9. Te Videre Possum

7K 719 32
                                    

Nala melirik-lirik cemas seraya berjalan di lorong menuju kelas. Orfeas masih berada di sebelahnya. Dan rasa canggung masih menyelimutinya. Gadis itu masih takut. Bagaimana jika teman-temannya bisa melihat Orfeas? Walaupun, tadi, Ray sama sekali tak bereaksi apapun. Selain itu, sepertinya, tak ada yang berubah dari ekspresi orang-orang yang lewat.

"Kamu akan pergi ke mana?" tanya Orfeas tiba-tiba.

Nala menengok. Ia nyaris jantungan ketika Orfeas tiba-tiba membuka mulut. Lagi-lagi, ia memasang wajah khawatir.

"Tenang saja, tidak ada yang bisa mendengarku." Orfeas mengangkat bahu. Ia melirik ke arah lain sejenak. "Lelaki tadi tidak mengantarmu ke kelas?"

Setelah berjalan melewati gerbang sekolah, Ray dan Nala berpisah di persimpangan lorong. Dan kini, Nala berjalan sendiri.

"Ia harus pergi mengurus klub sepakbola sebentar," bisik Nala. Ia takut dianggap orang gila karena berbicara sendiri.

"Begitukah?" Orfeas memiringkan kepala. "Apa itu sepakbola?"

Nala menghela napas. Ia bingung cara menjelaskan hal-hal seperti ini pada Orfeas. Seolah-olah, Orfeas adalah anak bayi yang harus diajari macam-macam.

Tawa kecil tiba-tiba terdengar dari lelaki bersayap hitam itu. "Aku tahu apa itu sepak bola!" Ia tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Aku sering mengawasi dunia atas."

Mendengar itu, Nala melirik kesal.

"Aku serius!" Orfeas berkata lagi. Nadanya seperti ingin meyakinkan Nala.

Nala hanya bisa menarik napas mendengar kalimat Orfeas. Ia masih tidak mengerti dengan pangeran satu itu sama sekali.

"Tetapi, anak lelaki itu seperti itu ingin jadi apa? Pemain dunia? Sepertinya kemampuan pacarmu tadi masih payah," sindir Orfeas.

Mata Nala membulat. "Apa katamu!?"

"Memang begitu, bukan? Kalau ia hebat, pasti a masuk ke dalam daftar pemain di bawah usia 21 tahun atau 16 tahun sejak lama." Orfeas semakin memanasi.

"Tahu dari mana kamu tentang hal seperti itu?"

"Sudah kubilang, aku sudah hidup sangat lama!" Orfeas tertawa. "Dan aku sering bermain-main ke dunia atas."

"Ya, ya, ya!" Nala hanya berdecak kesal seraya berjalan masuk ke dalam kelasnya.

Mata Nala melihat ke sekitar. Ia berusaha berjalan senormal mungkin.

Nala meletakan tasnya di atas meja. Sebuah tempat di ujung kelas. Ia masih melirik Orfeas yang berdiri mematung di sana.

"Meja sebelahku kosong," bisik Nala pelan. Gadis itu menunjuk ke arah meja sebelahnya tepat bersisian dengan jendela.

Orfeas mengerutkan dahi. Ia terlihat mencerna perkataan Nala sebelum, "Oh!" Lelaki itu manggut-manggut. "Kamu ingin aku duduk di sebelahmu?"

Nala memegangi kepalanya. Harus di mana lagi Orfeas duduk? Lagipula, ia sedikit merasa aneh melihat Orfeas sedari tadi dilewati banyak orang yang tembus begitu saja.

Orfeas meletakan tubuhnya di kursi tepat di sebelah Nala. Lelaki itu memangku dagu sambil memandang ke arah jendela yang menghadap ke lapangan. Sejenak ia melirik ke arah Nala. Gadis itu kembali menarik buku dari tas lalu membaca kumpulan kertas itu dalam diam.

"Kamu tidak duduk bersama temanmu tadi itu?" tanya Orfeas.

Nala menengok sejenak sebelum menggeleng kecil. "Tidak," jawabnya sepelan mungkin. "Ray duduk di sana, bersama teman-temannya yang lain sesama anggota klub sepakbola."

"Oh," jawab Orfeas enteng. "Kupikir, ia benar-benar temanmu."

Nala diam sejenak. Ia terlihat sedikit murung. Tarikan napas terdengar dari hidungnya. "Aku yang memintanya menjauh."

AVARITIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang