12. The Desire

5.6K 510 15
                                    

Happy 5k. Terima kasih sudah sayang dan baca Avaritia. Ini aku double up.

Harusnya yang tadi itu double up nya kemarin. Cuma, hehehe... enjoy!

*

Bunyi derap kaki berlari di dalam hutan terdengar begitu cepat. Seseorang terengah-engah sambil terus berlari. Ia menatap ke belakang sesekali. Sosok itu begitu nyata. Bersayap hitam dan terbang dengan cepat. Dalam beberapa detik lagi, sosok itu pasti menangkapnya.

Apa yang ia mau? Membunuhnya? Memakannya hidup-hidup?

Si pelari itu memejamkan matanya sambil menghitung dalam hati. Tiga. Dua. Satu. 

"ARGH!" Suara teriakan menggema.

Tepat ketika teriakan itu, semua realita terasa berubah. Mata orang itu terbuka, menghadapkannya dengan ruang tamu dengan pencahayaan remang di abad dua puluh satu. Ia mengambil napas panjang-panjang. Bulir peluh menghias pelipisinya. 

Jam berapa sekarang? Ia melirik ke arah bulan yang mulai terbenam. Sepertinya. jam dua atau tiga pagi.

Mimpi itu lagi. Kejadian itu lagi. Sudah ratusan bahkan ribuan tahun berlalu, kenapa ia masih terbayang saja?

Lelaki itu melirik ke belakang. Ke arah sayap yang kini tumbuh di punggungnya, sama seperti lelaki yang mengejarnya dulu.

Brak! Suara pintu terbuka mengagetkan secara tiba-tiba disusul lampu yang menyala. Nala keluar dari kamar. Ia tampak panik. "Kenapa kamu berteriak-teriak begitu, Orfeas?!"

Orfeas yang masih mengatur napas hanya bisa menggeleng pelan. "Tidak, bukan apa-apa. Maaf. Apakah aku membangunkanmu?"

Nala mengangguk. "Menurutmu?" Ia diam sejenak. Kaki perempuan itu berjalan ke arah Orfeas. Matanya memerhatikan Orfeas dengan saksama. "Kamu... bermimpi buruk?"

Orfeas mengulum bibir, terlalu gengsi untuk mengakui.

"Perlu kutemani?" tanya Nala lagi. "Apa kamu bisa tidur lagi?"

Orfeas mengangguk. "Kembalilah tidur, Nala." Ia berkata sambil mengibaskan tangannya. "Aku akan baik-baik saja."

Nala menarik napas. Ia kemudian mengangguk pelan sebelum masuk ke dalam kamar. 

Di luar ruangan, orfeas diam. Ia tak bisa tidur lagi. Lelaki itu duduk diam di atas sofa dengan lutut tertekuk. Ia memandang gelang di pergelangan tangannya. Batu merah kecil itu adalah satu dari sekian batu merah yang dilindungi keluarga ibunya. Beribu tahun ia berusaha mencari batu merah utama. Berharap ia bisa meneruskan apa yang sang ibu kerjakan.

Hasilnya jelas nihil. Ia tak bisa mendapatkan informasi apapun. Malah, posisinya kini menjauhkan dirinya dari informasi tersebut.

Terjaga semalaman membuat Orfeas mau tak mau mencari kegiatan. Lelaki itu melirik ke arah mentari yang mulai terbit. Ia berjalan ke arah lemari pendingin. Tangannya membuka lemari pendingin, menemukan beberapa bahan masakan di sana.

Tak lama, ia sudah sibuk dengan kegiatan di dapur. Dulu sekali, ia pernah melihat ibunya memasak. Kadang, Orfeas suka diam-diam ke dunia atas, memanipulasi realita, menyamar jadi seseorang di dapur sebuah restoran. Ia beberapa kali merhatikan Nala menggunakan kompor, sepertinya, itu sudah lebih dari cukup.

Kompor mulai menyala. Orfeas memasak masakannya. Wangi itu membangunkan Nala. Kali ini, Nala bangun di saat yang tepat.

Gadis itu berdiri kaget di ambang pintu dapur. Memandangi Orfeas dengan pandangan kaget. "Kamu memasak?"

"Kamu sudah bangun?" tanya Orfeas balik. Lelaki itu meletakan dua piring cekung dengan cairan berwarna merah. Beberapa bola daging tampak mengambang di atasnya. "Kuharap kamu tidak marah karena aku memakai bahan makanan dari lemari esmu."

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang