Part 6

516 73 28
                                    

"Eh, halo... Kenalin, aku cicinya Calvin..." Sapa Calla ragu. Jujur, dia belum menyiapkan skenario terburuk kalau sampai ada orang kampus (selain Ria dan Adriel) memergoki dirinya sedang berinteraksi leluasa dengan adiknya. Bahkan dia memaki dirinya dalam hati kenapa dia gak melanjutkan acting-nya sebagai komdis galak, padahal belum tentu dua maba itu mendengarkan percakapan mereka sebelumnya.

"Mau gue temenin ngomong ke dokter, Cal?" Calla melemparkan tatapan bingung ke Adriel. Ngapain? Kan tadi Adriel sendiri yang menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Calvin...

Adriel seperti sedang menggumamkan sesuatu, tapi Calla gagal membaca mulutnya. "Eh? Oh, gak perlu kok."

"Cie elah, kodenya kagak nyampe..." Calvin menepuk-nepuk pundak Adriel, sebuah seringai menghiasi wajahnya.

"Cici beneran cicinya Calvin? Yang marahin Calvin di hari pertama itu?" Tanya Teo takjub.

"Iya. Serem, kan? Makanya jangan macem-macem sama Calla." Bukan Calla yang menyahut melainkan Adriel.

"Sekarang enggak, sih."

"Calla aslinya dua orang."

"Heh!" Calla melotot ke arah Adriel.

"Oh, masih bisa ngomong. Soalnya dari tadi Kak Adriel mulu yang jawabin. Kirain bisu."

"Kok lo mendadak bawel sih, Teo? Gue laporin ke cewek lo nih lo caper di depan kating cewek!" Ancam Winna.

"Dih. Gak asik lo mainnya ngadu... Iri ya lo gak ada yang ngajak ngomong dari tadi?" Balas Teo nyolot.

Winna memutar bola matanya. "Ngapain iri kalau yang ngajak ngomong cuman lo? Napas gue berharga kali."

"Udah dong, guys. Tau tempat dong kalau mau ribut... Ini kita lagi di rumah sakit loh, bukan di lapangan. Mana ini ributnya di depan wakil ketua komdis lagi..." Ujar Adriel lirih. Kelihatannya jadi mentor itu gak mudah, ya. Apa lagi kalau punya kelompok modelan seperti mereka... Perasaan sewaktu zaman Calla dan Adriel masih maba, kelompok mereka gak neko-neko...

"Maaf, mohon untuk tidak mengeluarkan suara keras ya karena pasien lain jadi ikut terganggu." Tegur nakes yang bertugas begitu menghampiri ranjang Calvin.

"Oh, iya. Maaf, Sus." Calla hanya bisa menunduk malu.

"Kalau cairan infus sudah habis sudah diperbolehkan pulang, ya. Jangan lupa untuk mengambil obat di farmasi dan membayar di administrasi."

"Baik, Sus. Makasih infonya."

"Walaupun kalian membuat keributan, makasih ya udah dateng." Ucap Calvin ke kedua teman kelompoknya. Dia lalu memencet-mencet kantong infus yang digantung. "Lama amat yak dari tadi gak habis-habis. Coba duit yang kayak gini."

"Gimana keadaan lo sekarang, Vin?" Tanya Winna khawatir.

"Seperti yang lo lihat sekarang aja, Win."

"Lo pingsan bukan karena sakit lo itu kan, Vin?"

"Enggak. Cari penyakit baru dia kurang tidur, gak makan, malah panas-panasan." Jelas Adriel.

"Besok lo masuk gak?" Tanya Teo tanpa basa-basi.

"Besok Calvin istirahat dulu, ya." Balas Calla lalu melemparkan tatapan ke adiknya. "Bisa kan lo minta surat dokter sendiri? Gue mau urus administrasi lo dulu."

"Mau gue temenin gak, Cal?" Tawar Adriel.

"Lo mau patungan sama gue, Driel?"

"Enggak, sih. Nemenin aja biar gak kaget pas cek tagihan." Adriel menoleh ke ketiga mentee-nya. "Gue nemenin Calla dulu, ya. Kalian jangan ribut."

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang