24. Dia Di Sana

3.2K 353 17
                                    

Aku double up karena tau kalian gregetan hehehe

Tapi pas 10k gak double lagi ya.

Enjoy

*

Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun menangis di atas bebatuan dekat sungai. Air matanya terus mengucur sementara ia mengucek kedua bola mata kemerahannya itu. Isak terdengar memilukan. Tubuhnya penuh luka.

"Orfeas! Orfeas!" Teriakan seorang wanita membuat lelaki itu menengok.

"Ibu..."

Wanita yang adalah Beatrice itu buru-buru berlari ke arah putranya. Ia membelalak begitu melihat anaknya menangis tak karuan dengan luka di sekujur tubuhnya.

"Apa yang terjadi, Orfeas? Kamu menghilang dari sekolah dan tidak pulang ke rumah. Ini sudah hampir gelap!" omel Beatrice terlepas dari tangis si anak.

Orfeas diam. Ia menyedot ingusnya.

"Apa kamu bertengkar?" tanya Beatrice lagi.

Orfeas menggeleng. "Aku dipukuli."

"Apa?"

"Mereka mengataiku aneh. Mereka bilang, aku tidak punya ayah. Mereka bilang, mataku aneh. Aku pasti dikutuk." Orfeas histeris sambil menangis dengan berteriak. 

"Oh, Orfeasku yang malang." Beatrice buru-buru memeluk anaknya. Tubuh Orfeas bergetar menangis tak karuan. "Tidak, sayang. Orfeasku tidak pernah dikutuk."

Beatrice berlutut. Ia mengusap pipi Orfeas yang basah dan merapikan rambut anak itu.

"A-aku... aku mungkin dikutuk, Ibu." Orfeas menahan isaknya. "Kemarin, aku melihat aura biru dalam tubuh Leo menipis. Jadi, kukatakan padanya bahwa ia akan sakit atau meninggal. Dan setelahnya, Leo benar-benar sakit keras."

Mata Beatrice membelalak. "Apa?"

Sebagai seorang makhluk dunia bawah, Orfeas bisa melihat aura mahkluk di sekitarnya. Hitam untuk dunia bawah, biru untuk dunia atas. Semakin panjang umurnya, maka semakin nyata auranya. Tetapi, Beatrice tak pernah menjelaskan itu. Ia juga belum membuka mata dari Orfeas.

"Sejak kapan kamu tahu tentang aura biru itu?" Beatrice kini panik.

Orfeas diam. Ia merunduk. "Ashby yang mengajariku."

Beatrice menarik napas. "Akan kubunuh Ashby sekarang!"

"Ibu! Jangan!"

"Dia sudah gila!" Beatrice benar-benar marah.

Orfeas menahan ibunya. "Aku memang sudah bisa melihatnya sejak ulang tahunku yang ke enam, Ibu. Aku pikir, mataku bermasalah, sampai Ashby memberitahuku tentang aura-aura itu."

Beatrice menghela napas. Ia menatap Orfeas yang berwajah memelas. Melihat putranya seperti itu, hatinya cukup melunak.

"Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan menghajar Ashby." Beatrice menarik napas. Ia memegang pundak Orfeas. "Tetapi, berjanjilah pada ibu, jangan pernah sekalipun berbicara soal warna aura itu pada siapapun di sini. Paham?"

*****

Orfeas menatap Tuan Greystone dengan garang. Ia masih panik dan khawatir. Gadis kesayangannya tiba-tiba tergolek lemah begitu saja. denyut jantungnya menghilang, begitupula napasnya.

"Aku tidak membunuhnya," ucap Tuan Greystone cepat. "Anda yang bilang bahwa Nona Nala sudah meninggal dan jiwanya tak lebih dari permata merah yang bersarang, bukan?"

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang