Pengumuman Hasil Akhir

174 5 0
                                        

Ayaz sampai rumahnya tepat saat Adzan Ashar berkumandang, duduk sebentar di ranjang kasur kamarnya, ia memutar ulang interaksinya dengan Zara.

"Selamat pagi Ayaz!!!"

Paginya setiap masuk kawasan sekolah, pasti suara Zara yang pertama terdengar sambil menbawa kotak bekal yang isinya berbeda setiap hari dan senyum manis nan indan terpancar.

"Tapi gue benci sama dia."

Mana mungkin ia menjilat ludahnya sendiri. Bisa diketawain Ucup abis-abisan kalo kayak gini. Tapi,

"Eh iya, lupa. Nih tadi gue beliin permen karet. Katanya kalo belajar sambil ngunyah permen karet, bakalan cepet inget lho, Yaz."

Usaha dan Aksi itu, bagaimana bisa seorang gadis bertindak seperti Zara.

"Yaz, Yaz. Mungkin gak sih, kalo kita itu sebenarnya jodoh. Coba deh flasback ke masa lalu, kita lumayan sering banget lho di pasangin buat belajar bareng gini."

"Kelas 10 kita jadi pasangan Ekonomi, kelas 11 jadi pasangan Bahasa Indonesia, bulan lalu jadi pasangan Matematika."

"Emm... Mungkin beberapa tahun lagi, kita dipasangkan menjadi manusia yang saling melengkapi satu sama lain dalam sebuah ikatan."

Segala ucapan yang dilontarkan oleh bibir gadis itu dulu, membuat bibir ayaz berkedut saat mengingatnya. Ia pun menyunggingkan senyum.

"Lo bisa diem gak?!"

Sampai satu kata itu, membuat ia lebih mengetahui Zara sepenuhnya. Zara yang sering terlihat sangat ceria dan bahkan tidak pernah murung, ternyata ia adalah seorang gadis kecil yang ditinggal kedua orang tuanya meninggal dunia.

Ia tidak pernah tau kalau Zara merupakan seorang gadis yang kurang kesayangan kedua orang tua. Yang ia tahu sekarang hanyalah, Zara tinggal bersama adik dari pihak Ibunya. Ia juga tau kalau Zara merupakan anak tunggal, hanya itu.

Semakin banyak interaksinya dengan Zara, semakin tinggi juga rasa ingin taunya tentang Zara.

Apakah ini bisa dikatakan kalau ia menyukai Zara?

Rasanya juga Ayaz selalu senang berada did dekat Zara, mendengar celotehan bahkan keluh-kesah yang selalu terlontar tanpa disuruh, rasanya sangat menyenangkan.

Menjadi orang penting dalam hidup Zara, apa juga akan se-menyenangkan ini?

"Anjing! Malah mikirin dia." Mengacak rambutnya, Ayaz sudah pernah memikirkan ini dan berakhir buntu.

Rasa tidak suka saat Zara hanya latihan dengan teman kelas pun, membuatnya ingin segera memisahkan mereka saat itu, padahal sedang latihan upacara bendera bagian kelas Zara.

Mungkin saat perpisahaan sekolah ia akan segera mengambil keputusan tentang ini agar dirinya tidak uring-uringan lagi. Entah itu mengakhirinya atau kembali memulai dari awal?

Masih ada waktu 2 minggu lagi.

Sampai Ayaz tidak menyadarinya, kalau waktu itu berjalan sangat cepat. Baru saja ia Overthinking malam-malam sehabis mengantarkan Zara pulang, tak terasa sekarang sudah berada di hari pengumuman hasil Ujian terakhir.

Dari jarak 3 meter, Ayaz melihat Zara bersama temannya yang berjinjit guna melihat mading dimana sudah tertempel kertas yang berisi peringkat di angkatan tahun ini, yakin kelas 12 sekarang.

Mendekati mading, telinganya mendengar samar gerutuan Zara karena tidak bisa melihat dan tidak ada yang mau ngalah bergantian.

