Chapter 29.

300 19 5
                                    

Empat hari sudah Will tidak sadarkan diri di rumah sakit semenjak kolaps di vila. Bahkan Will harus menghabiskan tiga hari di ICU karena kondisinya memburuk. Beruntung di hari keempat, Dokter menyampaikan Will berhasil melalui masa kritisnya dan bisa segera pindah ke ruang rawat inap. Martha pun pulang untuk menyiapkan apa saja yang sekiranya dibutuhkan Will selagi dirawat.

"Bunda, Theo mimpi Will pulang ke rumah. Tapi Will nggak mau masuk. Will kapan pulang, Bunda? Will pulang kan, Bunda?"

Kalimat Theo pagi tadi menari-nari di telinga Martha yang sedang mengemasi beberapa pakaian dan perlengkapan di kamar Will. Martha menghentikan aktivitas packingnya untuk sesaat. Mengedarkan pandangan ke kamar yang pernah menjadi tempat Will paling banyak menghabiskan waktu di dalamnya.

"Will pasti segera pulang kan?" tanya Martha pada udara kosong, tanpa mengharap jawaban dari siapa pun.

Ruangan bercat kombinasi abu-abu tua dan muda itu kembali terasa dingin, padahal baru beberapa waktu belakangan terasa hangat karena berpenghuni. Kini perasaan ganjil terasa menyelimuti.

Martha menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Seperti mencoba menenangkan diri atas perasaan berkecamuk dalam dadanya.

"Maafkan Bunda, Will. Bunda nggak bisa jaga Will dengan baik. Maaf Will harus melalui semua ini. Maaf Bunda belum jadi Bunda yang baik," gumam Martha, lagi-lagi diiringi tarikan napas yang terdengar berat.

Martha melipat perlengkapan yang dibutuhkannya ke sebuah tas berukuran sedang. Martha berdiri, hendak keluar sembari membawa tas itu. Namun diurungkannya. Alih-alih, ia menyapukan pandangan dari satu sudut ke sudut lain kamar. Martha masih ingin berada di kamar Will lebih lama.

Dirapikannya komik-komik yang bertumpuk di meja belajar Will. Entah apakah masih dapat disebut meja belajar, anaknya itu sudah lama tidak belajar. Martha mengamati satu per satu buku pelajaran Will yang sudah tak lagi tersentuh semenjak Will berhenti dari sekolah untuk pengobatan penuh di rumah sakit selama setahun lebih.

"Maaf Will nggak bisa sekolah lagi ..." ujarnya pelan.

Martha melihat satu buku yang ia tahu buku itu telah menemani Will selama masa pengobatannya. Mungkin bisa dibilang jurnal. Dibukanya lembar demi lembar, isinya hanya coretan tidak jelas. Gambar-gambar lucu yang Will buat untuk mewakili sosok dokter, suster, dan beberapa anak di rumah sakit Helmina. Martha tertawa kecil. Tampaknya anak itu suka menggambar.

Di lembar yang lain, Martha menemukan bucket list yang Will tulis. Sudah bukan lagi rahasia, karena Will pernah meminta pendapatnya harus mengisi apa. Will yang kala itu sudah seperti hilang harapan, hanya mengisi ala kadarnya. Pada akhirnya, apa yang Martha sarankan justru tidak Will tulis. Memang dasar anak itu. Martha tersenyum tipis kala membacanya.

1. Keluar dari rumah sakit
2. Perform di pertunjukan
3. Duet gitar sama artis terkenal
4. Bikin lagu untuk orang-orang tercinta
5. Punya rambut gondrong blonde
6. Pelihara kucing di rumah
7. Pakai piercing biar keren
8. Hangout sama anak-anak band
9. Ketemu dan main gitar lagi sama Kai
10. Camping di pantai
11. Punya pacar baik hati, cantik, pintar, kaya raya
12. Jajan es krim sama Theo
13. Piknik sama bunda, ayah, Theo
14. Teriak fuck keras-keras di tebing gunung (gak jadi ding, takut ditampar dedemit)

Martha tersenyum pahit. Apa yang Will tuliskan sungguh hal-hal sederhana yang bukan apa-apa, sangat normal dilakukan oleh anak seusianya. Namun, mengapa bagi Will terasa bagai impian yang entah dapat terwujud atau tidak.

Ada satu nomor lagi di bawah yang Will coret-coret hingga tak terbaca. Martha mengamati lagi satu tulisan tercoret itu. Cukup susah karena Will mengarsir hurufnya sampai hitam. Martha menyalakan lampu belajar untuk menyinari bagian belakang lembar kertas itu dan terbacalah rangkaian huruf yang tercoret hitam tersebut.

Somewhere Over The Rainbow (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang