Martha duduk di meja belajar Will. Mengedarkan pandangan ke sekitar, menyapukan atensi ke seisi ruangan. Kamar itu telah ditinggalkan pemiliknya. Namun, Martha berjanji akan tetap "menghidupkan"-nya selama mungkin yang ia sanggup lakukan.
Martha tidak tahu apa yang ia rasakan. Rasanya sesak, tapi bahkan ia tak bisa menangis. Tidak ada air mata yang keluar. Di luar sedang ramai makan-makan pasca-acara penghiburan. Kerabat dan sahabat memberinya pelukan serta ucapan hangat untuk membuatnya lebih kuat. Namun, di telinga Martha itu semua serasa denging yang sepintas lewat.
Ingatan Martha masih berhenti di detik terakhir ia memeluk Will. Bagaimana Will yang tampak tersiksa dengan sakitnya, bagaimana Will bersusah payah mengucapkan terima kasih untuk ayah bundanya, bagaimana senyuman Will yang tampak damai menghiasi wajah, itu menjadi pemandangan terakhir yang Martha ingat. Hal-hal yang terjadi setelahnya berlalu seperti mimpi. Bahkan saat ini, Martha duduk di kamar Will tanpa ada anak itu di dalamnya, bagi Martha adalah mimpi.
Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya keluarga mereka bersenang-senang hari ini. Seharusnya Will masih ada bersama mereka. Seharusnya ....
Derit pintu yang terbuka menyadarkan Martha untuk kembali ke kenyataan. Si kecil Theo masuk. Berlari ke pelukan Martha. Theo menangis. Ya, anak itu akhirnya menangis.
"Bunda ... Will ... Will nggak pulang, ya? Theo mau sama Will ... Will ke mana ... Bunda ...? Katanya Will mau sama Theo terus. Tapi tapi ... Will bohong ... Will ke mana ... Theo takut ... Theo mau sama Will ... Theo mau sama Will ...."
Theo sesenggukan di pelukan bundanya. Martha memeluk Theo erat. Apakah seharian ini Theo diam saja karena anak itu belum mengerti apa maksud "meninggal"? Ketika pemakaman pun Theo masih diam di gendongan Wira-yang sudah lebih dulu terisak. Theo hanya memandangi saja saat gundukan tanah itu perlahan menutupi peti yang menjadi tempat istirahat terakhir kakaknya.
"Will ... sekarang sudah bersama Tuhan, sayang. Will sudah tidak sakit lagi."
"Kenapa Will tidak ke rumah sakit aja sih? Kenapa malah bersama Tuhan?"
Martha mengusap kepala Theo yang masih terisak. Ia tidak sedang dalam keadaan yang bisa menjelaskan kepada Theo konsep hidup dan mati manusia.
"Sayang, Will sekarang sudah bahagia. Jadi kita juga harus bahagia, ya. Meskipun nggak ada Will di sini."
"Nggak mau! Theo maunya sama Will! Pokoknya mau sama Will!" Theo berteriak dan tangisnya pecah dalam volume keras.
Wira masuk ke dalam kamar. Wira tidak tega melihat wajah istrinya-yang seperti tanpa nyawa-tengah memeluk Theo yang menangis. Wira menggendong Theo keluar kamar dan memberikan waktu bagi istrinya untuk menenangkan diri.
Selepas Wira dan Theo keluar, Martha membiarkan kedukaan menguasai dirinya. Tangis yang teredam sekian lama akhirnya mengalir deras seperti air bah. Martha tak peduli kalaupun matanya bengkak atau tenggorokannya serak. Ia hanya ingin meluapkan perasaan kehilangan yang mendalam atas sosok paling berharga dalam hidupnya.
Martha memandangi figura yang berisikan foto Will bersama gitar kesayangannya. Foto itu Martha sendiri yang mengabadikan, ketika Will pertama kali tampil di panggung acara di rumah sakit. Karena suka dengan hasil jepretan bundanya, Will meminta untuk dicetak figura. Martha memeluk figura itu erat-erat. Ia menangis sepanjang malam. Ia merindukan Will.
*
Wira baru selesai menidurkan Theo di kamar. Wira berusaha menjelaskan dalam bahasa sesederhana mungkin mengapa Theo tidak bisa lagi "bertemu" dengan Will. Namun, kapan pun merasa rindu, mereka bisa mengunjungi Will di pusara yang bertuliskan nama Will, "kamar" tempat Will tinggal saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Over The Rainbow (END)
FanfictionWill bertemu Kinara ketika usianya sudah di ujung tanduk. Kinara memberikan cahaya kehidupan baru bagi Will; menghadirkan kisah dan orang-orang baru untuk mewarnai hari-hari Will yang sebelumnya kelabu. Bagi Will, Kinara dan gitar adalah bahagianya...