22. Bisikan

3.6K 352 13
                                    

Fase 2 ini memang kayak inti ceritanya jadi aku nyaman banget nulis ini. Hehehe

Enjoy

*****

Kamu menginginkanku, bukan?

Kalimat itu mengganggu telinga Orfeas dari setadi. Berdengung tanpa henti dan nyaris membuat lelaki itu gila.

Apa yang kamu inginkan?  Kalimat itu lewat lagi di telinga Orfeas. Bisikan itu aneh. Rasanya terdengar seperti suara hatinya sendiri.

Sebenarnya, bisikan aneh itu sudah sering berdengung lama sekali. Pertama kali ia mendengar bisikan itu adalah ketika usianya dua puluh satu. Ketika gelang itu terpasang di tangannya.

Bunuh! Bunuh mereka semua! Kamu ingin menang, bukan? Kamu tidak ingin mati, bukan? Kamu ingin membalas dendam ibumu, bukan?  

Kurang lebih, itu bisikannya ketika ia berada di arena. Orfeas punya pilihan. Ia bisa menolak. Tetapi, hari itu, bisikan itu lebih kuat. Pada akhirnya, ketika ia menyerahkan tubuhnya untuk dikendalikan oleh bisikan tanpa tubuh itu, secara otomatis, ia seperti orang lain yang tak sadarkan diri. Dan tiba-tiba saja, semua musuhnya sudah mati menggenaskan karena lidah api yang dikeluarkan.

Bisikan itu hilang seiring waktu. Ia hanya mendengar sesekali.  Kamu tak ingin mencariku? Kamu tidak ingin memilikiku? Aku bisa melakukan apapun untukmu.

Orfeas baru tahu kemudian, permata merah itu selalu mencari keinginan terdalam orang-orang. Itu yang terjadi ketika perang saudara pertama terjadi. Itu juga yang mungkin terjadi ketika Hector membunuh Victor, ayah dari Orfeas.

Sejak saat itu, Orfeas berusaha keras untuk tidak terpengaruh. Ia melatih dirinya sendiri. Bermeditasi, mencoba segala cara agar keserakahan tidak menguasainya. Beratus-ratus tahun, ia membangun tembok itu. Ia berhasil untuk menghilangkan bisikan itu sepenuhnya.

Tetapi, bisikan itu tiba-tiba terjadi lagi. Tepat ketika ia bertemu Nala untuk pertama kalinya.

Potong saja tangannya. Anak itu pasti berbohong. Kalian ditipu!

Dan sialnya, Orfeas nyaris mengikuti bisikan itu. Kalau ia tak sadar, kalau energi permata merah di gelang Nala tak melawan, ia tak tahu apa yang terjadi.

Bersama Nala, bisikan permata merah itu semakin keras. Berdengung semakin lama semakin intens. Tak hanya bisikan, mimpi buruk mulai bertubi-tubi menghampiri. Satu per satu, seperti sebuah siksaan untuk Orfeas.

Orfeas memang merasakan ada yang janggal. Ditambah dengan Ashby yang memberitahukan bahwa kemungkinan permata merah paling besar ada di rumah Nala membuat Orfeas berpikir, itu bisa saja terjadi. 

Bunuh saja anak itu. Begitu kurang lebih bisikannya. 

Mungkin, berbekal dari rasa ingin melindungi moralnya sendiri juga melindungi Nala dari kegilaan Orfeas akan bisikan permata merah, pangeran dunia bawah itu malah jadi jatuh cinta dengan Nala.

Cinta. Setidaknya, perasaan yang muncul itu bisa membendung bisikan yang terdengar di telinganya. Tetapi, tidak dengan beberapa jam terakhir. Karena kini, bisikan itu muncul lagi. 

Bunuh saja. Jadi kamu bisa mendapatkanku, kan?

Kalimat itu terdengar terus menerus di rumah Nala. Sehingga, Orfeas pikir, akan lebih baik jika Nala dibawa ke Avaritia. Tetapi, bisikan itu malah semakin sering ia dengar. Semakin kuat dan semakin kuat.

Seketika, Orfeas berpikir, apakah memang apa yang dikatakan Ray benar? Apakah Nala benar-benar bukan manusia lagi? Apakah ia sudah lama meninggal? Apakah yang berada di dalam tubuhnya adalah permata merah?

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang