HUKUMAN

589 21 4
                                    

"Selamat siang."

Sapa dosen killer nan tampan tersebut kepada muridnya. Tapi bagi mereka, sapaan tersebut adalah panggilan maut.

"Selamat siang, pak," balas mereka, kecuali Aruna. Ia sangat gugup sekarang, padahal belum diapa-apain.

Lay si dosen tampan meletakkan tas, laptop dan buku tebal di meja. Dahinya mengernyit aneh memperhatikan sesuatu yang janggal. Mata tajamnya menatap muridnya penuh selidik.

"Buka buku dan laptop kalian sekarang," ujarnya dingin, namun terkesan tegas.

Semuanya langsung gercep begitu dosennya memerintah walaupun agak gregetan gimana gitu.

Dosen Lay sedikit membungkukkan badannya dengan tangan yang sibuk berkutik di laptopnya. Entah kenapa hari ini dirinya agak lain. Biasanya begitu sampai di kelas langsung duduk dan marah enggak jelas seperti wanita datang bulan.

"Amanah saya sudah disampaikan oleh ketua kelas tadi?" matanya menatap lurus pada satu titik. Entah itu siapa dan apa isi pikirannya.

"Sudah, pak," bukan ketua kelas yang menjawab pertanyaan itu, melainkan satu kelas secara serentak dan lantang.

Dosen Lay mengangguk dua kali. "Sudah kalian lakukan apa yang saya suruh?"

"Sudah, pak," kali ini suara mereka tidak selantang tadi. Pasti nyalinya pada menciut.

"Sudah? Kalian yakin? Sudah siap otak kalian saya asah? Sudah siap saya tanya satu-persatu?" dosen Lay bertanya seakan mengabsen siapa yang siap mati terlebih dahulu.

BRAK!

"JAWAB SAYA!"

Jantung seakan pindah ke lambung, muka pun langsung pucat gara-gara kaget mendengar bentakan keras sang tuan guru.

Kasian mejanya. Untung saja meja tersebut tahan banting.

"Kalian semua saya kasih nilai E."

Mereka menatap tak percaya pada sang dosen. Mereka salah dengar atau dosennya salah menyebut?

Dosen Lay memasukkan kedua tangannya ke kantong celana dan sialnya, hal itu justru membuat kadar ketampanannya semakin bertambah.

Kan jadi salah fokus deh.

"Sikap kalian tidak pantas disebut sebagai seorang mahasiswa. Tidak mencerminkan kepribadian yang baik. Kalian harusnya malu pada diri sendiri. Otak ada, tapi tidak dipakai dengan benar. Balik lagi sana ke SD! Kalau perlu jual aja otak kalian!"

Kejam amat pak, tuh mulut.

Tapi memang begitulah gambaran sosok dosen Lay di kampus ini. Tidak menjadi rahasia umum lagi jika dosen yang dianugerahi muka blasteran surga, tapi berhati iblis.

Mata tajamnya menyorot ribuan amarah, sebentar lagi siap ditembakkan dan terjatuh lah para korbannya.

Aruna yang dipojokan udah ketar-ketir dari tadi. Badannya udah keringat dingin, bernafas susah, bahkan mau nelen air liur pun jadi sungkan. Mungkin hari ini adalah hari terakhir di hidupnya sebelum dipenggal oleh dosennya.

"Kali ini saya berbaik hati ke kalian," dosen Lay kembali bersuara. "Buat makalah mengenai sastra Indonesia sampai seratus halaman, tanpa typo dan saya beri waktu dua hari. Wajib dikumpulkan. Bagi yang mengumpulkan akan saya kasih nilai C. Bagi yang tidak mengumpulkan, saya pastikan tidak akan lulus kuliah."

"Hah?!" keluh satu kelas tak terima dengan pernyataan menyakitkan tersebut.

"Apa? Mau protes?" tantang dosen Lay.

LOVE YOU PAK DOSEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang