Dalam pelukan Orfeas, Nala terbang bersama dengan lelaki itu. Wajah Orfeas tampak mengeras dan sesuatu seperti terus mengganggu pikirannya. Di saat seperti itu, sayangnya, yang bisa Nala lakukan hanya memeluk Orfeas seerat yang ia bisa.
Dari atas, Nala bisa melihat asap yang mengepul di beberapa titik. Apakah ada pemberontakan? Atau penyerangan?
Tak lama, Orfeas dan Nala sudah sampai di depan kediaman Greystone. Dengan tidak sabar, Orfeas mengetuk pintu rumah tersebut.
Raia membukakan pintu dengan tergopoh. Wajahnya sedikit lega melihat Orfeas dan Nala di depan rumah.
"Di mana Ashby?" tanya Orfeas cepat.
"Ashby dan suamiku sudah duluan ke istana, Yang Mulia." Raia berkata dengan getar. "Sepertinya, ada orang yang berhasil menyusup dan merebut tongkat dengan tiga permata kecil tersisa yang berada di istana. Menurut ciri-cirinya, orang itu memiliki api biru yang tidak lain adalah keturunan Dominic."
"Ya, Ray." Orfeas berucap sambil mengepalkan tangan.
Nala memicingkan mata. "Ray?" Ia sedikit bingung. Sahabatnya itu? Apa hubungannya?
Orfeas menarik napas. "Aku pergi sekarang!" Ia berkata cepat. "Aku titip Nala, Nyonya Greystone. Apapun yang terjadi, kumohon, jangan sampai Ray menemukannya."
"Baik, Tuan. Kami pasti akan melindungi Nona Nala apapun yang terjadi." Raia berucap seperti sudah tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
Nala membelalak. "Ta-tapi, apa yang terja..." Belum selesai Nala berucap, Orfeas sudah terbang ke atas meninggalkan dirinya dan Raia berdua.
Raia menarik napas. Ia menatap Nala dengan lembut. Gadis itu pasti punya terlalu banyak pertanyaan untuk ditanyakan.
"Mari, Nona Nala." Raia merangkul gadis itu pelan sambil berjalan ke arah rumah.
Nala menghela napas. Ia mau tak mau menurut. Gadis itu masuk ke dalam rumah sambil duduk di atas sofa. Ia memandang sekeliling sejenak. Perasaannya tidak tenang. Apakah semua akan baik-baik saja?
Raia di sisi lain sudah menghilang ke dapur. Dari suara keramik yang beradu serta air panas yang meletup-letup, wanita itu sepertinya tengah membuat minuman. Benar saja, secangkir teh dibawanya dari dapur dan diletakan di meja kopi depan Nala.
"Kamu pasti kaget, ya?" Raia berucap sambil duduk di sofa lain.
Nala menggaruk belakang lehernya. Ia memang sudah mengetahui semuanya. Tentang Ray, tentang permata itu, semuanya. Tetapi, jantungnya tetap berdegup seperti orang gila ketika berbicara tentang keselamatan Orfeas.
"Orfeas adalah anak yang hebat. Aku rasa, ia bisa mengatasi semuanya dengan baik." Raia mengulum bibir. "Sebagai teman baik Beatrice, aku tahu betul bagaimana cara sahabatku itu mendidik putranya."
Nala diam. Ia hanya menarik napas.
"Minumlah dulu." Raia berucap pelan.
Nala mengangguk sambil memejamkan mata. Berharap semua yang baik terjadi.
Sementara, Orfeas terbang cepat ke arah istana. Asap mengepul terlihat. Korban-korban prajurit yang bergelimpangan tampak dari atas.
Lelaki itu mendarat di balai istana. Semuanya berantakan. Lalu, mata Orfeas menatap ke sekeliling. Ia melihat pintu artefak sudah hangus terbobol. Padahal, pintu itu dijaga ketat, juga dilengkapi dengan bahan yang tak mudah ditembus sembarangan bahkan oleh api sekalipun.
Orfeas berlari ke dalam. Tongkat kerajaan sudah tidak pada tempatnya. Ia mencelos ketika melihat sihir yang melindungi tongkat itu tak berfungsi. Jika Ray benar-benar bisa menembus, berarti artinya, kekuatan lelaki itu sangat amat besar untuk dikalahkan. Dan dengan tiga permata merah lainnya, kekuatan Ray benar-benar akan sulit tertembus.

KAMU SEDANG MEMBACA
AVARITIA
Fantasy//Rencananya up tiap hari// Follow dulu sebelum baca Hargai penulisnya dengan vote & comment yuk :)) ===== AKU HARUS MENIKAH DENGAN PANGERAN DUNIA BAWAH? *** Pada acara berkemah sekolah, Nala tak sengaja menemukan gelang emas berkilau di hutan pada...