"Ish, nama gue mana, gak keliatan ih!"

"Sama, Zar! Gue juga kaga keliatan! Ni badan pada gede-gede amat sih!"

"Woi udah!!! Gantian dong elah!!! Gue juga mau liat peringkat gue anjir!!!"

"Yang udah ngeliat geser dong! Kasian nih gue dari tadi berdiri jinjit!"

"Anjing lah! Pada gak mau ngalah."

"Peringkat 39." Dapat dilihat secara langsung keterkejutan Zara dan Wawa yang langsung berputar menjadi menghadap arahnya.

"Siapa Yaz?! Gue? Atau Zara?!"

"Lo." Tak berselang lama, lengan bajunya kini ditarik pelan Zara.

"Kalo gue, kalo gue Yaz!"

"Hmm." Kedua matanya bergulir dari kertas bagian bawah ke atas.

"ANJIR!!! 29 COK!"

"Siapa Cup! Siapa?!" Ucup yang baru datang dan langsung menyerobot itu, masih berdiri tegang, matanya membulat dan mulutnya terbuka.

"Lo! Hoki banget lo, anjir!" Telunjuknya mengarah pada Zara, sedangkan Ayaz pun ikut kaget. Masa iya sih. Meneliti kembali tapi kali ini dari atas ke bawah, Ayaz percaya setelah melihat sendiri.

"Ah gausah boong lo, Cup. Jangan bikin anak orang mendadak Overthinking nanti, lo juga Yaz. Gausah ikutan Ucup dah, gak lucu kalo boong."

Wawa berusaha bersikap biasa, ia takut kalau ternyata dibohongi dan saat meihat secara langsung, malah membuatnya dan Zara malah nangis tersedu-sedu.

"Dia bener."

"SERIUS?! DEMI APA?! COBA MINGGIR!!! GUE MAU LIAT SENDIRI!" Tubuh kecil Wawa menerobos paksa gerombolan murid yang masih berdiri.

"Zara! Lo beneran ada di urutan ke 29 dari 300 murid!" Wawa menggoyang-goyangkan bahu Zara yang sedari tadi diam, mata berbinar dengan genangan air yang siap kapan saja jatuh itu menyipit, membiarkan butiran air mata terjatuh.

Zara tersenyum, "Wa, gue bisa ke ITB. Gue yakin, Wa."

"Iya lo pasti bisa! Gue percaya sama lo. Usaha lo selama ini membuahkan hasil, jangan putus buat berusaha kaya gini, Zar." Sedangkan Zara hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Wawa yang selama ini telah berusaha keras juga sepertinya.

"Kantin yuk! Gue beliin mie ayam pangsit, double sayuran." Ajak Wawa, melihat Ayaz dan Ucup juga.

"Asik, ditraktir juga nih gue?" Ucup menyenggol bahu Wawa di sampingnya, karena saking merasa senangnya, Ayaz dan Ucup pun akan ikut ditraktir Wawa.

Memang kebahagiaan itu bisa datang dimana saja dan kapanpun. Hanya karena melihat hasil akhir dari kerasnya Zara berusaha, satu orang bahkan bisa membuat banyak orang ikut merasakan senang.

Bukan karena akan ditraktir mie ayam, tapi karena melihat orang yang kita sayangi seperti keluarga sendiri tersenyum bahagia, ity bisa menularkan ke semua orang disekitar mereka.

Lihat saja Ayaz, dia bisa mengembangkan senyum tanpa paksaan. Melihat Zara senang, ia pun ikut senang juga.

Tak melepaskan pandangan matanya dari gadis yang sudah duduk di depannya ini, Ayaz sudah mulai yakin kalau ia telah menjilat ludahnya sendiri terserah akan diledek Ucup habis-habisan, nyatanya ia ikut senang saat Zara senang.

mungkin Ayaz harus segera menyatakan perasaanya sebelum mereka benar-benar berpisah tanpa memulai kisah baru.

Agar tidak menyesal juga.

Tapi kapan moment yang tepat?














Physical Touch [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang