Firasat buruk Adriel makin menjadi-jadi.
Selain jalanan yang terjal menuju Pos Juliet, mereka tidak berpapasan dengan kelompok manapun sepanjang perjalanan.
"Lo yakin jalannya bener?" Pancing Adriel masih berpegang pada prinsipnya untuk menjadi mentor yang nggak memberi jawaban instan ke mentee-nya. Dia bisa saja mengambil alih navigasi dan mengembalikan kelompoknya ke jalur yang benar, tapi egonya menahannya.
"Kalau salah tinggal puter balik," balas Teo menyepelekan.
"Di kelompok kita ada 4 orang, Te. Lo harus pertimbangin kondisi yang lain, gak boleh asal ambil keputusan aja." Adriel melirik ke belakang, tatapannya seolah tertuju pada Winna yang kakinya sudah tidak mampu menopangnya dan Calvin yang seharusnya tidak berada di situ.
"Ya udah, gue aja yang turun ke bawah sendiri. Yang lain mau ngikut atau tinggal di sini terserah. Nanti gue balik lagi."
Pertama kenal Teo, Adriel paling relate dengan mentee-nya yang satu itu karena dia merasa seperti berkaca dengan sosok dirinya di masa lalu. Tapi, apakah ini yang dirasakan mentornya dan teman-teman sekelompok ospeknya ketika sedang menghadapinya dulu?
Adriel berdecak, "Gini deh, gue ikut lo turun. Calvin sama Winna stay di sini. Gimana?"
"Suka-suka lo."
Adriel mengepalkan tangannya geram. Inget, dia dua tahun lebih muda dari lo. Batinnya.
Dari kejauhan, Adriel menyaksikan sesuatu yang menjanggal. Dia mendapati papan bertulisan 'Pos Juliet', seperti pada pos-pos sebelumnya. Hanya saja, tidak ada panitia yang menjaga di pos itu. Ketika berada di situasi membahayakan, panca inderamu cenderung akan menajam – penglihatanmu menangkap gerakan lebih cepat, telingamu mendengar kebisingan yang tidak seharusnya kamu dengar, dan bulu kudukmu serempak berdiri naik. Gejala itulah yang dialami Adriel.
Dari gelagat Teo, Adriel menyimpulkan dia juga dapat mendeteksi rasa bahaya yang membayanginya. Teo yang berada beberapa langkah di depannya cepat-cepat merobek kertas poin dan lekas putar balik tanpa melihat ke sekitar.
Dia pikir rasa awas itu akan kian surut ketika keduanya sudah sampai ke permukaan dan dipertemukan kembali dengan Calvin dan Winna, tapi Adriel salah.
Hari semakin larut. Matahari sudah mulai masuk ke sangkarnya. Keempat anggota Kelompok 18 tengah menelusuri jalan utama yang dilapisi aspal, berjalan kembali menuju basecamp. Namun entah mengapa, jalanan yang ditempuh terasa begitu panjang tanpa ujung. Minimnya penerangan juga menghalangi mereka untuk mengenali pemandangan sekeliling. Setiap pohon yang dilewati tampak sama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya saja, tidak ada satu pun dari mereka yang berani angkat suara.
"Ini cuman perasaan gue atau emang kita dari tadi gak nyampe-nyampe?" Calvin menjadi orang pertama yang menyuarakan keanehan tersebut.
"Ini tinggal lurus aja kok," Teo menegaskan.
"Lo yakin? Ini dari tadi kita udah jalan lurus, loh. Yakin tadi kita gak salah ambil jalan?" Winna menambahkan.
"Ya, pake logika aja. Basecamp di bawah, masa kita mau jalan naik? Mikir."
Adriel pun baru mengambil tindakan, "Coba lihat petanya, Te."
Teo menyerahkan peta yang dipegangnya sesuai permintaan mentornya. Di bawah cahaya lampu senter, Adriel mencermati peta tersebut, mencocokkannya dengan petunjuk kompas. Tidak ada yang salah dengan arah yang ditunjuk Teo, tapi kenapa mereka tak kunjung sampai tujuan? Apa yang salah?
Adriel melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Seharusnya jam segini makan malam bersama sudah dimulai. Ketika Adriel mencoba untuk meraih ponselnya untuk mengirimkan pesan meminta pertolongan, batang sinyal pada layar ponselnya tergambar kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
eighteen [END]
FanfictionCalista Alexandra si wakil ketua komdis galak, terpaksa harus berhubungan dengan Adriel Ryan yang adalah pembimbing kelompok ospek adiknya yang baru masuk kuliah. "Mentee lo ada yang namanya Calvin Alexander, kan? Dia adek gue dan dia pengidap penya...