26. As Red As Wine

3.5K 300 15
                                    

Selamat membaca semua

*****

Orfeas menghela napas keras. Ia tak bisa berpikir jernih. Lelaki itu memilih untuk bangun dari tidurnya. Setelah kejadian tadi, Nala dititipkan pada keluarga Greystone sementara Orfeas kembali ke kastilnya. Tetapi sial, ia sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan Nala.

Bukan. Bukan karena ia khawatir Nala akan bahaya jika berada di rumah Tuan Greystone. Ia hanya memikirkan banyak kemungkinan masa depan.

Ray pasti akan kembali. Orfeas tidak tahu kapan.

Si permata merah gila itu mungkin bisa saja menghasut Hector lewat mahkotanya. Dan, Nala yang cuma dilindungi permata kecil dari ibunya tak akan bisa mengalahkan Hector.

Orfeas berdiri. Ia berjalan ke arah pojok ruangannya. Di atas meja panjang, tampak sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak itu memanjang dengan ukuran hingga satu meter.

Lelaki itu membuka kotak itu pelan. Ia menemukan sebilah pedang di sana. Di dekat pegangannya, ada lubang permata lain yang belum terisi. Orfeas mengusap lubang itu perlahan. Lubang itu seharusnya diisi dengan permata yang besar. Serpihan terbesar yang kini ada di tubuh Nala.

Pedang raja. Sejatinya, pedang itu seharusnya milik raja. Seharusnya, Victor bisa mengalahkan Hector dengan pedang ini. Tetapi, ketika Hector menyerang, Victor tak mau menggunakan pedang itu sama sekali dan malah berhasil dibunuh.

Pedang itu dibawa Beatrice, dititipkan pada Tuan Greystone dan akhirnya diberikan pada Orfeas sekarang. Hector tak tahu di mana pedang itu. Lebih tepatnya, ia tidak pernah tahu keberadaan pedang tersebut. Itu bagus. Sangat bagus!

Masalahnya, tanpa permata, pedang itu tak lebih dari pedang biasa dan itu mungkin tak akan cukup untuk melawan Ray.

Lelaki itu menutup kotak pedang tersebut dan berjalan menjauh. Ia menatap bulan yang tampak dari jendelanya sambil mengulum bibir. Tak lama, lelaki itu sudah membuka jendela dan kabur ke langit.

Ia terbang hingga sampai di kediaman Tuan Greystone. Lelaki itu terbang berkeliling. Matanya memicing ketika menemukan jendela yang masih menyala dengan bayangan seorang gadis yang duduk dengan memeluk lutut di atas kasurnya.

Orfeas tersenyum pelan sambil turun perlahan ke arah jendela. Tangannya mengetuk jendela itu pelan.

Benar saja, tak lama, si gadis sudah turun dari ranjangnya. Ia berjalan ke arah jendela, membuka gorden dan membelalakan mata.

"Orfeas!" Ia nyaris memekik namun tertahan.

"Selamat malam, Nala." Orfeas tersenyum sambil mengibaskan tangannya. Tanpa menunggu Nala membuka, jendela itu sudah terbuka sendiri. Angin semilir musim semi masuk ke dalam ruangan. Sejuk dan menyegarkan.

"Sedang apa kamu di sini?" Nala tampak kaget.

Orfeas mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tidur." Ia berkata pelan. "Memikirkanmu." Tanpa menunggu Nala bertanya, Orfeas sudah berucap demikian.

Wajah Nala memerah dengan pipi yang menghangat. Ia memalingkan wajah. Kebiasaannya ketika salah tingkah.

"Ingin berjalan-jalan sebentar?" Orfeas mengulurkan tangannya.

"Selarut ini?" Mata Nala membelalak. "Apa tidak apa-apa?"

Orfeas mengangguk. "Ini bukan dunia manusia atas." Ia tersenyum lembut pada Nala. "Ayo!"

Dengan ragu, Nala menyambut uluran Orfeas. Tangannya langsung ditarik. Tubuhnya langsung masuk ke dalam dekapan lelaki itu. Kini, kaki Nala menggantung beberapa meter di atas permukaan tanah. 

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang