"Dan, aku merasa Will belakangan ini jadi lebih suram."
Kinara mencurahkan isi hatinya pada Daniel. Mereka sedang duduk di pelataran perpustakaan kampus, mengerjakan tugas masing-masing.
"Aku juga ngerasa gitu. Nggak seceria sebelumnya," Daniel sepakat dengan apa yang disampaikan Kinara.
Mereka berdua tahu Will sudah mulai kembali kemoterapinya. Pastilah itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun, di mata mereka, Will sekarang terlalu suram untuk ukuran Will. Anak yang biasanya ceria dengan segala perilaku "aneh"-nya menjadi lebih pendiam. Sesekali tertawa ketika Daniel atau Kinara berkunjung dan melontarkan candaan, tapi selainnya lebih banyak diam.
"Setiap ditanya kenapa, dia jawabnya nggak papa. Aku juga nggak akan memaksa buat dia cerita kalau emang nggak dari dianya sendiri yang pengen. Tapi aku nggak enak juga nggak bisa bantu apa-apa yang mungkin aja dia butuhkan."
"Mungkin emang dia belum mau cerita, Sayang. Kita tunggu aja."
"Semoga nggak lama dia jadi pendiam kaya gini. Aku takut dia kenapa-napa. Makin banyak ditahan, nanti kelamaan bisa meletus. Jangan sampai."
Daniel mengusap rambut Kinara, menenangkan gadisnya itu dari segala perasaan khawatir yang berlebihan.
"Aku percaya Will nggak selemah itu, Kin. Dia tahu kapan ingin bercerita, kapan ingin diam. Kamu jangan kepikiran yang enggak-enggak, ya. Everything's gonna be okay."
*
Tepat sekali, Kinar membenarkan perkataan Daniel.
Kali ini, ia tengah mengunjungi Will. Anak itu sedang duduk di taman rumah sakit, tempat favoritnya, sembari memeluk gitar. Dipetiknya dawai gitar itu perlahan, tetapi sangat fokus. Saking fokusnya sampai tidak menyadari Kinara yang tau-tau sudah duduk di sebelahnya. Barulah begitu Kinara "menyanyi" dengan suara khasnya, Will terbelalak dan menghentikan permainan gitarnya.
"Kak Kin, kamu beneran harus ambil kelas vokal. Serius ini mah."
"Dihhh, ledek aja terus!"
"Hahahahahaha ..."
"Malah ketawa?!"
"Btw Kak Kin, aku mau cerita deh," ungkap Will memulai perbincangan yang lebih serius.
"Ya?"
Will menarik napas.
"Jadi Ayah udah hampir sebulan full ada di luar kota. Luar pulau malah. Aku kangen Ayah. Padahal biasanya Ayah yang nemenin aku kemo kalau Bunda lagi ngurusin Theo."
"Ayah Will kerja?"
Will mengangguk.
"Namanya juga orang kerja, tugasnya banyak, Will. Kalau tugasnya sudah selesai, pasti bakal cepet kembali ke sini. Aku yakin Ayah Will juga kangen banget sama Will."
"Ya. Aku tau itu, karena aku juga kangen banget sama Ayah. Kata orang, perasaan kangen, sama halnya dengan cinta, itu beresonansi."
"Betul sekali."
"Tapi, Kak. Aku takut kalau kelamaan Ayah nggak balik ke sini, nanti aku nggak bisa ketemu lagi."
"Kok ngomong gitu?"
Alih-alih menjawab, Will terdiam. Sedang memilah kosakata yang tepat untuk mewakili perasaan terpendamnya.
"Kemo kali ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya, Kak Kin. Rasanya berkali lipat lebih sakit. Efeknya lebih parah, bahkan bisa lemas sampai berhari-hari. Aku takut aja, bukannya meninggal karena kanker, tapi karena kemoterapi ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Over The Rainbow (END)
FanfictionWill bertemu Kinara ketika usianya sudah di ujung tanduk. Kinara memberikan cahaya kehidupan baru bagi Will; menghadirkan kisah dan orang-orang baru untuk mewarnai hari-hari Will yang sebelumnya kelabu. Bagi Will, Kinara dan gitar adalah bahagianya...