Will bertemu Kinara ketika usianya sudah di ujung tanduk. Kinara memberikan cahaya kehidupan baru bagi Will; menghadirkan kisah dan orang-orang baru untuk mewarnai hari-hari Will yang sebelumnya kelabu.
Bagi Will, Kinara dan gitar adalah bahagianya...
Will sedang bermain gitar di sofa kamar, ketika Kinara mengunjunginya. Laki-laki itu terkejut dengan kedatangan Kinara yang tiba-tiba.
"Kamu ngapain ke sini malem-malem, Kak Kin? Habis kuliah tuh langsung balik, jangan keluyuran. Nanti diomelin bundamu tau rasa!"
Kinara ingin sekali menjitak Will jika anak itu sedang dalam mode menjengkelkan seperti ini. Di sisi lain Kinara bersyukur, tandanya Will sudah baik-baik saja karena sudah kembali jadi menyebalkan.
"Aman, udah izin Bunda. Nih, aku bawain titipan kamu. Obat penyubur rambut. Sekali pakai auto gondrong."
"Ngaco, mana ada!"
"Lah, nggak percaya? Coba aja."
Will meletakkan gitarnya di sofa, kemudian melepaskan beanie yang menutupi kepalanya. Kinara terkejut saat mendapati helaian rambut terjatuh begitu saja, bersamaan dengan beanie yang terlepas.
"Lihat sendiri, kan? Sebelum benar-benar botak dan jelek, aku pengen punya rambut gondrong, Kak Kin. Abis itu aku warnain blonde. Udah, setelahnya mau botak juga bodo amat."
"Kamu botak juga bakal tetep ganteng, Will. Udah ganteng dari sananya."
"Aku cukup tahu sih kalo aku ganteng. At least sampai saat ini. Kak Kin liat alisku? Bagus, kan? Tebel banget. Masalahnya, ini dia juga bisa aja nantinya ikut botak. Pasti gantengku ikutan ilang."
Kinara tertawa kecil.
"Will, denger deh. Kamu itu ganteng. Mata kamu indah, hidung kamu mancung, bibir kamu bagus, pipi kamu chubby gemes. Terlepas dari itu semua, kamu itu orang baik. Udah lah percaya sama aku, kamu bakal tetep ganteng mau digimanain juga."
Ucapan Kinara membuat Will terdiam.
Bagaimanapun ia lelaki normal. Dan adalah sebuah kenormalan juga jika hatinya bergetar mendengar gadis yang—ehem—menarik perhatiannya itu memuji sedemikian rupa.
"Kak Kin mending diem deh daripada bikin salting."
"Aku nggak ngapa-ngapain kenapa salting?!"
"Cowok mana pun kalo dipuji cewek tuh udah alamiahnya salting, Kak Kin ..."
"Iya juga sih."
"Omong-omong, Kak Kin pasti udah tahu ya aku sakit apaan?"
Kinara menggeleng.
Will membelalak.
"Serius?
"Serius."
"Lah, aku kira Kak Kin nggak ada tanya sama sekali karena udah tahu."
"Aku nggak tanya karena takut itu nyinggung kamu."
"Ya ampun, baik bener sih. Emang Kak Kin nggak kepo? Apalagi abis liat aku kelimpungan kaya kemarin? Abis liat rambutku rontok semua kaya tadi? Nggak penasaran gitu?"
Kinara tertawa kecil.
"Iya, penasaran. Tapi aku tunggu aja kamu sendiri yang cerita. Kalo kamu emang percaya sama aku, pasti bakal bilang dengan sendirinya. Aku akan lebih senang kalo dengar langsung dari kamu daripada dari orang lain."
Will bingung harus menanggapi bagaimana. Jantungnya sudah bergemuruh kencang sedari tadi. Will mendadak deg-degan tak karuan.
"Kapan-kapan aja, ya, aku cerita. Kak Kin cukup tahu kalau minggu depan aku udah boleh pulang ke rumah. Akhirnya. Bosan setahun terkurung di sini."
"Setahun?"
"Iya, lama banget, ya? Karena kemarin udah sesi kemo terakhir, jadi aku bisa observasi sambil nunggu di rumah aja buat liat hasilnya. Lagian percuma juga kan aku di RS, tapi tetep keluyuran ke mana-mana."
"Syukurlah, ikut senang akhirnya kamu bisa pulang. Berarti kita nggak bisa ketemu lagi dong?"
"Lah, justru kita bisa makin bebas ketemu nggak sih? Dan nggak harus di tempat bau obat ini."
"Hehehee iya juga."
Will menyodorkan ponselnya pada Kinara.
"Baru sadar aku belum punya kontak Kak Kin. Boleh minta?"
"Tentu saja!"
Kinara mengetikkan nomornya di ponsel Will.
"Makasih, Kak."
"Anytime, Will."
Bibir tipis Will menampakkan senyuman manis yang membuat Kinara ikut tersenyum. Kinara barangkali tak tahu, di balik senyuman itu terpendam perasaan berkecamuk yang memaksa Will membohongi diri sendiri hanya agar tampak bahagia.
*
Ting~
Kinara baru selesai rapat UKM ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Kinara membukanya, dan melotot.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Will Bocah Tengil Aku ganteng banget nggak sih? Baru sadar.
Kinara tersenyum sendiri membaca pesan Will. Daniel yang melihat Kinara tersenyum sendiri di depan ponsel jadi penasaran.
"Kenapa, Kin?" tanyanya.
"Oh ini, Will kirimin foto ginian. Apaan coba captionnya hahaa."
Daniel tersenyum pahit.
Apakah ini normal baginya untuk kesal ketika pacarnya mendapat pap dari lelaki lain, dan tersenyum sendiri seperti ini?
Ehm, Daniel tak pernah benar-benar menganggap Will sebagai "lelaki lain". Jika mendengar dari cerita Kinara, Will lebih seperti ABG berondong yang diperlakukan Kinara seperti adik. Yang membuat Daniel sedikit kesal adalah Kinara mulai memberikan perhatiannya lebih kepada Will, alih-alih dirinya.
"Sayang, aku pengen ngomong."
"Ya, Sayang. Kenapa?"
Daniel diam sejenak, mencoba memikirkan kata-kata yang pas untuk disampaikan. Begitu melihat mata Kinara yang memandangnya bingung, Daniel mengurungkan niat. Ia lebih memilih memendam.
"Ehm, enggak jadi. Pulang, yuk."
Alis Kinara terangkat, penasaran.
"Beneran? Kamu nggak bisa tidur malam ini kalo ada yang dipendem."
"Beneran, nggak papa kok. Nggak penting-penting amat. Nantian aja bilangnya."
Tatapan Kinara menyelidik.
"Udah, yuk. Keburu kamu dicariin Bunda."
Pada akhirnya, Kinara menahan rasa penasarannya dan membiarkan Daniel menggandeng tangannya selagi berjalan menuju parkiran. Kinara berusaha menepis segala pikiran negatifnya.
Sebuah pesan dari Will kembali masuk ke ponselnya.
Kak Kin. Mumpung aku masih ganteng, alisku masih tebel, banyak-banyakin simpen fotoku, ya.