CURI-CURI SEDIKIT

247 13 2
                                    

Mobil hitam kilat milik Lay telah terparkir di sekitar apartemen mewah miliknya berjejer bersama mobil-mobil penghuni apartemen.

Dari dalam mobilnya itu, sang istri belum menunjukkan tanda-tanda keinginannya untuk keluar. Lay mengikuti kata hatinya agar membukakan pintu mobil supaya terkesan sebagai suami penuh perhatian.

"Ayo," ajak Lay menampilkan senyuman manisnya yang hanya ia suguhkan kepada sang belahan jiwa.

Namun Aruna tidak menunjukkan reaksi apapun atas perhatian Lay. Wajahnya hanya menampilkan ekspresi datar menatap tajam satu objek di matanya.

"Mau saya gendong?"

"Ih, apaan sih!" tawaran dari Lay ia tolak mentah-mentah, kemudian kakinya melangkah keluar dari tempat persembunyian.

Lay berjalan di belakang istrinya berusaha mengejar langkah kecil guna menyeimbangkan posisi mereka agar berjalan berdampingan.

Aruna sendiri merasa jengkel sekaligus risih pada pria satu ini yang selalu berusaha modus mendekati dirinya. Ia benci sekali pada pria sok perhatian maunya terus menempel padanya. Apakah Lay tidak mengerti bahwa ia sedang menunjukkan tanda ketidaksukaan? Bukankah ia menyandang gelar sebagai dosen paling cerdas di kampus? Kenapa kode keras darinya tidak bisa dimengerti?

"Ck!" Aruna berdecak kesal membalikkan badannya menghadap ke orang paling menjengkelkan menurutnya. "Bapak jangan mancing emosi aku, ya! Kenapa sih bapak selalu ngelunjak kalau aku udah baik dikit?"

"Maksud kamu?" sungguh, Lay benar-benar tidak mengerti apalagi kesalahannya pada istrinya. Mereka sudah berbaikan, bukan?

Aruna menunjukkan ekspresi super kesalnya menyimpulkan bahwa Lay adalah orang yang tidak peka kepada wanita sepertinya. "Gini ya, pak dosen terhormat. Aku tau loh bapak lagi modus mau deketin aku. Dari gerak-gerik bapak udah keliatan banget. Atau gini aja deh, mendingan bapak jalan duluan terus aku nyusul di belakang."

"Kenapa harus begitu?" Lay masih sabar menanggapinya karena stok kesabarannya sudah diisi.

"Ya, karena aku nggak mau jalan barengan sama bapak."

Lay sempat mengkerutkan keningnya diiringi gelengan ringan. "Bisa tolong diperjelas kenapa saya tidak boleh jalan bersama kamu yang statusnya adalah istri saya?"

"Karena aku malu jalan sama bapak!" sergah Aruna mengeluarkan unek-unek kekesalannya.

"Malu?" Lay melangkah lebih dekat ke sisi istrinya mengikis jarak diantara mereka. "Kamu malu punya suami seperti saya?"

"Iya! Kenapa? Bapak nggak terima? Mau protes? Mau marah? Silakan, aku nggak takut!" Aruna semakin menjadi-jadi menantang seseorang penuh keberkahan di hidupnya.

Mata penuh kebencian itu justru dibalas mata penuh cinta oleh Lay. "Pasti kamu sangat lelah seharian ini, jadinya marah-marah nggak jelas. Ayo, saya masakin makanan yang enak supaya marahnya hilang."

"Awas! Dasar dosen genit!" Aruna mendorong dada Lay mengunakan sisa tenaganya yang mampu membuat pria itu hampir terjatuh.

Lay menatap sendu sosok kesayangannya sembari menahan sesuatu yang terus bergejolak di dalam dirinya. Ia berusaha menahannya, memejamkan matanya sekuat mungkin sampai rasa tersebut mulai mereda.

"Mbak jenglot!" pekik seorang satpam di episode lalu yang pernah Aruna tipu demi rencana kaburnya.

"Heh! Jenglat jenglot, jenglat jenglot! Gue tuh punya nama, ya!" balas Aruna judes. Gara-gara alasannya gilanya waktu itu, pasti kelompok satpam di sini sudah hapal betul mengenai rupanya.

"Tapi kan mbaknya paling sedih waktu kehilangan jenglot susuk andalan. Kami sudah cari kemana-mana tetap nggak ada, mbak. Mungkin dia ada masalah sama ayangnya makanya kabur."

"Haisss! Gue catok bibir lo sampe tujuh meter baru tau lo! Minggir lo!" Aruna menghentakkan kakinya kasar sampai suara sepatunya menggema di area parkiran.

"Kayaknya mbak itu lagi sawan. Kasian, mana masih muda."

Kesal, marah, sedih, dan malu bercampur menjadi satu dalam di Aruna. Satu harian ini ia cukup banyak menanggung beban hidup yang diingat seumur hidup.

Tangannya sibuk menekan angka di tombol untuk membuka pintu kamar. Ia tidak sabar melepaskan segala keletihannya berbaring di kasur empuk pembawa kedamaian.

Lay?

Ah, pria itu benar-benar ia lupakan dan tinggalkan begitu saja. Entah di mana Lay berada sekarang, ia tidak peduli sama sekali.

Matanya terpejam saat merasakan dinginnya suhu AC di kamar ini mulai melewati tubuhnya yang dibanjiri keringat. Kenyamanan sesaat membawanya menuju alam mimpi di mana nantinya ia akan cepat melupakan bunga tidur tersebut.

Saat matahari mulai meninggalkan tugasnya menyinari dunia sesuai berjalannya waktu, Lay menyibukkan dirinya berkutat di dapur mempersiapkan makanan enak sebagai santapan makan malam.

Tangannya terampil memotong segala jenis bahan makanan secara cekatan seolah sedang menampilkan akrobatnya.

Hidup bertahun-tahun di negara orang membuatnya belajar mandiri menyiapkan segala kebutuhan dilakukan dengan tangan sendiri. Orang tuanya tidak pernah memanjakan anaknya walaupun mereka dari kalangan orang mampu, diri sendiri lah yang harus bergerak, bukan digerakkan orang lain.

Artinya, jikalau kita ingin sukses, maka kita harus bertekad dan yakin kita bisa meraih kesuksesan dengan kecerdasan otak tanpa bantuan orang lain, tanpa diatur-atur orang. Karena kita tau, seseorang itu belum tentu akan setia.

Intinya jangan terlalu percaya pada orang lain, tapi yakinlah pada diri sendiri. Kita yang menanam, kita juga yang menikmati hasilnya.

"Aruna, bangun yuk, bangun." Lay merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah istrinya, membuat gadis itu bergerak tak nyaman. "Mandi dulu sana biar kita makan malam."

"Bapak ganggu orang tidur ajalah!" Aruna memukul-mukul tangan Lay di wajahnya dan matanya masih terpejam.

"Makanya mandi biar nggak saya gangguin."

"Aku masih ngantuk!" bukannya melaksanakan perintah, malah ingin kembali ke alam mimpi yang sempat tertunda. Seluruh tubuhnya kembali tertutup selimut tebal.

"Oke, kamu yang paksa saya," kesabaran Lay mulai menipis membangunkan gadis pembangkang, maka Lay pun bertindak.

"AARRGGHH!!!"

Aruna terperanjak kaget selimut penuh kelembutannya tiba-tiba melayang, disusul tubuhnya telah berada di gendongan Lay.

"Bapak nggak pengertian banget sih jadi orang! Maksud bapak apa pake cara beginian?!"

Lay terus melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, memegang erat istri mungilnya agar tetap aman di gendongannya. Bathtub sudah diisi dengan air hangat ditambah wewangian khas strawberry. Jadi istrinya tinggal terima bersih saja.

"Semua ini nggak lucu ya, pak!" Aruna kembali protes saat dirinya diturunkan secara perlahan, merasakan uap hangat mulai menyentuh kulitnya. "Jangan harap aku bisa luluh secara gampangan. Nggak sudi! Jablay as---"

Dan lagi-lagi pria itu melakukan tindakan sesukanya tanpa menyakiti kedua belah pihak.

Dengan mudahnya Lay menarik sebelah tangan Aruna menutup mulutnya sendiri, kemudian diberi kecupan singkat.

Memang singkat, tapi suara khas kecupan itu kembali menggila dan bersarang di pikiran.

Kecupan bibir yang terhalang telapak tangan sukses membuat aliran darah Aruna merosot drastis.

Lay semakin hari semakin berani bertindak lebih padanya, walaupun curi-curi sedikit.

"Mandi yang bersih ya, istri tercinta. Kalau tidak sedang berhalangan, sholat dulu baru makan. Oke?"

LOVE YOU PAK DOSEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang