20. Hari Pertama Orfeas

4K 365 15
                                    

Avaritia.

Mendengar nama negara yang bahkan tak pernah Nala ketahui sebelumnya, jantung gadis itu berdebar tak karuan. Nala kini duduk di atas kursi belajarnya. Ia memandangi Orfeas yang masih rebah dengan mata terpejam.

Orfeas membuka sebelah matanya. Ia lalu memutar tubuh untuk melihat Nala. Bibirnya menyungging senyum jahil.

"Apa aku segitu tampannya sampai kamu melihatku sepanjang waktu?"

Wajah Nala memerah. Ia seperti maling yang terpergok mencuri.

Orfeas terkekeh pelan. Ia bangkit dari rebahnya. Lelaki itu menepuk-nepuk tempat kosong yang berada di sebelah kirinya. "Ke sini."

Nala mengerutkan dahi. Tetapi, gadis itu tetap menurut. Ia duduk di sebelah Orfeas perlahan, menyandarkan tubuhnya pada dada lelaki itu sebelum Orfeas merangkulnya erat.

"Apa kamu takut?" bisik Orfeas tepat di telinga Nala.

Mata Nala membelalak. Sementara, Orfeas tersenyum puas. Tangan Orfeas bergerak ke arah pergelangan tangan Nala. Ia mengusap gelang Nala pelan.

"Gelang ini benar-benar ajaib. Aku pikir hanya mitos, tetapi, aku benar-benar terkoneksi denganmu." Orfeas mengeratkan pelukannya.

Nala hanya menggeleng kecil. Ia tertawa. "Apa kamu memanggilku hanya untuk ini?" tanyanya.

Orfeas lagi-lagi terkekeh. "Dan pelukan juga," jawabnya jahil. Ia mengecup kening Nala lagi. "Dan ciuman."

"ORFEAS!" Nala menjadi salah tingkah. Gadis itu menendang-nendang kecil sambil membenamkan wajahnya ke dalam pelukan Orfeas.

Orfeas kini tergelak keras-keras. Ia benar-benar selalu gemas melihat Nala yang tiba-tiba menjadi salah tingkah begitu. Gadis itu benar-benar imut.

"Dan, ada yang mau kuceritakan." 

Kali ini, atmosfir berubah. Orfeas berdebar. Ia menarik napas, menghela napas, lalu melakukannya berulang-ulang.

"Gugup?" tanya Nala.

Orfeas menggeleng. "Tidak," bohongnya.

Nala yang sedari tadi menekuk tangan kini melebarkan tangan lalu membalas pelukan Orfeas. "Kamu yang bilang bahwa gelang ini menghubungkan kita, bukan?"

Orfeas mendecih. Nala memang tak bisa dianggap remeh kalau perdebatan begini.

"Aku... pernah merasa takut ketika harus pergi ke Avaritia pertama kali."

Alis Nala menyatu. Ia tak mengerti pernyataan Orfeas. "Pertama kali?" tanyanya bingung.

Orfeas menggulingkan tubuhnya. Matanya kini menatap ke arah langit-langit kamar. Ia diam sejenak. "Aku tidak tahu itu pertama kali atau bukan, tetapi mungkin, secara sadar, aku pertama kali datang ke Avaritia ketika umurku dua puluh satu."

"Dua puluh satu?" Nala meninggikan nada. "Lalu sebelumnya, kamu berada di mana?"

"Dunia manusia," jawab Orfeas cepat.

"Apa?"

Orfeas tertawa kecil. Ia memandang Nala dengan sangat lembut. "Aku besar di dunia manusia. Seumur hidupku kuhabiskan di sini bersama ibuku."

"Ibumu... bukan ratu? Tunggu, bagaimana?" Nala tak mengerti. Ia benar-benar kebingungan.

"Avaritia punya sebuah peraturan gila. Anak-anak raja harus ditandingkan satu sama lain di arena pertandingan. Kami semua diadu sampai mati. Hingga tersisa satu orang saja yang jadi penerus tahta."

Mata Nala mengerjap tak percaya. Siapa yang membuat peraturan sekejam itu? Lebih daripada itu, apakah seorang Ayah rela ketika anaknya bertarung satu sama lain?

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang