Chapter 22.

290 24 1
                                    

Will kembali dalam mode pendiam belakangan ini. Tidak banyak bicara, bahkan nyaris tak bersuara, kecuali terpaksa. Menghabiskan waktu di kamar sepanjang hari, hanya berpindah dari ranjang ke sofa atau kamar mandi. Tidak banyak yang dilakukan, sebagian besar waktu dihabiskan Will dengan memainkan ponsel atau sekadar diam menatap langit-langit kamar.

Bahkan kehadiran Kinara tak terlalu banyak membantu. Will lebih sering merespons percakapan dengan senyum tipis, anggukan, gelengan, menjadikan Kinara seperti sedang bermonolog. Dokter dan suster pun tak berhasil memancingnya untuk bicara lebih banyak, akhirnya membiarkan Will dalam diamnya.

Malam itu, hari kesekian Will terbangun ketika dini hari. Tampaknya ia jadi punya kebiasaan baru untuk terbangun pada jam-jam tertentu. Sekadar bangun yang kemudian Will lanjutkan lagi memejamkan mata, atau bangun karena merasakan nyeri yang membuatnya terjaga hingga pagi.

Pukul 01.20, Will telah meninggalkan petualangannya di dunia mimpi. Ia menggeliat ke kanan dan kiri, mengusir sakit yang kembali menghampiri. Matanya masih terpejam, tetapi kesadarannya setengah beralih ke dunia nyata.

Suara pintu terbuka, disusul langkah kaki yang perlahan mendekat. Indra pendengaran Will masih dapat menangkap bunyi tapak kaki yang terasa familier. Merasa tidak yakin, Will tidak mengindahkan suara itu. Apalagi dengan lengan kanannya yang kembali terasa keram, Will ingin tidur lagi saja—meskipun tidak semudah itu untuknya kembali lelap.

Sebuah sentuhan lembut mengusap puncak kepala Will. Dapat Will rasakan seseorang menarik beanie-nya sedikit ke belakang, menghadiahkan kecupan pada kening yang—sekali lagi—terasa familier.

Will membuka mata dengan gusar. Mencoba memastikan apakah benar ada orang lain di ruangan itu yang membersamainya.

Dalam kondisi ruangan remang-remang hanya diterangi cahaya kekuningan lampur tidur, netra Will menangkap figur yang sangat ia kenal sedang duduk di sebelah ranjangnya.

"Ayah?!" seru Will tak percaya.

Untuk sesaat rasa sakit di tubuh Will sirna berganti takjub tiada tara. Will bermimpikah?

Wira Hanjaya, laki-laki berusia tiga puluh tahunan akhir itu memberikan seulas senyum penuh rindu pada putra sulungnya yang baru membuka mata.

"Hai, Will. Ayah pulang."

Suara lembut itu memenuhi ruangan yang sebelumnya senyap. Alih-alih menjawab dengan kalimat, Will malah menangis, tanpa sadar. Kali pertama Will menampakkan air mata di hadapan sang ayah setelah sekian lama. Wira memeluk Will.

"Ayah, Will takut, Yah. Will takut nggak bisa ketemu Ayah lagi. Will takut."

Wira tak sanggup menahan air mata mendengar penuturan Will.

Setelah berbulan-bulan mereka akhirnya berjumpa kembali, dari berbagai opsi kalimat yang bisa Will katakan seperti "Will kangen Ayah" atau bahkan "Ayah kok di sini", justru kalimat itu yang refleks Will ucapkan. Apakah itu wujud ketakutan terbesar Will yang tidak bisa disembunyikannya lagi?

"Ayah di sini. Ayah nggak akan ke mana-mana. Ayah akan selalu bersama Will," Wira mengusap punggung Will yang terasa jauh lebih ringkih dari terakhir kali mereka berpelukan.

"Maafin Will ya, Yah. Gara-gara Will Ayah jadi sakit. Gara-gara Will Ayah jadi pisah sama kita. Ayah jadi jauh sama kita. Tapi kalo Will boleh egois, boleh nggak Will minta Ayah di sini aja? Will pengen sama Ayah terus. Will mau sama Ayah Bunda sama Theo, kita sama-sama terus sampai ... sampai ... "

Will tidak melanjutkan kalimatnya.

Sejujurnya ia masih antara percaya dan tidak percaya dengan kejadian ini. Benarkah itu ayahnya? Bagaimana kalau sebenarnya itu hantu iseng yang menyamar sebagai ayahnya?

Somewhere Over The Rainbow (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang