Kecurigaan?

7.6K 567 26
                                    

Kinan kembali ke kamar nya untuk mengambil handphone dan tas lalu ia pergi ke ruang tamu kembali untuk menghampiri sang suami. Raden hanya terdiam heran saat Kinan tiba-tiba menggandeng tangan nya, "Kenapa lo?" tanya Raden heran.

"Lo ngga denger kata abah tadi? Kita di suruh ke pondok buat ngawasin santri-santri," ucap Kinan pede, padahal tadi yang di suruh ke pondok kan hanya Raden. Abah tidak menyuruh Kinan untuk menemani suami nya itu ke pondok kan?

"Kita? Bukan nya tadi yang di suruh ngawasin santri-santri di pondok cuma gue?"

"Iya sih abah nyuruh gue buat ngajak orang tapi itu Ila bukan lo," balas Raden terkesan dingin.

Kinan mengernyit heran dengan sifat suaminya itu yang tiba-tiba berubah drastis, padahal tadi mereka baik-baik aja tapi kenapa sekarang jadi seperti ini? batin nya heran.

"Jadi, lo ngga mau ngajak gue?"

"Iya udah sih kalo lo ngga mau ngajak gue ke pondok lo, tapi ngga usah ngomong seolah gue ngga penting buat lo atau sebenernya gue emang ngga penting. Gue juga sadar diri kali, gue ngga pantes buat di pamerin sama santri-santri lo karena gue jelek."

"Gue--"

Cup!


Raden menarik pinggang Kinan lalu menciumnya lembut membuat gadis itu langsung terdiam, namun sesaat setelahnya Kinan langsung mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh darinya. Dengan cepat Kinan mengusap bibirnya dan menatap Raden tajam, meskipun ia tak bisa menyembunyikan mata nya yang berkaca-kaca itu.

"Udah ngomong nya?" tanya Raden masih dengan ekspresi yang sama seperti tadi.

"Apaansih lo, ngga lucu tau kaya gini. Kalo lo emang malu punya istri kaya gue, bilang! Jangan kaya gini!"

"Syutt, cantik. Dengerin gue ya?" Raden menangkup kedua pipi Kinan dan menatap nya dengan tatapan yang tak bisa di artikan, ibu jari Raden mengusap air mata yang turun dari kelopak mata gadis cantik itu.

"Ngga ada yang bilang gue malu punya istri kaya lo, justru gue bersyukur banget Allah mau nitipin bidadari secantik dan sebaik lo buat jadi pendamping hidup gue." Ucap Raden lembut penuh kasih sayang.

"Terus kenapa lo ngga mau ngajak gue ke pondok?" tanya Kinan diiringi isak tangis nya.

"Suami mana yang rela istri nya di lihat oleh laki-laki ajnabi? Ngga ada Nan,"

"Lo tau kan pondok abah bukan pondok khusus santri putri, banyak laki-laki seumuran kita di pondok itu dan ngga semua santri itu bisa jaga pandangan Nan,"

"Demi Allah Nan, gue ngga akan pernah rela istri gue menjadi pusat perhatian mereka, jangan kan tubuh lo. Mereka liat bayangan lo aja sebenernya gue ngga rela,"

"Lo paham kan Nan?" tanya Raden, kini air mata Kinan kembali turun namun bukan air mata kesedihan seperti tadi tapi air mata bahagia karena ia merasa sangat di ratukan oleh sang suami.

Kinan hanya membalas nya dengan anggukan pelan, Raden mengecup kedua mata Kinan lembut lalu tersenyum manis menatap wajah cantik gadis di depan nya ini.

"Udah ya jangan nangis lagi, hati gue ikut sakit liat lo nangis," ucapnya lembut.

"Tapi nanti kalo lo lalar pondok putri, lo harus ajak gue!" tegas Kinan membuat laki-laki itu tertawa pelan.

"Ya allah Nan, siapa juga yang mau lalar pondok putri? Meskipun di suruh gue juga ngga bakal mau,"

"Emang lo mau suami lo yang tampan ini di lirik sama santri putri di sana?" ledek nya.

"Iya ngga lah!" kesal Kinan, demi Allah. Ia juga tidak akan rela jika suaminya di lirik-lirik oleh wanita lain selain mahram nya.

"Nah itu tau,"

Alkazhai dan senja nyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang