Ke mana lagi harus melangkah? Seberapa jauh lagi harus berlari? Berapa lama lagi harus menghindar?
Di bawah teriknya sinar matahari sampai membuat mata silau, membuat kulit berganti warna menjadi kecoklatan. Ia terus melangkah tak tentu arah tak tau tujuan. Rasanya cukup bodoh karena lebih memilih menghindar dari kenyamanan di apartemen mewah Lay. Tapi males juga kalau harus melihat mukanya apalagi mendengar suaranya. Ia benar-benar kesal kepada Lay sebab mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.
Sepanjang jalan pikirannya benar-benar kacau, bibirnya tak berhenti mengoceh sampai dicap orang gila oleh sekelilingnya. Dibilang gila sih nggak pantes ya, karena aura wajah imutnya sangat mendominasi.
"ARUNA!"
Eh, suara mengerikan siapa tuh?
Aruna yang sedang dilanda kepanikan bagaikan buronan, tak berani melihat ke belakang menangkap sosok yang telah menyebut namanya.
Ia pura-pura tuli dengan suara tadi sambil mempercepat langkahnya mungilnya seperti anak penguin.
"Aruna! Berhenti!"
Dirasa suara tersebut semakin mendekat, Aruna langsung kabur kocar-kacir. "Aaaa.... Lari! Selamatkan diri!"
"Woi Aruna!"
"ARGH! Loh? Bagas?" Aruna yang tadinya ketakutan bukan main seketika bernafas lega sekaligus bingung mengapa bisa bertemu dengan Bagas si kocak di sini.
"Kapun khap?---- eh, malah kebawa logatnya!" ucap Bagas somplak. "Lo kenapa lari waktu gue panggil?"
"Hah? Lo manggil gue? Kapan? Perasaan kagak ada?" Aruna masih mengelak pura-pura tidak tau daripada memberi tau kebenarannya.
"Yaelah nih cewek dikasih sepasang kuping kagak dipake. Pantesan budeg! Berapa meter sih kedalaman tai kuping lo?" Bagas tak habis pikir alasan Aruna sungguh tak masuk akal padahal jelas-jelas ia berteriak sampai kumpulan kakek-kakek gaul yang sedang main catur nyaris melemparnya mengunakan sendal dan tongkat mereka.
"Makan bareng yok. Kebetulan lo ada di sini jadi sekalian gue ajak ke mekdi," ajak Bagas menarik ujung bajunya memamerkan pakaian hasil pinjaman.
"Jauh amat makan ke mekdi. Makan di warteg aja lah, kan di sekitar sini banyak berjejer," saran Aruna menghasut mode hemat.
"Pala bapak lu! Tuh, liat di depan sono!" saking geramnya Bagas kepada temannya yang kelewat goblok ini, ia langsung memutar kepala Aruna mengarahkan pada salah satu resto elit kekinian di depan matanya.
"Loh, mekdi-nya udah pindah ya? Kapan dipindahin? Kok gue nggak tau?"
"Tempatnya nggak pindah. Otak lo yang pindah!"
Aruna meringis merasakan kakinya begitu pegal luar dalam hasil dari perjalanan panjangnya.
"Lo ke sini naik apa?" tanya Aruna basa-basi terlalu basi.
"Naik bis. Lo----" Bagas menunjuk Aruna mengunakan jari telunjuknya. "Jangan bilang lo jalan kaki?"
Aruna mengangguk membenarkan rasa penasaran Bagas. "Kayaknya gue kesasar deh."
Lelaki somplak itu seketika heboh sendiri, mencak-mencak nggak jelas seperti topeng monyet.
"Mendingan lo ikut gue makan. Gue traktir. Yok lah, cusss..." Bagas menarik tas yang dipakai Aruna jaga-jaga supaya gadis ini tidak hilang atau berkelana tak tentu arah.
Begitu sampai di dalam resto terkenal langsung disambut aroma khas makanan berat kesukaan semua umat. Aruna meneguk ludahnya melihat meja orang-orang di tempat ini dipenuhi berbagai macam makanan. Ia pun sedang lapar berat sampai begitu ngiler memperhatikan orang makan dengan lahap.
"Lo mau pesan yang mana?" tanya Bagas sambil memperhatikan seorang pekerja yang begitu cantik di matanya.
"Burger yang itu satu, terus ayam goreng bagian paha sama dada, kentang goreng, nugget ayam, minumnya es coklat aja deh. Udah itu aja," jawab Aruna cepat membuat orang menguras isi dompet.
"Si bangke tau aja mana yang mahal." Bagas yang tadinya kesal dan agak menyesal membawa Aruna ke sini, semua rasa itu seketika sirna setelah diberi senyuman oleh mbak-mbak cantik. Dan tidak lupa basa-basi minta nomor WA.
Sikap randomnya benar-benar tak kenal tempat.
"Cakra mana? Biasanya lo bedua kan selalu bersama kayak induk monyet gendong anaknya," ucap Aruna saat mereka sedang duduk menunggu pesanan datang.
"Cakra lagi sibuk sama urusan negaranya." Bagas sibuk memainkan HPnya, mencari ide nama kontak yang bagus setelah berhasil mendapatkan nomor WA mbak-mbak tadi.
"Maksudnya?" Aruna sungguh tidak paham mengenai kehidupan para lelaki muda.
"Jadi gini ceritanya. Awalnya gue mau nunjukin calon masa depan gue ke dia. Trus si caplang anak Samsudin itu malah terpikat sama gebetan gue. Akhirnya dia ngasih gocap sebagai uang tutup mulut dan gue nggak boleh gangguin dia buat deketin cewek itu. Yaudah gue terima aja makanya gue bisa di sini sekalian ngajakin lo makan." Bagas memamerkan uang hasil sogokan dari si caplang.
"Itukan cuma 300 ribu. Kalau gocap ya harus pas 500 ribu dong."
"Dicicil dulu kata si caplang anak Samsudin. Sisanya baru besok."
"Bisa pulak gitu? Emang aneh tuh orang."
Tak lama kemudian datang seorang lelaki muda membawakan pesanan yang telah lama ditunggu-tunggu.
Bagas melongo sempurna melihat gadis di depannya sangat lancar menghabiskan makanan segitu banyaknya.
Rugi bandar juga traktir anak orang.
Puas melongo kayak orang bego, sontak saja ia mengatupkan mulutnya kembali setelah pikirannya tersadar.
"Makan tuh mbok ya di rem woi!" tegur Bagas.
Aruna cengengesan menampakkan deretan giginya, kemudian makan ala-ala wanita anggunly dan tetap slay.
"Makasih banyak ya, udah traktir gue. Lain kali sering-sering ya, traktirnya?" ucap Aruna agak ngelunjak kalau sudah sekali dibaik-baikin.
"Kagak mau! Cukup sekali ini aja. Rugi bandar gue bayarin lo terus. Badan kecil makannya banyak. Cacingan apa perut karet lo? Semua masuk. Apa-apa masuk. Perut dah buncit pun tetap digaskan. Haduhh... Tekor aku rek, rek," walaupun Bagas orangnya agak cerewet, tapi soal pertemanan nggak akan neko-neko. Makanya caplang bersedia membiarkannya menjadi teman satu kamar kost tanpa membayar tapi dibayar.
Mereka berdua duduk di halte bis menunggu kendaraan tranportasi yang muat beberapa orang itu mengantar mereka ke tujuan berbeda.
"Eh, itu bisnya udah dateng." Aruna berdiri dari tempat duduknya menatap Bagas yang selalu setia memainkan HPnya. "Gue duluan, ya? Sekali lagi makasih ya, Bagas."
"Bentar, bentar!" Bagas merogoh kantongnya mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Nih buat lo."
Tangan Aruna menggenggam uang kertas warna biru pemberian ikhlas tak ikhlas dari Bagas. "Gue ada ongkos kok buat pulang. Tadi pun kata lo, gue buat lo rugi bandar. Gue kan jadi enak."
"Alah, itu monyong gue asal ceplos doang. Udah buruan ambil, ntar ditinggal bis baru tau rasa lo."
"Okelah, makacih babang Bagas. Gue duluan, ya? Papay." Aruna melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam bis, begitu pula setelah di dalam dan bis nya mulai bergerak memisahkan kedua orang tersebut.
"Random banget tuh anak. Agak lucu gimana gitu," bibir Bagas mengembangkan sebuah senyuman ringan.
"Nama bapak dia sape yee? Karina sontoloyo kuntuleyo nama bapaknya Joko Iskandar Mariadi. Caplang anak kadal bapaknya ganti-ganti terus. Eh--- maksudnya namanya ganti terus. Wajib dicari tau nih bapaknya Aruna." ia kembali duduk setelah selesai berbicara pada dirinya sendiri, menunggu bis sesuai tujuannya datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU PAK DOSEN
Short StoryKebayang nggak sih kalau lo jadi istri DOSEN KILLER sejagat kampus? Dosen tampan rupawan dengan sejuta pesona, muka blasteran surga, plus tajir melintir. TAPI, kalau di kelas itu jurus andalannya adalah lempar spidol ke muka orang. Dan parahnya lagi...