Keesokan harinya, Kinara mengunjungi Will di rumah sakit. Seorang diri. Gadis itu tampak terkejut melihat Will yang sedang berbaring di ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya dan infus terpasang di tangannya. Will tidak tidur, ia hanya diam memandangi langit-langit. Bengong?
"Aku emang bilang pengen ketemu kamu, tapi di rumah. Bukan di rumah sakit, Will," ujar Kinara sembari mendekat ke arah Will. Duduk di kursi di sebelah ranjang Will.
Will mengalihkan wajah menghadap Kinara. Memberikan senyuman yang sedikit membuat Kinara merasa sedih, entah kenapa.
"Maaf, Kak Kin. Harusnya kita ketemu di rumah," jawab Will.
"Kenapa malah minta maaf?"
"Haha nggak tau, Kak," Will tertawa hambar.
Kinara mengerutkan dahi, bingung dengan Will yang biasanya ceria sekarang tampak dalam suasana hati yang kurang baik.
"Will, you okay?" tanya Kinara.
"Definitely not."
"Will mau cerita? I'm all ears. Siapa tau jadi lebih lega kalo udah cerita."
"Apa, ya, Kak? Lagi kehilangan semangat hidup aja sih. Hehe."
"Hmm ... kenapa merasa begitu?"
"Rasanya kayak ... aku cuman bisa merepotkan orang-orang di sekitarku aja. Bahkan, mungkin tanpa sadar aku juga udah merepotkan Kak Kin."
"Eh? Enggak ada sama sekali. Mana ada merepotkan," sergah Kinara.
"Ya buktinya sekarang aja aku masuk rumah sakit lagi. Belum juga lama keluarnya. Aku udah merepotkan Ayah, Bunda, Theo yang harus bolak-balik rumah ke sini. Aku merepotkan Suster Diana lagi. Dokter Indra juga. Siapa lagi, ya? Aku merepotkan Kak Kin karena jadi harus datang ke tempat yang bau obat ini," ujar Will.
"Will enggak merepotkan siapa pun hanya karena kembali di rawat. Will ada di sini karena Will sakit dan butuh perawatan agar sembuh kembali. Enggak ada yang merasa direpotkan juga kok."
"Ya tapi faktanya aku nggak bisa sembuh, Kak? Kata Dokter aja harapan hidupku tinggal 30%. Tapi tetap masih harus berobat banyak, nyusahin semuanya. Jujur capek," suara Will terdengar parau.
Kinara tercekat mendengar ucapan Will.
"Will ... sakit apa?" tanya Kinara memberanikan diri.
Ya, pada akhirnya ia ingin dan harus tau apa yang sedang dihadapi Will. Minimal Kinara bisa membersamai Will jika anak itu sedang butuh dukungan psikologis.
"Haha, akhirnya tanya juga. Aku sakit parah, Kak Kin. Leukemia limfoblastik akut, tapi udah stadium lanjut. Harapan hidup nggak sampai satu tahun, katanya."
Sekarang Kinara benar-benar terkejut. Sejak awal melihat Will mengenakan piyama pasien, Kinara memang sudah menduga Will sakit. Namun, yang dikatakan oleh Will benar-benar di luar dugaannya.
"Udah separah itu, ya?"
Will mengangguk.
"Rasanya gimana? Sakit sih pasti, masih aja aku nanya."
Will malah terkekeh.
"Ya namanya juga 'sakit', Kak. Tapi udah biasa. Paling kalo pas parah aja rasanya tubuhku mau copot satu-satu. Belum lagi mimisannya itu loh sebel banget, bikin kotor di mana-mana."
Kinara menyipitkan mata. Tak sanggup membayangkan.
"Sejak kapan, Will?"
"Dari SMP, Kak Kin. Waktu itu aku masih kelas 2, masih suka banget melakukan banyak hal. Sampai kemudian tiba-tiba aku mimisan pertama kali waktu upacara. Setelah itu, hampir setiap olahraga selalu mimisan. Mana lebam-lebam juga nggak jelas banget pokoknya. Akhirnya Ayah Bunda dipanggil ke sekolah gara-gara aku sering mimisan. Yaudah terus ketahuan abis tes darah apalah itu berkali-kali di rumah sakit," terang Will.
Sejujurnya Kinara tak bisa membayangkan Will yang masih SMP harus mengalami itu semua.
"Will sedih ya waktu pertama tau ternyata ... leukemia?"
"Ehmm, awalnya b aja sih. Beneran. Mungkin masih kaya denial. Kaya nggak mungkin lah, orang sebelum-sebelumnya aku sehat selamat sentosa. Mana mungkin tiba-tiba kena kanker. Sampai kemudian ... aku sadar kanker itu menyeramkan ketika waktu itu abis tanding basket di sekolah. Lawannya anarkis, mereka ngamuk gara-gara kalah. Pada nonjokin tim basket sekolahku, nah aku ikutan kena tonjok di muka. Abis ditonjok sekali eh langsung mimisan dong. Terus kaya tiba-tiba sesak aja gitu, nggak tau apa-apa, gelap. Bangun-bangun di RS, Bunda nangis. Katanya aku koma 2 minggu. Kaya ... nggak percaya aja. Kalo aku nggak bangun, bisa tiba-tiba meninggal kan?"
Keheningan sejenak mengisi ruang yang serba putih itu. Kinara menghela napas. Ia bingung harus merespons seperti apa, takut salah bicara dan malah membuat Will merasa kian terpuruk.
"Tapi sekarang aku udah terbiasa, Kak. Untung aja aku berhasil lulus SMP meskipun sering bolos. Sayangnya di SMA cuma bertahan beberapa bulan karena harus perawatan full di RS setahunan ini," Will membuka pembicaraan lagi, seolah tahu Kinara bingung meresponsnya.
"Will, kamu tuh hebat. Serius. Nggak boong. Kamu udah bertahan sampai selama ini, yang pastinya itu sangat nggak mudah. Tapi kamu bisa sampai di sini sekarang. Itu luar biasa," celetuk Kinara.
Will tau kata-kata manis Kinara hanyalah penyemangat seperti yang biasa disampaikan orang-orang sekitarnya jika Will sedang dalam fase terpuruk. Namun, itulah salah satu yang Will suka dari Kinara. Gadis itu selalu bisa memancarkan ketulusan dari setiap ucapannya.
"Iya juga, ya. Aku bisa bertahan 4 tahun. Kemoterapi sekian kali. Ini bulan depan mau ada kemo lagi, siap-siap botak lagi. Goodbye rambut blonde, hello si botak ber-beanie."
Kinara tersenyum tipis. Merasa dark jokes Will terlalu dark.
"Nanti aku beliin beanie yang lucu, ya. Yang ada kupingnya gitu. Tapi janji harus dipake. Mau?" goda Kinara berusaha mencairkan suasana.
"Ya kali ada kupingnya, ogah ah."
"Kan lucuuu!"
"Kak Kin jangan aneh-aneh deh!"
"Hahahahaa, ya udah yang nggak ada kupingnya aja."
Perlahan, keduanya larut dalam tawa yang awalnya terasa sumbang, kemudian berubah riang. Suasana hati Will sedikit membaik. Setidaknya dengan adanya Kinara, sedikit beban yang mengganjal di hatinya mulai terangkat.
*
Beberapa hari berlalu dan Will masih tidak mendapat izin untuk pulang. Tanpa menggubris Will yang terus saja memprotes, dokter dan orang tua Will tetap memberikan perawatan untuknya.
Hari itu, Ayah Will benar-benar berpamitan kepada Will bahwa ada tugas luar kota selama beberapa waktu. Ayah dan Bunda Will tidak tahu jika Will telah mendengar perbincangan mereka. Will pun betah tutup mulut dan mengiakan saja apa yang disampaikan oleh ayah bundanya.
"Ayah, pergi dulu ya, Sayang. Sehat-sehat. Ayah akan coba datang sesering mungkin."
Demikian pesan yang diujarkan ayah Will sebelum keberangkatan keluar kota. Dengan kecupan di puncak kepala seperti biasanya, Will sebisa mungkin menahan diri agar tidak menangis.
*
Namun, Ayah Will tidak datang lagi ke hadapan Will bahkan setelah sebulan berlalu. Mereka hanya sesekali berbincang melalui video call. Selebihnya, ayah menyampaikan minta maaf karena belum bisa menemani Will. Apalagi sebentar lagi Will juga akan mulai kemoterapi.
Jika pada kemoterapi sebelumnya ayah dan bunda Will bergantian menemani, sekarang Will harus rela hanya sesekali bersama bundanya, di lain waktu ia benar-benar sendiri. Bagaimanapun bunda Will juga perlu mengurus Theo di rumah.
Sekali lagi, Will merasa dirinya sangat tidak berguna. Bisanya hanya merepotkan. Demotivasi itu terlalu tinggi hingga Will tak bisa lagi mengendalikannya dan semakin merasa terpuruk.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Over The Rainbow (END)
FanfictionWill bertemu Kinara ketika usianya sudah di ujung tanduk. Kinara memberikan cahaya kehidupan baru bagi Will; menghadirkan kisah dan orang-orang baru untuk mewarnai hari-hari Will yang sebelumnya kelabu. Bagi Will, Kinara dan gitar adalah bahagianya...