8. Pacar?

7.2K 666 14
                                    

Karena besok aku nggak bisa up, aku up sekarang dobel ya. Happy reading!

*****

Nala membuka matanya dengan berat. Ia memandang langit-langit kamar sejenak. Tangan kirinya terulur ke atas. Gelang keemasan itu masih di sana, menandakan semua yang ia lalui bukan mimpi buruk belaka.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. Mulutnya mendesahkan napas keras-keras sebelum bangun dari tidurnya. Kakinya melangkah ke lemari, mengambil pakaiannya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Tak berapa lama, ia sudah siap dengan sweater biru tua dan celana denim biru muda. Ia menyisir asal rambutnya sebelum keluar kamar.

Baru saja Nala membuka pintu, matanya langsung dikejutkan oleh seorang lelaki yang masih tertidur pulas di atas sofa. Tubuh kekarnya terpeluk sayap hitamnya sendiri.

Melihatnya tidur begitu, ia tampak begitu manis. Namun kemudian, Nala sadar, lelaki di depannya itu bukan manusia.

Dengan sedikit mengendap karena takut membangunkan, Nala berjalan ke arah lemari. Ia berjingkat untuk mengambil sekotak sereal dan menuangkan sedikit ke mangkok yang diambil setelahnya. Nala lalu membuka kulkas dan mengambil sekotak susu untuk membasahi serealnya.

"Ung..."

Gumaman pelan membuat Nala menengok. Dari meja makan, ia dapat melihat Orfeas yang tengah tertidur pulas mengucek matanya pelan.

"Aku membangunkanmu?" tanya Nala khawatir.

Orfeas menggeleng. Ia menghela napas sebentar, mengatur kesadarannya yang mungkin masih tertinggal dalam tidur.

"Apa kamu tidur nyenyak? Padahal, kamu bisa pakai kamar kosong bekas orangtuaku di sana." Nala menunjuk ke arah pintu besar tak jauh dari tempat mereka.

Orfeas lagi-lagi menggeleng untuk kedua kalinya. "Itu kamar orangtuamu, Nala. Aku tidak mungkin tidur di sana." Lelaki itu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal sebelum berdiri. "Kamu sudah akan berangkat?"

"Y-ya..." Nala menjawab gugup. Tadi, ketika Orfeas tidur dengan sayap tertutup, lelaki itu tampak begitu manis. Tetapi, kini, ketika Orfeas berdiri dengan tubuh tegap dan sayap besar yang terbuka, rasanya, Nala masih sedikit canggung.

"Kamu akan ikut pergi denganku?" tanya Nala memastikan. Ia masih agak aneh jika mengingat fakta bahwa Orfeas akan membuntutinya ke mana pun.

Orfeas mengangguk. "Bukankah itu perjanjian kita?"

Nala hanya bisa diam. Ia pada akhirnya menjadi tahanan. Semua karena gelang yang tidak sengaja ia pakai. Ah, ia berharap agar semuanya usai secepat mungkin.

Orfeas berjalan mendekat. Ia melongok. "Apa yang kamu makan?"

"Ah, ini... sereal." Nala menyodorkan mangkoknya. "Kamu mau?"

"Tidak, terima kasih," tolak Orfeas cepat. Ia mengambil tempat duduk di depan Nala.

Canggung meliputi mereka berdua. Rasanya masih sangat aneh. 

"Kamu pergi dengan berjalan kaki?" tanya Orfeas mencoba mencari topik.

"Ray yang menjemputku."

Mendengar itu, Orfeas sedikit mengerutkan dahi. "Pacarmu?"

Pipi Nala langsung bersemu merah, tetapi, ia buru-buru menggelengkan kepala keras-keras. "Bukan," jawabnya. "Teman."

"Teman..." Orfeas mengangkat alis dengan pandangan mengejek.

Desisan keluar dari bibir Nala. "Ia benar-benar temanku!"

Orfeas masih menatap Nala dengan pandangan mengejek. Walaupun begitu, ada rasa sesak yang tiba-tiba menjalar ketika mengetahui satu fakta dari gadis ini.

Nala sudah punya orang yang ia sukai. Atau setidaknya, lelaki yang akan jadi teman hidupnya di masa mendatang. Mungkin itu sebabnya, Nala tak sudi menikah dengan Orfeas. Lagipula, Orfeas dan Nala berbeda. Mereka tak akan mungkin bersatu, bukan?

"Dia temanku sejak kecil. Sejak sekolah menengah pertama, mungkin." Nala mengangkat bahu.

"Oh, ya?"

Nala mengangguk. "Sejak kecil, aku selalu sakit-sakitan, Orfeas." Ia menarik napas panjang-panjang. "Saat itu, tak ada yang mau berteman denganku. Ya, siapa juga yang ingin berteman dengan gadis yang bahkan tidak bisa berlari dan melompat?"

"Lalu, dia mau menerima kondisimu?" Orfeas asal menebak.

"Bukan, bukan itu."

Sanggahan Nala membuat lelaki bersayap hitam itu mengerutkan dahi.

"Di usiaku yang ketiga tahun, ayah dan ibuku meninggal tanpa sebab. Anehnya, sejak hari itu, aku tidak pernah sakit lagi." Nala menarik napas. "Tetapi, orang-orang tidak mau berteman denganku. Katanya, aku membawa sial."

Mendengar itu, Orfeas nyaris tersedak. "Kesialan terjadi karena lingkaran karma, tidak ada hubungannya dengan seseorang!" Ia tertawa terbahak. Apakah makhluk dunia atas benar-benar sebodoh itu untuk tak mengerti hukum alam? Padahal, hukum alam dan karma diajarkan pada makhluk dunia bawah sejak dini.

"Aku tidak mengerti, tetapi, setiap orang yang berinteraksi denganku selalu saja sakit sesudahnya. Pengasuh-pengasuhku yang silih berganti, teman-temanku di sekolah. Aku tidak mengerti jika itu kebetulan atau bukan, tetapi, semua itu terasa tersambung." 

Orfeas memiringkan kepala. "Itu bisa jadi hanya sebuah kebetulan. Bisa juga sugesti."

"Bisa jadi," jawab Nala. Gadis itu menarik napas. "Hingga, aku bertemu Ray. Ia lucu, manis dan langsung mengajakku berteman. Dan seberapa kuat orang lain menyatakan bahwa aku terkutuk, Ray masih mau berteman denganku."

"Ia tidak takut?"

"Tidak." Nala menggelengkan kepala. "Ia malah berkata ingin membuktikan sendiri jika ia bisa saja mati hanya karena berteman denganku. Tetapi, sampai hari ini, ia belum mati. Ia juga jarang sakit."

"Berarti, semua itu hanya kebetulan, bukan?" Orfeas tertawa. "Buktinya, temanmu itu tidak mati!"

"Ya, bisa jadi. Aku juga tidak tahu." Nala menyendok sendokan sereal terakhirnya. Gadis itu kemudian berdiri ke arah bak cuci untuk membersihkan bekas makannya.

Orfeas di sisi lain memangku dagu. Ia memandang punggung Nala dari belakang. Satu hal yang ia pelajari tentang manusia di dunia atas adalah tidak ada dari mereka yang membawa kutukan. 

Manusia dunia atas itu memang membosankan. Tetapi, terkadang, mereka spesial di saat yang bersamaan. Sesuatu yang tidak bisa dideskripsikan Orfeas. Mungkin, itu yang menyebabkan pangeran satu itu sering sekali bolak-balik dunia bawah dan atas hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau berbaur dan menyamar.

Ting! Tong!

Suara bel dari depan rumah membuat nala menengok. Ia meletakan mangkok yang telah bersih ke rak pengeringan. Kakinya berlari ke arah salah satu kursi di meja makan, tangannya menyambar tas yang berada di atas sana. 

"Sebentar!" teriak Nala.

Orfeas melirik ke arah pintu. Ia yakin, lelaki bernama Ray itu berada di balik papan kayu bercat putih tersebut.

Orfeas mengikuti dari belakang sementara Nala membuka pintu. Benar saja, sosok lelaki berambut kecokelatan dengan jaket varsity merah tampak tersenyum sangat manis.

"Kamu sudah siap?" tanya Ray masih dengan senyum merekah.

"Y-ya, sudah." Sesaat, Nala melirik ke arah Orfeas yang berada di belakangnya. Berharap, Orfeas benar-benar tak terlihat dengan wujudnya itu. Tetapi, melihat Ray yang tak menunjukan gelagat aneh membuat Nala menghela napas lega.

"Kalau begitu, ayo jalan!"

Nala mengangguk pelan seraya menutup dan mengunci pintu. Gadis itu melihat Orfeas yang sudah mulai mengepakan sayapnya dan kini terbang di atas mereka.

"Apa yang sedang kamu lihat?" tanya Ray bingung sambil menyodorkan helm.

Nala buru-buru menggeleng. Ia mengambil helm dari tangan Ray dan mengenakan di kepalanya. Tak lama, Ray sudah mengendarai motornya menuju ke sekolah dengan Nala di boncengannya.

Nala masih memandang ke atas, menatap ke arah Orfeas yang terbang dengan jantung berdegup kencang. Ia menarik napas panjang. Semoga tak ada masalah dengan kehadiran Orfeas hari ini atau hari yang akan datang.

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang