14. Penolakan

4.5K 419 4
                                    

Ngaku dosa dulu. Sebenarnya aku ada salah tulis bab. Adegan flashback kemarin tuh salah bab (biarpun nggak yang gimana banget sih). Wattpadku kemarin error, nggak sync hp sama komputer dan pas malam, aku main upload yang ternyata bab lama. Maafin! :( Aku berusaha memperbaiki di bab ini biar logikanya jelas ya. Sekali lagi, maaf.

*

"NALA!"

Teriakan dari ujung lorong membuat gadis yang tengah berjalan dengan buku besar terpeluk menengok ke belakang. Seorang laki-laki berjaket hijau berjalan ke arahnya. Ia tersenyum manis seperti biasanya. Rambut kecokelatan yang rapi dan pakaian yang necis membuat siapapun bisa langsung jatuh hati. Sebuah tas selempang besar yang  Nala yakin berisikan peralatan olahraga tersampir di pundak.

"Ray?" Nala memanggil bingung ketika laki-laki itu dengan sedikit terengah berdiri tepat beberapa puluh sentimeter di depannya. "Bukannya kamu ada latihan sepak bola? Besok pertandingan penting, bukan?"

Ray cengengesan. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya, sebentar lagi. Kamu ingin menonton?"

Nala diam. Bohong kalau ia tidak ingin menonton Ray berlatih. Menyoraki lelaki itu sama seperti perempuan lain yang menyoraki para pemain lainnya.

"Ah, aku ke sini untuk mengajakmu pergi besok." Ray menunduk malu-malu. Rona merah tampak dari pipinya. "Mungkin, jika kamu belum ada janji kencan."

"Kencan?"

Ray mengulum bibir sejenak. "Besok hari Valentine, jika kamu lupa."

"Ah," respon Nala singkat. Ia belum ada rencana apapun. 

Lagipula, siapa juga yang mau mengajaknya kencan?

"Besok, aku tidak akan ada di sekolah. Aku yakin, kamu pasti tahu itu." Ray terlihat berpikir sejenak. "Aku akan ke rumahmu sore setelah pertandingan. Mungkin, bukan kencan yang mewah. Uang sakuku tak akan cukup mengajakmu makan di restoran bintang lima. Tetapi, aku bisa janjikan, kencan ini akan menyenangkan."

Jantung Nala berdebar tak karuan. Kalimat yang dituturkan Ray tampak tulus. Dan sejatinya, ajakan kencan tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Mungkin, Ray pernah beberapa kali mengajaknya pergi. Tetapi, tidak seperti ini. Ia hanya menjemput Nala tiba-tiba, mengajaknya ke perpustakaan atau toko musik, hanya itu. Tidak lebih. 

"Itu..."

Belum selesai Nala berucap, suara panggilan ponsel terdengar. Ray merogoh sakunya, menatap ke arah ponsel pintarnya sejenak.

"Pelatih Andrew," terang Ray cepat.

"Dia pasti mencarimu."

"Y-ya..." Ray memiring-miringkan kepalanya. "Kalau begitu aku duluan, ya? Kabari jawabanmu segera, oke?" Lelaki itu mengulurkan tangannya, mengacak rambut Nala pelan sebelum pergi ke arah lain.

Nala menghela napas pelan. Harus ia jawab apa ajakan Ray tadi?

"Melamun?" Kalimat itu membuyarkan Nala. 

Kini, di belakangnya, seorang lelaki berambut hitam dengan bola mata merah berdiri. Kontras dengan Ray, lelaki itu tampak sedikit urakan. Aura anak lelaki yang nakal tampak mencuat ke mana-mana.

"Tidak, bukan apa-apa." Nala menggeleng. Gadis itu berjalan ke arah lorong loker. Orfeas mengikutinya. Ia selalu seperti itu.

Gadis itu menimang-nimang sejenak. Ia masih ingin menonton latihan Ray. Tetapi, ia tidak mungkin mengajak Orfeas bersamanya. Pasti akan canggung!

"Apa yang kamu akan lakukan setelah ini?" Kalimat itu membuat Nala terlonjak.

"Entahlah! Aku berencana menonton Ray berlatih. Tetapi, mungkin dari jauh. Tetapi..." Nala berpikir sejenak. "Ah, entah lah!"

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang