Part 36

380 54 14
                                    

Berkat Calvin, Winna mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.

Dia terharu. Tidak menyangka ada seseorang yang mengharapkan dia untuk tetap hidup dan terus berjuang - mungkin harapan Calvin itu lebih besar daripada keinginan Winna untuk hidup. Tetapi, ini pertama kali Winna merasa hidupnya memiliki arti bagi orang lain.

Sejak peristiwa di loteng itu, entah dari mana Ria tahu dan sejauh apa dia tahu, kating sekaligus tetangganya yang satu itu hampir tidak pernah membiarkan Winna sendiri. Perempuan yang lebih tua darinya itu beralasan token listriknya habis agar bisa menumpang di kamar Winna untuk sementara waktu. Winna hampir mempercayainya - namun secara logika, mana mungkin penghuni kamar deluxe tidak mampu mengisi token listriknya?

Menyadari gelagat Winna yang begitu kikuk, Ria mencairkan suasana dengan membuka percakapan ringan. Bahkan sudah repot-repot menyiapkan hidangan claypot sederhana untuk makan malam mereka. Begitu Ria membuka tutup wadah claypot tersebut, rasa lapar yang ditahan seharian baru menyerang perut Winna.

"Gimana claypot-nya? Rasanya pas, gak? Atau kurang asin? Seharusnya tadi kamu biarin aku manasin sebentar. Pasti bakal lebih enak." Ujar Ria dari kursi seberang. Perasaan gembira menghiasi hatinya ketika dia mengamati adik kelasnya menyantap masakannya dengan lahap.

"Dingin-dingin aja tetep comforting banget, Kak. Gak keasinan dan gak kelembekan juga. Sejak kapan Kak Ria mulai masak?"

Terbesit di pikiran Winna, kalau tadi ia nekad melompat dan menghilangkan nyawanya, pasti dia tidak akan bisa menikmati masakan sederhana Ria.

"Haha. You know, I used to be a picky eater. Terus baru-baru ini aku mulai belajar masak biar bisa appreciate my food more," kata Ria bangga. "Kamu suka makan apa, Win? Gak janji bakal enak, tapi aku mau coba bikin next time!"

"Hmm. Apa, ya? Makanan kesukaanku berubah-berubah tergantung mood soalnya. Cuacanya akhir-akhir ini sering hujan. Aku lagi pengen makan kuah-kuah... Maybe bakso? Ah, tapi gak usah deh, Kak. Bakso kan susah bikinnya... Aku gak mau ngerepotin..."

"Bakso, ya... Hmm... Beli yang udah jadi aja gak, sih? Hehe. Kamu suka masak gak, Win? Gimana kalau kita masak bareng kapan-kapan?"

"Hmm, boleh aja, sih..."

"Oke! Next time, kita groceries shopping bareng yaa untuk belanja bahan-bahan."

Winna tidak menyangka, pada kesempatan keduanya untuk hidup, dia sudah membuat janji baru dengan orang lain. "Siap!"

Sulit mempercayai laju hidupnya yang menyerupai wahana roller coaster. Tadi pagi, dia dikejutkan dengan panggilan mamanya yang begitu melukai hatinya. Berikutnya di sore hari, Winna sudah mendapati dirinya berdiri di luar rail pembatas loteng gedung setinggi tujuh lantai - selangkah menuju maut. Dan kini Winna sudah kembali ke kamarnya, bercengkerama dengan Ria seolah tidak terjadi apa-apa. Namun ironisnya, begitulah hidup yang akan terus berlanjut.

"Apapun cerita di balik foto itu. Kamu gak salah, Win." Cepat atau lambat, Winna tahu Ria pasti akan mengungkit soal foto yang disebar Juan itu.

"Kalau aku bilang cewek di foto itu bukan aku, Kak Ria percaya, gak?"

"Percaya."

"Kenapa bisa?"

"Karena aku lebih percaya sama kamu dibanding siapapun orang jahat yang nyebar foto itu," kata Ria meyakinkan. "Aku tau ngomong gini emang lebih gampang dari ngelakuinnya, apalagi aku gak berada di posisi kamu - but since you said it's not you. There's nothing to be embarrassed of. Kamu harus nunjukin kalau yang di foto itu emang bukan kamu. Kamu harus fight untuk diri kamu juga!"

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang