10. First Day Gone Bad

6.9K 675 18
                                    

Hai semua! Apa kabar? Semoga baik. Ngomong-ngomong, buat yang bingung, kok itu sekolah ga seragam? Soalnya setting-nya ini US school gitu ya, mentemen. :D Jadi bukan sekolah di Indonesia. Maaci banyak!  Ngomong-ngomong, maaf karena mungkin terlalu lambat. Setelah ini, bakalan kebut, tapi aku nggak bisa mengabaikan detil-detil bagian ini.

Enjoy the part today! Oh ya, selamat 4k. Aku double up segera ya karena 4k hehe

*

Nala mendelik begitu mendengar kalimat yang dilontarkan Orfeas. Di hadapannya, tepat pada saat makan malam, lelaki itu merenggut sambil memajukan bibir.

"Ulang! Apa katamu?" Gadis itu tak habis pikir dengan tingkah Orfeas.

Orfeas menarik napas. Panjang sekali. "Aku bosan."

"Satu lagi!" seru Nala sambil mengangkat alis.

"Aku ingin masuk ke sekolahmu."

"Kamu benar-benar gila, hah?" Nala kini menghardik. 

Nala mengurut dada. Hari ini adalah hari pertama Nala bersekolah ditemani Orfeas. Dan jelas, lelaki itu membuntuti Nala ke mana pun. Bahkan, ia hampir membuntuti Nala ke toilet.

"Kami tidak punya kebutuhan toilet di sana," kilah Orfeas saat itu.

Dengkusan pasrah dilancarkan Nala belasan kali selama hari ini. Padahal, Orfeas tak kasat mata, tetapi, keberadaannya sudah merepotkan! Lelaki itu bertanya macam-macam, melakukan hal aneh dan seenaknya sendiri.

Seperti pagi tadi, contohnya. Nala bersyukur karena Orfeas mengeringkan bukunya. Tetapi, tingkah Orfeas untuk menghilangkan pekerjaan rumah Sara dan Eva terasa berlebihan. Wajah dua perempuan itu pucat pasi secara tiba-tiba dan mereka berakhir dengan dipanggil ke ruang kepala sekolah.

Dan kini, Orfeas meminta untuk datang ke sekolah dalam wujud terlihat? Lelaki itu gila atau bagaimana sih?

Nala menggeleng pelan. "Tidak, Orfeas."

"Oh, ayolah, Nala. Kumohon!" Kini, lelaki bersayap hitam itu memajukan bibir. "Aku benar-benar bosan karena tidak bisa mengobrol dengan siapapun."

"Tidak! Kamu cuma akan membuat kekacauan."

"Aku janji tidak akan membuat kekacauan." Orfeas kembali memohon.

Nala menyuap suapan makan malam terakhirnya sambil melirik ke arah Orfeas. "Lagipula, jika kamu ingin menyusup ke sekolahku, semua orang akan curiga dan..."

"Tidak akan ada yang curiga," potong Orfeas cepat. Lelaki itu mengangkat bahu. Ia bertingkah seolah-olah semua beres di tangannya.

Nala hanya bisa menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan sebelum meletakan piring di bak cuci. "Kamu pasti akan menggunakan sihirmu itu lagi!" tuduh Nala cepat seraya mengambil sarung tangan karet dan mencuci piring bekas makannya.

Tak ada jawaban. Nala sudah tahu tanpa perlu Orfeas jawab.

"Aku bisa memanipulasi keberadaanku. Membuat seolah-olah aku sudah bersekolah lama di sana. Apa yang harus aku tanamkan pada pikiran orang-orang itu? Apakah dengan membuat realita seolah-olah aku anak berbakat dalam olahraga dan digandrungi wanita? Kurasa, itu menarik!"

Kalimat itu membuat Nala mual. Nala akui, dalam wujud manusianya, Orfeas bisa jadi lelaki yang dipuja-puja wanita. Tubuh atletis, rahang yang tegas dan kulit putihnya memang sangat menonjol bahkan tanpa harus mengalterisasi realita. 

"Atau kamu berpikir, tanpa mengubah realita pun, mereka sudah akan tergila-gila padaku?" goda Orfeas dengan senyum mengembang.

Nala menggeleng cepat. Mengenyahkan pikirannya tadi. "Jangan gila, Orfeas!"

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang