3. Aku Tidak Gila

8.7K 769 18
                                    

Hai! Oke, kita up setiap hari ya! Kalo rame aku up tiap hari terus, kalo nggak rame, entar aku mandek mandek hahaha nggak tau ya, tapi setiap kali ceritaku sepi, aku suka jadi nggak mood ngerjain gitu. hiks

****

Nala mengerjapkan mata perlahan. Sosok pertama yang dilihatnya adalah Ray. Lelaki itu berada di sebelah tempat tidurnya. Selanjutnya, Nala mulai meneliti ke sekitar. Gorden putih, kasur brankar dan wangi obat tercium amat tajam. Di mana ia sekarang sebenarnya?

Ray tampak begitu khawatir. Wajahnya berkerut-kerut dengan pandangan panik. Nala mengenal Ray sejak duduk di sekolah menengah pertama. Persahabatan karena kesukaan akan musik yang sama mengalir setelahnya. Jika ditanya, tak ada bayangan sedikit pun untuk Nala menjadi kekasih Ray. Bukannya apa, rasanya, aneh saja.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Ray begitu melihat Nala siuman.

Nala mengangguk. "Aku di mana? Apa yang terjadi?"

Helaan napas terdengar. Ray memiringkan kepalanya bingung. "Aku yang harusnya bertanya padamu, Nala." Ia menarik napas lagi. "Aku menemukanmu di tengah hutan ketika tengah patroli. Lalu, kamu pingsan begitu saja dan aku membawamu ke rumah sakit terdekat. Bukankah itu sudah lewat jam malam?"

Nala diam. Bayangan dan refleksi memori mulai hingga perlahan. Malam itu, ia ingat tentang Eva dan Sara yang membawanya ke hutan. Apakah ia harus mengatakan hal itu pada Ray?

Kepala Nala menggeleng kecil. Ia dengar, Sara menyukai Ray. Jika menyatakan hal itu, Ray bisa marah pada Sara dan Eva, bukan?

"Jadi, apa yang kamu lakukan di sana?" tanya Ray ulang.

Nala menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin berjalan-jalan lalu tersesat," bohongnya. Ia diam sebentar. "Lalu..." Tiba-tiba, ia tersadar akan gelang yang ia temukan. Gadis itu memegang tangannya sendiri. 

Nala membelalak. Gelang itu masih ada di sana.

"Nala? Ada sesuatu yang salah?" Ray tampak kebingungan.

Nala mengulurkan tangannya. "I-ini, aku menemukan gelang ini. Tetapi, gelang ini sekarang tak bisa terlepas."

Wajah Ray tampak bingung. Dahinya berkerut. "Gelang apa?"

"Ini, dipergelangan tanganku. Apa kamu bisa membantuku? Aku harus mengembalikannya ke pengaduan barang hilang." Nala memegang gelang yang terpasang.

Ray terlihat semakin tidak mengerti. Sebagai gantinya, ia memegang kening Nala. Memastikan gadis itu tidak panas atau berhalusinasi.

"Aku serius, Ray!" Tangan Nala menepis Ray. "Kamu benar-benar tidak melihatnya?"

Ray menggeleng. "Sama sekali tidak, Nala." Ia berkata dengan desah tertahan. "Apa kamu benar baik-baik saja?"

Nala mendecih kecil. Ia tak mengerti, kepalanya sudah tidak waras atau bagaimana. Belum sempat ia mengeluarkan kata-kata, seorang perawat tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Dengan sigap, perawat itu memeriksa tubuh Nala, sementara Ray berdiri di samping, memastikan semuanya baik-baik saja.

"Nona William sudah boleh pulang. Sepertinya, ia hanya kelelahan semalam," ucap perawat itu pada Ray. 

Ray mengangguk kecil. "Kalau begitu, di mana saya bisa mengurus administrasinya?"

"Di sebelah sini," ucap si perawat itu lagi membuka pintu.

Ray menengok ke arah Nala sejenak. Ia seolah berpamitan sebentar sebelum mengikuti perawat tersebut.

Kini, Nala lagi-lagi sendiri. Ia menerawang. Lagi-lagi, tangannya terulur di depan wajah. Gelang itu masih ada dan bertengger manis di tangan kanannya. Gelang itu begitu indah dan menawan. Tetapi, kenapa Ray bahkan tak bisa melihatnya?

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang