar ujaran Will.

Bunda Will bisa merasakan betul bahu dan punggung putra sulungnya itu makin kecil. Will kian kurus. Meskipun anak itu tak pernah mengatakannya secara langsung, ia paham kondisi Will lebih rapuh dari sebelumnya. Will butuh dirinya setiap waktu. Namun, sisi lain, suaminya juga butuh kehadirannya untuk sementara waktu.

"Ada Tante Farah yang akan menemani kalian selagi Bunda ke Mataram. Theo bisa dibantu urus Tante Farah. Will tetap di RS saja, ya. Bunda dan Ayah akan lebih tenang kalo Will di RS." Bunda Will mengusap rambut Will yang separuhnya tertutup beanie.

"Will beneran nggak papa, Bunda. Lagian Will juga bingung kenapa nggak bisa rawat jalan aja, kenapa harus di RS terus. Perasaan anak-anak lain masih bisa pada balik ke rumahnya," protes Will mengutarakan isi hatinya yang sudah sangat bosan berada di rumah sakit.

"Coba Bunda ngobrol sama Dokter Indra dulu ya, Sayang. Kalau dibolehkan, Will bisa rawat jalan di rumah. Tapi tetap, Bunda akan lebih tenang Will ada di RS karena banyak yang jagain."

"Ya udah aku ngikut Bunda aja. Will nggak mau nambahin beban pikiran Bunda cuma gara-gara Will ngeyel pengen pulang. Pokoknya Bunda nggak usah khawatirin Will sama Theo."

Bunda Will mengeratkan pelukannya. Will anak yang baik. Will kakak yang baik. Kenapa Will yang sebaik itu harus mengalami hal-hal tidak baik?

*

Pada akhirnya, Will tidak mendapatkan izin untuk rawat jalan karena jadwal perawatannya yang padat. Daripada Will bolak-balik rumah-rumah sakit yang membuatnya kelelahan, lebih baik tetap berada di rumah sakit. Ia hanya diizinkan pergi ke luar beberapa kali jika memang ingin mencari udara segar.

Somewhere Over The Rainbow (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang