Calvin tidak memiliki tujuan toko alat musik yang jelas sehingga mereka berakhir menjelajahi Jakarta untuk mencari senar yang Calvin mau. Merek senar gitar akustik yang Calvin gunakan merupakan merek langka – biasanya dia membeli online, tapi stock-nya sedang habis di toko langganannya dan dia butuh cepat. Karena Winna juga tidak memiliki kesibukan, jadi dia menemani Calvin seharian itu.
Setelah mengunjungi beberapa toko alat musik, di perhentian terakhir, akhirnya Calvin menemukan senar yang dia cari. Toko alat musik itu juga lengkap – selain mereka menjual berbagai macam alat musik, mereka juga menyediakan pilihan merek yang beragam.
Selagi menunggu senar gitar Calvin dipasangkan, Winna keliling toko untuk melihat-lihat alat musik yang dipajang. Area yang dikunjunginya pertama adalah piano. Entah setiap kali Winna melihat piano menganggur, jemari Winna akan langsung menekan-nekan tuts piano tersebut untuk mendengarkan tone dari suara yang dihasilkan instrumen tersebut. Setelah jarinya beradaptasi dengan tuts piano tersebut, baru Winna mengambil tempat duduk dan memainkan lagu yang sudah ia hafal di luar kepala.
"Ini Kiss the Rain-nya Yiruma, ya?" Tebak Calvin begitu menghampirinya.
Kehadiran Calvin membuat Winna menghentikan permainannya, "Iya."
"Kok berhenti? Lanjutin dong! Gue mau denger sampai habis."
"Gak hafal kelanjutannya," kata Winna tidak sepenuhnya bohong. "Lagian, lagunya cuman diulang-ulang aja, kok."
"Tapi pas lo mainin bagus. Dapet gitu feel-nya," puji Calvin. "Lo belajar main piano dari umur berapa, Win? Biasanya emak-emak suka ngelesin anaknya piano pas kecil. Nyokap gue enggak sih tapi."
"Gue juga nggak dilesin, Vin. Cuman pas SMP, gue suka niru temen gue main."
"Wah, otodidak dong lo? Gila, jago."
"Haha. It's nothing special, kok. Gue juga cuman bisa main beberapa lagu doang. Kata temen gue yang pianist, form jari gue masih jelek malah karena gak bulet."
"Tetep keren, ah. Musik kan didenger, nggak dilihatin bentuk jari lo," kata Calvin menyepelekan. "Bisa main lagu apa lagi, Win? Duet apa kita? Tapi gue main gitar karena gue bisanya itu."
"Apa lagi, ya? River Flows in You... Canon in D..."
"Canon aja, Canon! Tapi gue maininnya versi rock." Calvin lalu memanggil mas-mas yang bertugas menjaga toko, "Mas! Ada gitar listrik nganggur yang bisa saya pinjem, gak? Sama amplifier saya pinjem sekalian, ya!"
Pramuniaga itu lantas membawakan kedua barang permintaan Calvin. Sepertinya karena mereka adalah satu-satunya pelanggan yang sedang berkunjung, jadi mereka diperbolehkan untuk mencoba alat musik apapun yang ada di toko itu, termasuk jika ingin melakukan jamming session dadakan.
"Emangnya bakal masuk?" Tanya Winna ragu.
"Gak bakal tau sebelum dicoba."
Sesuai dugaan Winna, suara alat musik mereka bentrok dari segi nada dan volume. Judul lagu yang mereka mainkan mungkin sama-sama berjudul 'Canon', namun versi dan aransemennya berbeda sehingga tidak terdengar harmonis. Meskipun demikian, they still had fun. Keduanya berakhir menertawakan tragedi duet mereka.
Pelayan toko yang menggantikan senar gitar Calvin membawakan gitar akustiknya. "Mas, ini senarnya sudah terpasang. Tapi belum saya stem. Mungkin mas-nya mau coba dulu."
"Sini, Vin. Gue bantu." Winna pun sekalian membantu Calvin dalam men-tunning gitarnya dengan piano di hadapannya.
Setelah gitar Calvin selesai di-tunning, jemari pemuda itu menggenjreng beberapa kunci, menghasilkan irama yang sudah terdengar merdu. "Gantian lo dong Vin yang main!" Pinta Winna antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
eighteen [END]
ФанфикCalista Alexandra si wakil ketua komdis galak, terpaksa harus berhubungan dengan Adriel Ryan yang adalah pembimbing kelompok ospek adiknya yang baru masuk kuliah. "Mentee lo ada yang namanya Calvin Alexander, kan? Dia adek gue dan dia pengidap penya...