Chapter 19.

300 27 3
                                    

Keesokan harinya, Will kembali ke rumah sakit dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik. Ia diantar oleh Farah yang sepenuhnya merasa bertanggung jawab ketika tahu Will menyelinap dari rumah sakit.

"Will, jangan nakal lagi. Tante nggak tahu kamu ternyata kabur. Kalo nggak dapat izin jangan ngeyel, kalo kayak gini kan kamu sendiri yang kena."

Will tidak menggubris omelan tantenya itu karena tubuhnya benar-benar sedang memberontak. Kepalanya pusing bukan main, persendiannya serasa ingin lepas satu per satu. Belum lagi dadanya yang sedari semalam terasa sesak. Bantuan dari masker oksigen hanya bisa meringankan tarikan napasnya, tidak dapat mengurangi nyeri dadanya sama sekali.

Will ingin tidur saja, tetapi memejamkan mata pun tidak membantu. Alhasil ia hanya bisa menggelebak ke kanan dan ke kiri bergantian, berharap bisa meringankan sakitnya. Farah cemas melihat Will yang tampak bersusah payah mempertahankan kesadaran.

"Tante panggil dokter dulu, ya." ujar Farah yang dijawab Will dengan anggukan.

Terdengar langkah kaki Farah yang berjalan keluar ruangan, diikuti bunyi pintu berderap tertutup. Will mengeluarkan segenap kata-kata "mutiara" ketika dirasanya ia sudah benar-benar sendiri di ruangan itu. Kosakata yang selama ini hanya disimpannya saja dalam otak karena tidak mungkin Will utarakan ke hadapan orang lain.

Berkata kasar adalah pantangan. Namun, ada saat-saat ketika Will tidak bisa menahan diri, seperti saat ini misalnya. Dengan segala ketidaknyamanan yang dirasakan tubuhnya, Will butuh pelampiasan sesaat.

"Uhuk ..."

Will terbatuk. Awalnya beberapa kali. Makin lama, makin intens. Ia melepaskan masker oksigen dari wajah agar dapat batuk lebih leluasa.

Darah.

Will bisa melihat cairan merah itu keluar dari mulutnya, bersamaan dengan dahak batuknya. Refleks satu tangan Will berada di bawah mulut, sedang tangannya yang lain berusaha menjangkau tisu yang ada di atas nakas di sebelah ranjangnya. Namun, kotak tisu itu malah terjatuh ke lantai karena tak berhasil teraih tangannya dengan sempurna. Will makin kesal bukan main.

"Faaaaaaak!"

Will berteriak sekencang yang ia bisa, meskipun sebenarnya tidak sekencang yang diharapkan—ia lebih seperti bergumam. Sedetik kemudian Will menyesal telah berkata kasar. Will tak ingin menambah dosa, ia mohon ampun pada Tuhan.

Batuk Wil tidak juga berhenti hingga kian sulit baginya bernapas. Deru udara yang keluar-masuk tidak normal membuatnya tersengal. Will biarkan saja bercak darah mengotori mukanya, bahkan bajunya. Ia sudah tak peduli.

Pintu terbuka, Farah masuk dengan tergopoh bersama Dokter Indra dan beberapa perawat.

"Ya Tuhan, Will ..." Farah yang baru pertama kali melihat kondisi Will "seberantakan" ini, tak bisa menyembunyikan kepanikannya.

Dokter dan perawat memberi penanganan segera pada Will. Ada yang membersihkan darah, ada yang menyuntikkan sesuatu pada lengan Will, Dokter Indra sendiri memeriksa kesadaran Will dengan memanggilnya beberapa kali. Will tidak merespons, sibuk menahan sakit dan menahan kejengkelannya pada diri sendiri.

"Will anak baik, kamu kuat. Bertahan ya," ujar Dokter Indra menenangkan sembari sigap melakukan tindakan.

"Will hebat sudah bertahan sampai sejauh ini. Sedikit lagi ya," Suster Diana turut mengafirmasi.

Entah apa yang dimaksud Suster Diana dengan "sedikit lagi", otak Will sudah tidak ingin memproses input apa pun.

Perlahan bayangan hitam mulai menghapuskan cahaya dari penglihatannya, menjelma kegelapan yang sekali lagi menenggelamkan Will ke alam ketidaksadaran.

Somewhere Over The Rainbow (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang